Debat Wenger stays dan Wenger out selesai dengan sebuah pengumuman singkat. Arsene Wenger, yang kontraknya baru habis tahun depan, akan mundur dari jabatannya selaku manajer Arsenal per akhir musim ini.
Saya cenderung menempatkan diri di posisi netral dalam debat stays vs out. Biar bagaimana juga, situasi Wenger di Arsenal tidak sederhana. Bahwa Wenger banyak sekali jasanya untuk Arsenal adalah kenyataan yang tidak bisa dibantah. Namun sama tak bisa dibantahnya adalah kenyataan bahwa Wenger sudah ketinggalan zaman, taktik usangnya tak cukup ampuh bahkan untuk sekadar membawa Arsenal mengakhiri musim di empat besar, habitat the Gunners di era kepelatihannya sendiri.
Harus saya akui bahwa pada banyak kesempatan (banyak sekali malah), sikap keras kepala Wenger memang menjengkelkan. Namun setiap kali Arsenal tampil mengecewakan, kepada diri sendiri saya selalu mengingatkan: ya sudah, mau bagaimana; terima saja, toh Wenger tak lagi muda—yang seperti ini cepat atau lambat akan berakhir juga. Nikmati saja.
Dan benar saja, dalam waktu dekat era Wenger akan berakhir juga. Saya, karena menempatkan diri di tengah, selalu berpikir bahwa ketika hari itu datang, saya akan baik-baik saja. Ternyata tidak. Reaksi saya ketika membaca pengumuman di laman web Arsenal adalah membaringkan diri di tempat tidur, mencoba mencerna kabar yang rasanya tidak nyata.
Yang tersisa sekarang tinggal dua: menikmati semua pertandingan tersisa dengan sangat khusyuk, dan tak berhenti mengucap merci Arsene—sambil mengingat semua hal bak yang Wenger lakukan untuk Arsenal, tentu saja.
***
Wenger ditunjuk menjadi manajer Arsenal atas rekomendasi David Dein. Saat itu The Gunners, yang baru mendepak Bruce Rioch dari kursi manajer, bisa saja mendatangkan Johan Cruyff. Namun pilihan pada akhirnya jatuh kepada seorang pelatih berkebangsaan Prancis yang sedang bekerja di Jepang.
“Tahu apa orang Prancis ini soal sepakbola? Ia tidak akan bisa menjadi sehebat George Graham,” adalah pendapat Tony Adams, kapten Arsenal saat itu, mengenai manajer barunya. Wenger ditunjuk pada Oktober 1996; Mei 1998, ia mempersembahkan dwigelar kepada Arsenal—dwigelar yang pertama.
Dwigelar Liga Primer dan Piala FA yang kedua diraih pada musim 2001/02. Secara keseluruhan, Wenger mempersembahkan tiga gelar Liga Primer Inggris, tujuh Piala FA, dan tujuh Community Shield. Wenger juga membawa Arsenal lolos ke final Liga Champions untuk kali pertama sepanjang sejarah klub, pada 2006.
Di antara semua gelar yang Wenger persembahkan, gelar juara Liga Primer Inggris musim 2003/04 adalah yang paling istimewa. Arsenal tak terkalahkan sepanjang musim, menjadikan mereka satu-satunya klub era Liga Primer yang berhak atas piala emas.
“Ini peluit akhir dari pertandingan terakhir tanpa kalah,” ujar Wenger selepas pertandingan penutup musim 2003/04. “Bagiku, ini impian hidup. Aku bekerja di bidang yang membuatku tak pernah tau seberapa baik diriku, namun aku rasa aku bisa lebih baik dari semusim tak terkalahkan. Bisa menggapai impian ini sedikit menakutkan. Namun pencapaian ini tidak membunuh semangatku.”
***
Menilai Wenger dari jumlah piala yang ia persembahkan kepada Arsenal, walau demikian, tidaklah adil. Trofi memang ukuran paling nyata dari hasil kerjanya, namun yang Wenger lakukan untuk Arsenal dan untuk sepakbola Inggris secara keseluruhan lebih dari itu.
Perubahan yang paling awal terlihat adalah menu latihan. Normalnya, latihan tim-tim Inggris adalah seputar latihan fisik dan ketahanan. Durasinya panjang. Latihan yang Wenger terapkan tidak seperti itu. Durasinya pendek namun intensitasnya tinggi, dan menunya lebih bervariasi.
Selain menu latihan, Wenger juga mengubah drastis menu makanan para pemainnya. Sayuran, yang sebelumnya tidak pernah ada di kantin, mulai muncul. Sedikit banyak, ilmu gizi ini Wenger pelajari semasa melatih di Jepang.
“Diet di sana adalah yang terbaik yang pernah aku rasakan,” ujar Wenger sebagaimana dikutip dari Guardian. “Diet orang-orang Jepang pada dasarnya terdiri dari sayuran rebus, ikan, dan nasi. Tidak ada lemak, tidak ada gula. Jika tinggal di sana kau akan menyadari tidak ada orang gemuk. Aku rasa di Inggris kau terlalu banyak makan gula dan daging serta tidak cukup sayuran.”
Kombinasi antara lebih banyak makan sayur dan peregangan memperpanjang karier para pemain. Revolusi asupan ini kemudian menyebar ke seluruh Inggris.
Namun yang paling tidak boleh dilupakan, barangkali, adalah bagaimana Wenger membuat Arsenal menjadi lebih besar dengan pengelolaan keuangan yang sangat baik.
Higbury memang bersejarah namun terlalu kecil untuk klub seambisius Arsenal. Wenger kemudian ikut merancang stadion baru yang kini menjadi kandang Arsenal, Emirates Stadium.
Pembangunan stadion baru membuat Arsenal harus berhemat di sana-sini, termasuk di biaya transfer dan gaji pemain. Di sinilah kemampuan Wenger mengelola keuangan menjaga Arsenal tetap hidup. Sudah banyak cerita klub-klub yang hancur karena bangkrut. Membangun stadion membuat Arsenal terancam bernasib sama. Namun pada akhirnya Arsenal tak pernah bangkrut, dan aktor utama dalam keberhasilan ini adalah Wenger.
Benar memang, pembangunan stadion membuat Arsenal menjadi miskin prestasi. Namun ukuran prestasi begitu relatif. Dengan segala batasan pengeluaran, bisa menjaga Arsenal tetap rutin tampil di Liga Champions saja sudah bagus. Lagipula, masa itu tak berlangsung selamanya.
Setelah masa beririt selesai, Arsenal bisa kembali merekrut pemain-pemain kelas satu dengan harga selangit. Lihat saja bagaimana Mesut Ozil dan Alexis Sanchez, serta Henrikh Mkhitaryan dan Pierre-Emerick Aubameyang bisa mendarat di Emirates.
Lewat serangkaian kerja keras selama lebih dari dua puluh tahun, Wenger mengubah Arsenal dari klub tradisional menjadi modern, dari klub lokal menjadi brand global. Semua yang sulit sudah terlewati, dan Wenger memainkan peran penting dalam semuanya. Penerusnya nanti, siapa pun itu, tinggal menikmati enaknya. Tinggal fokus mencari cara agar Arsenal bisa kembali rutin mengangkat piala bergenngsi karena klub di level keuangan sudah bisa berdiri sendiri.
Siapa pun pengganti Wenger nanti, ketika ia sudah bisa mempersembahkan gelar kepada Arsenal, satu yang tidak boleh tidak ia ucapkan dalam perayaan gelar juaranya adalah: merci Arsene.
Komentar