Ferdinand de Lesseps, seorang insinyur asal Prancis yang berencana membuat sebuah jalur air bernama Terusan Suez di timur laut Mesir, tampak sedikit kebingungan ketika mencari tempat yang nantinya dapat digunakan kapal-kapal berlabuh di Laut Tengah. Beruntung, akhirnya ia menemukan sebuah dataran luas yang menjorok ke laut sehingga cocok digunakan untuk tempat kapal berlabuh.
Dataran yang ditemukan oleh Ferdinand de Lesseps tersebut lantas menjadi titik awal pembangunan Terusan Suez yang dimulai pada 25 April 1859. Seiring dengan dimulainya pembangunan Terusan Suez, sebuah kota pelabuhan bernama Port Said lahir di dataran itu.
Terusan Suez sendiri adalah sebuah kanal yang nantinya akan menghubungkan Laut Tengah dengan Laut Merah, guna meringkas perjalanan kapal-kapal kargo yang berlayar dari Eropa menuju Asia. Sebelum ada Terusan Suez, perjalanan dari Eropa ke Asia perlu melewati perairan sebelah barat benua Afrika, ke selatan melalui Tanjung Harapan, lalu ke arah timur menuju Samudera Hindia.
Setelah rampung dibangun pada 1869, Terusan Suez langsung menjadi jalur perdagangan penting Eropa dan Asia. Inggris, yang sudah mengkolonisasi Mesir sejak awal 1880-an, lantas menjadi penguasa tidak langsung atas Terusan Suez. Hal ini sebagaimana diketahui dari penjelasan dalam Konvensi Konstantinopel pada 1888, yang menyepakati bahwa Terusan Suez adalah kawasan netral namun tetap harus berada di bawah pengawasan Inggris.
Pada 1956, Presiden Mesir, Gamal Abdul Nasser, membuat keputusan mengejutkan untuk menasionalisasi Terusan Suez dari kekuasaan Inggris. Jelas keputusan Nasser ini membuat Inggris geram. Tentara Inggris, Perancis, dan Israel lalu menginvasi Mesir pada 29 Oktober 1956.
Menteri Luar Negeri Kanada, Lester B. Pearson, menilai perang tersebut akan membahayakan kepentingan banyak pihak. Ia lalu mengajak PBB meredakan stuasi. Amerika Serikat juga turut serta dengan cara menekan aliansinya, Israel, untuk menyudahi peperangan. Upaya ini rupanya berhasil. PBB meminta Israel menjauhi Sinai dan menempatkan tentara perdamaian di kawasan Terusan Suez.
Selain pernah menjadi saksi atas perang antarnegara di masanya, kawasan Terusan Suez dan kota Port Said pun pernah menjadi saksi perang antarsuporter sepakbola yang terjadi di sana. Tragedi nahas itu terjadi pada bulan Februari 2012 lalu.
Konflik Suporter Al Masry dan Al Ahly
Bulan Januari hingga Februari, adalah waktu ketika kota Port Said sedang bersuhu dingin. Saat musim dingin, suhu di Port Said bisa mencapai 0 derajat celcius. Akan tetapi, pada tanggal 1 bulan Februari tahun 2012, udara dingin di Port Said seakan berubah memanas dengan terjadinya kerusuhan besar di Stadion Port Said, yang melibatkan suporter Al Masry dan suporter Al Ahly.
Dilansir dari Reuters, menurut salah seorang saksi mata, kerusuhan bermula saat suporter Al Ahly membentangkan spanduk yang berisikan tulisan provokatif kepada suporter Al Masry. Pendukung Al Masry langsung merespons dengan turun ke lapangan. Dalam jumlah banyak, mereka langsung melakukan penyerangan terhadap para pemain Al Ahly, dan akhirnya menyerang suporter Al Ahly di tribun penonton.
Yang jadi membahayakan adalah, suporter Al Masry yang melakukan penyerangan tersebut sudah membekali diri mereka dengan pisau, pedang, hingga batu. Sontak kemudian suporter Al Ahly di tribun penonton langsung berhamburan mencoba melarikan diri.
Keadaan diperparah karena aparat keamanan yang ada di lokasi tidak melakukan upaya apa pun untuk menghentikan penyerangan tersebut. Bahkan mereka tidak membuka pintu gerbang stadion untuk memudahkan penonton melarikan diri. Aparat keamanan seakan membiarkan orang-orang—utamanya suporter Al Ahly—diserang di dalam stadion.
“Ini bukan sepakbola, ini perang. Banyak orang sekarat di depan kami. Tidak ada pergerakan dari aparat keamanan, tidak ada ambulans juga,” sebut salah satu pemain Al Ahly, Mohamed Aboutrika.
Akibat kerusuhan besar itu, tercatat 73 orang tewas dan lebih dari 1.000 orang cedera parah. Mayoritas korban tewas adalah mereka yang terjatuh dari tribun dan terinjak-injak oleh banyak orang; sisanya tewas dikarenakan terbunuh oleh senjata.
Wakil Departemen Kesehatan Mesir menyebut bahwa tragedi di Port Said ini sebagai bencana terbesar dalam sejarah sepakbola Mesir. Sementara Presiden FIFA ketika itu, Sepp Blatter, menyebut bahwa tragedi tersebut adalah hari hitam untuk sepakbola. “Ini adalah hari hitam untuk sepakbola. Situasi seperti itu tidak terbayangkan dan seharusnya tidak terjadi,” tuturnya.
Namun, ada juga sebagian pihak yang menilai bahwa kerusuhan yang terjadi di Stadion Port Said ditunggangi oleh motif politik. Ini mengingat dari tidak adanya upaya yang dilakukan oleh kepolisian yang ada di lokasi saat itu, untuk meredam kerusuhan.
Salah satu yang berpendapat demikian adalah Albadry Farghali, seorang anggota parlemen Port Said. Ia menuduh bahwa aparat keamanan membiarkan kerusuhan terjadi dikarenakan mereka masih memiliki hubungan dengan pemerintahan Hosni Mubarak yang telah digulingkan setahun sebelumnya. Tuduhan ini juga didasarkan karena kelompok ultras Al Ahly terkenal atas keterlibatan mereka dalam penggulingan mantan presiden Hosni Mubarak, sehingga aparat keamanan yang dinilai Faghali sebagai antek-antek Hosni, jelas akan membiarkan ultras Al Ahly yang kalah jumlah untuk dikeroyok suporter Al Masry yang secara jumlah lebih banyak.
“Aparat keamanan melakukan ini atau membiarkannya terjadi. Orang-orang Mubarak masih berkuasa. Kepala rezim telah jatuh tetapi semua anak buahnya masih menjabat. Di mana keamanannya? Di mana pemerintah?” tegasnya.
Selang setahun usai tragedi kerusuhan tersebut, pada Januari 2013, pengadilan memutuskan untuk menjatuhkan hukuman mati kepada 21 orang suporter Al Masry yang terlibat dalam kerusuhan di Stadion Port Said. Tak terima kawan sesamanya dijatuhi hukuman mati, para suporter Al Masry lalu melakukan demonstrasi di Terusan Suez.
Mereka coba menganggu kapal-kapal yang melintas di Terusan Suez dengan melepaskan perahu-perahu kecil yang tertambat di sisi pantai, supaya hanyut ke tengah dan menghalangi jalan kapal-kapal yang melintas. Kendati demikian, pihak berwenang saat itu menjamin bahwa lalu lintas perdagangan di Kanal Suez tidak akan sampai terganggu oleh demonstrasi yang dilakukan para suporter.
***
Dengan adanya tragedi kerusuhan antarsuporter pada 2012 itu, kawasan Terusan Suez dan kota Port Said bukan hanya pernah menjadi saksi perang antarnegara yang memperebutkannya di pertengahan abad ke-20; melainkan juga telah menjadi saksi perang antarsaudara senegara, yang terjadi di lapangan sepakbola.
Tentu kita berharap bahwa perang di Stadion Port Said pada 2012 itu, adalah perang terakhir yang terjadi di Terusan Suez. Agar indahnya warna biru air di sepanjang kanal Suez (dan hijaunya lapangan sepakbola di mana pun) tak ternodai lagi oleh anyir dan merahnya darah.
Simak cerita dan sketsa adegan Rochi Putiray tentang cara menjadi suporter yang baik:
Komentar