Selasa (24/4), managing director dari Leeds United, Angus Kinnear, mengumumkan bahwa Leeds akan berkunjung ke Myanmar, bulan Mei mendatang, untuk menjalankan tur pasca-musim mereka. Leeds dijadwalkan akan bertanding melawan tim All-Star Myanmar pada tanggal 9 Mei 2018 di ibu kota Myanmar, Yangon. Dua hari setelahnya, mereka akan bertanding melawan tim nasional Myanmar di kota Mandalay.
Kinnear tampak antusias dan tak sabar untuk segera berkunjung ke Myanmar. Menurutnya, Myanmar merupakan salah satu negara di Asia Tenggara yang memiliki gairah tinggi terhadap sepakbola Inggris.
“Myanmar adalah salah satu negara dengan pertumbuhan tercepat dan sangat fanatik terhadap sepakbola Inggris,” ujarnya kepada The Guardian. Tak hanya itu, ia pun membeberkan misi mulianya untuk dapat membantu pengembangan sepakbola akar rumput di Myanmar.
“Mereka [Myanmar] memiliki tujuan ambisius untuk pengembangan sepakbola akar rumput dan pengembang sepakbola yang elite, yang mana kami senang dapat mendukungnya. Tur ini juga memberi kami kesempatan untuk bertemu pendukung baru, yang diharapkan akan mendukung perjalanan kami kembali ke Liga Premier.”
Namun antusiasme tinggi yang tampak dalam diri Kinnear tidak tampak dalam diri Kate Allen—seorang direktur di Amensty Internasional Inggris. Allen bereaksi cukup keras dengan rencana kunjungan Leeds tersebut, mengingat Myanmar merupakan negara yang bermasalah atas tragedi kemanusiaan yang terjadi kepada etnis Rohingya. Allen pun menyarankan, jika kunjungan ke Myanmar tetap dilaksanakan, Leeds harus turut mengkampanyekan perlawanannya terhadap tragedi kemanusiaan yang terjadi di Myanmar.
“Tahun lalu kita telah melihat hak asasi manusia di Myanmar memburuk secara dramatis. Terlalu sering acara olahraga digunakan untuk menutupi catatan kelam hak asasi manusia di suatu negara. Kami tidak berhak mengatur-atur Leeds harus berkunjung ke sini atau ke sana, namun jika kunjungan ke Myanmar tetap dilaksanakan, di sana Leeds harus menggunakan pengaruhnya untuk mengkampanyekan penghentian kekerasan terhadap kemanusiaan,” beber Allen.
Seperti yang disebutkan Allen, tahun 2017 lalu memang merupakan salah satu waktu di mana eskalasi konflik di negara bagian Rakhine (wilayah yang banyak dihuni oleh etnis Rohingya), kembali memuncak. Dilansir dari The Guardian, pada bulan Agustus 2017, militer Myanmar telah melakukan pembersihan etnis besar-besaran di daerah tersebut.
Desa-desa dihancurkan, banyak orang terbunuh, dan tidak sedikit wanita dan anak-anak yang menjadi korban kekerasan dan pemerkosaan. Lebih dari 700 ribu orang melarikan diri ke Bangladesh. Namun militer beserta pemerintah Myanmar menolak untuk bertanggung jawab atas semua tragedi kemanusiaan di negaranya. Oleh karena itu, pejabat hak asasi manusia dari Perserikatan Bangsa-Bangsa merujuk pemerintah Myanmar untuk diadili di Mahkamah Pidana Internasional.
Seperti yang disarankan Allen juga, Leeds jelas memiliki pengaruh di Myanmar yang bisa dimanfaatkan mereka untuk mengkampanyekan penghentian kekerasan terhadap kemanusaiaan di sana. Hal ini dikarenakan pemilik Leeds, Andrea Radrizzani, memiliki hubungan kemitraan bisnis di Myanmar lewat dua perusahaan yang dimilikinya: Aser dan Eleven Sport.
Namun harapan baik Allen itu tampaknya akan menjadi sia-sia. Radrizzani sudah menyatakan komitmennya terlebih dahulu bahwa ia tidak ingin terlibat dalam masalah konflik di Myanmar.
“Ini adalah keputusan yang dipertimbangkan dengan hati-hati dan kami tahu bahwa hal ini akan menjadi kontroversial. Tetapi ini tentang orang-orang yang menyukai sepakbola, bukan pemerintah. Tidak pernah menjadi niat saya, atau klub, untuk terlibat dalam debat politik di Myanmar. Namun, jika tur kami akan berdampak pada tersorotnya masalah serius yang sedang berlangsung di daerah-daerah tertentu di negara ini, maka mungkin itu akan menjadi hal yang positif,” jelas pria asal Italia itu kepada The Guardian.
Radrizzani juga mengaku pernah tinggal di Myanmar selama lebih dari 10 tahun. Ia pun lebih senang untuk memandang Myanmar dalam kaca mata ala mooi indie, di mana Myanmar merupakan negara dengan pemandangan alam yang indah dengan penduduknya yang hangat dan ramah.
“Aku menghabiskan lebih dari 10 tahun tinggal di Asia dan Myanmar. Aku sadar akan isu serius yang terjadi di sana, tapi aku juga tahu kalau Myanmar adalah tempat indah yang diisi oleh orang-orang yang begitu hangat.”
Selain itu, agaknya juga akan sulit bagi Leeds untuk melaksanakan pesan Allen karena kunjungan mereka ke Myanmar disponspori oleh sebuah bank Myanmar bernama AYA. Masih melansir The Guardian, bank yang mensponsori Leeds ini punya rekam jejak buruk karena keterlibatan mereka terhadap pemebersihan etnisRohingya. Bahkan bank yang dimiliki oleh seorang taipan Myanmar bernama Zaw Zaw ini diduga menjadi penyokong dana terbesar dalam pembangunan kembali wilayah Rakhine sesudah etnis Rohingya dibersihkan dari wilayah tersebut.
Namun Radrizzani menyangkal bahwa kendati mereka disponsori oleh AYA, Leeds tidak menerima insentif dari bank tersebut. Ia menganggapnya sebagai inisatif pribadi untuk mendukung sepakbola lokal dan untuk memperkenalkan nama Leeds di Myanmar.
“Klub tidak menerima biaya untuk bermain. Sebaliknya saya melihat ini sebagai inisiatif pribadi untuk mendukung sepakbola lokal dan cara memperkenalkan nama Leeds United di negara dengan pertumbuhan tercepat di Asia Tenggara,” tuturnya.
***
Walau berbagai dalih diutarakan oleh Leeds, fakta tentang adanya tragedi kemanusiaan di Myanmar, tidak bisa tidak, merupakan sebuah fakta yang telanjang bagi mereka. Dan rasa-rasanya sangat kejam jika fakta tersebut diabaikan begitu saja oleh mereka; berkunjung ke negara tersebut tanpa sedikit pun memberi bantuan atau turut menyuarakan kampanye pemberhentian tragedi kemanusiaan yang terjadi di sana.
Jika Leeds hanya datang ke Myanmar sekedar untuk bermain bola saja, maka—mengutip ucapan seorang perwakilan komunitas Rohingya di Inggris, “Leeds akan bermain sepakbola di lapangan yang digenangi darah anak-anak, wanita, dan orang tua Rohingya yang tidak bersalah.”
Komentar