Tidak ada manusia yang terlahir dengan darah selain golongan O, A, B, dan AB. Namun, darah sepakbola, nyatanya memang kental di dalam tubuh klan Gudjohnsen.
Darah berarti cairan yang terdiri atas plasma, sel-sel merah dan putih. Mengalir dalam pembuluh darah manusia atau binatang, bekerja seperti air menggerakan turbin pembangkit listrik.
Darah menjadi penting dalam kehidupan manusia bukan hanya karena menjadi salah satu sumber kehidupan, melainkan juga karena diteruskan melalui keturunan. Setiap-setiap dari kita, membawa darah pemberian orang tua.
Agar tidak perlu sebentar-sebentar melakukan tes darah untuk membuktikan dan mengetahui jejak leluhur, akhirnya diterjemahkan ke dalam nama terakhir seseorang, yang pada umumnya diturunkan oleh kubu ayah. Satu wajah identitas yang kerap menjadi penentu nasib anak manusia, terutama di zaman dunia masih terbagi-bagi berdasarkan kerajaan.
Di Nusantara ini, misalnya, kita mengenal dengan istilah Darah Biru. Konsep umum budaya Jawa bahwa `raja adalah keturunan dewa` membuat para penghuni istana berinisiatif menjaga kemurnian keturunan, dikenal dengan konsep hangukir trahing kusuma/trahing aluhur (mengukir keturunan orang bangsawan/kaum yang tinggi derajatnya).
Tujuan mereka hanya satu, yakni agar lingkungan kerajaan tidak tercemar oleh darah keturunan non-dewa, karena keturunan-keturunan mereka itulah yang (jika beruntung) nantinya akan duduk di singgasana.
Kaum-kaum bangsawan identik dengan warna biru langit sebagai simbol keluhuran. Adapun rakyat biasa, kaum `sudra papa` itu, tetap berwarna merah karena tidak spesial, tidak suci. Tus, terlahirlah frasa Darah Biru.
Tentu saja, jika Anda membelek tubuh para raja beserta keturunan-keturunannya itu, yang Anda temukan adalah darah berwarna merah. Tidak ada darah manusia yang berwarna biru, kecuali jelmaan alien di film-film.
Istilah darah biru akhirnya diadopsi di dalam banyak bidang, termasuk dalam sepakbola. Keluarga yang mendedikasikan hidup di atas lapangan hijau tentu bukan lagi hal asing, salah satunya adalah Gudjohnsen.
Arnór Gudjohnsen lahir di Reykjavík pada 30 April 1961. Arnór memiliki anak bernama Eidur Gudjohnsen. Eidur kemudian memiliki anak yang diberi nama Daniel Gudjohnsen dan Andri Gudjohnsen. Mereka berdua juga bermain sepakbola.
Menggunakan nama belakang yang sama ini seolah adalah tradisi biasa, tapi tak demikian di Islandia. Sebenarnya dengan mempertahankan nama belakang Gudjohnsen dari generasi ke generasi, Keluarga Gudjohnsen telah melanggar tradisi penamaan di Islandia.
Di Islandia, nama belakang laki-laki yang umum adalah -son, bukan -sen. Selanjutnya, tradisi penamaan adalah nama pemberian + nama ayah + son. Jadi misalnya ada nama Aron Gunnarsson, maka nama pemberiannya adalah Aron, sementara nama ayahnya Aron tersebut adalah Gunnar. Jika kelak Aron memiliki anak bernama Anton, maka nama lengkap Anton adalah Anton Aronsson, bukan Anton Gunnarsson.
Jadi, seharusnya Eidur Gudhohnsen memiliki nama Eidur Arnórsson jika mereka memakai tradisi Islandia. Sementara anak Eidur akan bernama Daniel Eidursson dan Andri Eidursson.
Baca selengkapnya: Islandia Menjaga Budaya Negara Melalui Nama -Son
Nama Gudjohnsen dari generasi ke generasi memang menyalahi tradisi Islandia, tapi kita bisa memandangnya dengan berbeda: mereka mencoba menjaga darah sepakbola di keluarga mereka.
"Sepakbola adalah sesuatu yang (bersifat) genetik dan saya lahir dengan sepakbola dalam darah saya," ucap Eidur kepada FourFourTwo.
Eidur membantah menekuni karier sebagai pesepakbola profesional hanya karena ayahnya, Arnór, juga seorang pemain pro. Baginya, ini adalah sebuah pilihan, sekalipun tidak memungkiri bahwa ia "senang menyaksikan ayahnya bermain dan pergi ke setiap pertandingan jika memungkinkan".
Eidur memang terobsesi dengan sepakbola sejak berusia tiga tahun. Fakta bahwa Arnór menendang bola untuk mencari nafkah memiliki andil besar terhadap hal tersebut.
Arnór merupakan salah satu figur penting dalam sejarah sepakbola profesional Islandia, bersama dengan legenda lainnya, Atli Edvaldsson. Ia total 73 kali membela tim nasional, menempatkan dirinya di daftar 10 besar pemain dengan jumlah penampilan terbanyak.
Nama Arnór mulai menjadi pusat perhatian ketika bergabung dengan Anderlecht pada 1983. Maklum, ketika itu, belum ada Peraturan Bosman, sehingga setiap klub dibatasi hanya boleh menggunakan tiga pemain asing. Menjadi salah satunya, terlebih mengingat ia berasal dari sebuah negara yang kerap menjadi bulan-bulanan tim lawan, tentu adalah sebuah prestasi tersendiri.
Arnór menjadi top skor Anderlecht dan mendapatkan penghargaan pemain terbaik di Liga Belgia pada musim 1986/87. Ketika hengkang ke Girondins de Bordeaux pada 1990, ia total telah menyumbangkan tiga titel juara Liga Belgia dan dua Piala Belgia bagi Anderlecht.
Arnór bahkan sebenarnya berpeluang besar untuk mengantarkan Les Mauves et Blancs meraih Piala UEFA (sekarang Liga Europa) pada musim perdananya. Nahas, di partai final, ia justru menjadi salah satu pemain yang gagal menjalankan tugasnya sebagai eksekutor dalam babak adu penalti. Trofi pun melayang ke tangan Tottenham Hotspur.
Perjalanan Anderlecht menjadi runner-up Piala UEFA 1983/84 sendiri memiliki kisah memalukan. Presiden klub ketika itu (yang namanya kini diabadikan sebagai stadion Anderlecht), Constant Vanden Stock, terbukti menyuap wasit sebesar 18.000 paun demi mengalahkan Nottingham Forest besutan manajer Brian Clough di semifinal.
Dua musim bermain bersama Bordeaux, Arnór kemudian merumput di Liga Swedia. Di negara ini, ia sempat dianugrahi penghargaan Pemain Asing Terbaik Sepanjang Masa, sebelum kembali ke Liga Islandia pada 1998.
Eidur mengaku tidak mengingat momen kegagalan ayahnya mengeksekusi penalti melawan Tottenham, klub yang dibelanya pada 2010. "Saya yakin itu bukanlah momen yang mudah bagi ayah saya. Ia baru pulih dari cedera. Ia adalah salah satu dari dua atau tiga pemain yang gagal, tetapi ia adalah yang terakhir dan biasanya merekalah yang diingat orang," tutur dirinya.
Arnór sendiri tidak pernah bercerita secara gamblang mengenai kesedihannya karena gagal mengelabui kiper Spurs, Tony Parks. Jika ada satu penyesalan dalam kariernya, maka itu adalah karena ia tidak pernah berkesempatan merumput bersama Eidur, sebuah hal yang telah diimpikannya sejak Eidur masih berusia delapan tahun.
"Itu adalah penyesalan terbesar saya," kata Arnór. Satu-satunya momen terdekat dengan mimpinya adalah ketika ia dan Eidur berada di dalam skuat yang sama dalam laga melawan Estonia pada 24 April 1996 di Tallinn.
Eidur menjalani debut bersama timnas dengan menggantikan ayahnya sendiri. Dengan sebuah kecup di pipi, tongkat estafet berpindah kaki.
Ayah dan anak itu sebenarnya memiliki peluang untuk tampil bersama-sama setelah menghadapi Estonia. Namun, presiden Asosiasi Sepak Bola Islandia kala itu, Egger Magnusson, memberikan mandat kepada pelatih Logi Olafsson untuk hanya menurunkan mereka bersamaan di negara sendiri, tepatnya dalam laga Kulifikasi Piala Dunia 1998 melawan Republik Makedonia dua bulan kemudian.
Nahas. Takdir memang terkadang enggan berpihak. Eidur mengalami patah pergelangan kaki ketika membela Timnas Islandia U18 dan harus menepi selama kurang lebih dua tahun. Dalam periode tersebut, Arnór memutuskan untuk gantung sepatu.
"Saya bisa memahami logikanya. Momennya akan lebih besar jika di hadapan publik sendiri, tetapi di antara dua laga tersebut, saya mendapatkan cedera," ujar Eidur, seakan mencoba menghibur diri.
Cedera parah itu sendiri sempat mengancam karier Eidur. Ia bahkan sampai dilepas oleh PSV Eindhoven, diiringi oleh pesan dari dokter klub: "Anda mungkin tidak akan bisa bermain di level tertinggi lagi".
Baca selengkapnya: Gudjohnsen Senior dan Junior yang Hampir Bermain Bersama
Dengan bimbingan dan dorongan tak henti dari ayahnya, Eidur kembali bangkit, diawali dengan karier bersama Bolton Wanderers pada 1998. Dua tahun berselang, ia direkrut oleh Chelsea dan turut menjadi bagian dari skuat yang mengakhiri puasa gelar liga selama 50 tahun, trofi yang digunakannya sebagai cermin untuk mencukur jenggot.
Penampilan apik selama enam tahun bersama The Blues membuat Eidur dilirik oleh Barcelona. Ia didatangkan ke Camp Nou untuk `menggantikan` legenda Swedia, Henrik Larsson. Ini bukanlah sebuah kebetulan. Mereka berdua sama-sama berasal dari Nordik dan kerap mencetak gol meski memulai pertandingan dari bangku pemain pengganti.
"Tanyalah kepada orang-orang di Barcelona dan seakan Henrik Larsson masuk sebagai pemain pengganti dan mencetak gol kemenangan di setiap laga. Seperti itulah ia dikenang dan saya tidak bisa menghindar dari perbandingan," jelas Eidur, yang berhasil menjuarai Liga Champions pada musim 2009/10.
"Bagaimanapun, saya tidak merasakan tekanan menggantikannya. Bergabung dengan Barcelona sendiri sudah merupakan sebuah tekanan," lanjut dirinya.
Eidur baru pensiun seutuhnya dari dunia sepakbola pada 2016 lalu, lebih tepatnya lagi setelah membantu Islandia mencatatkan perjalanan historis dengan lolos ke perempatfinal Piala Eropa di Prancis.
Meski demikian, pensiunnya Eidur tidak berarti klan Gudjohnsen kehilangan penerus. Masih ada adik tirinya, Arnór Jr, yang baru dikontrak oleh kesebelasan Liga Primer, Swansea City, pada awal musim 2017/18 ini.
Arnór, sama seperti Eidur, mengakui bahwa peran keluarga sangat besar terhadap keputusannya menjadi pemain sepak bola. Ayah dan kakaknya adalah inspirasi baginya. Meski bisa menjadi beban karena ekspektasi besar dari orang lain, ia menyatakan siap untuk membuktikan diri.
"Kami sekeluarga selalu berdiskusi setelah pertandingan dan memberikan masukan tentang aspek yang perlu saya tingkatkan. Saran dan bimbingan terbaik dari mereka adalah untuk tetap melangkah maju dan percaya pada diri sendiri," ungkap Arnór Jr seperti yang dikutip laman resmi kesebelasan.
Mengingat bahwa pemain berusia 17 tahun itu belum pernah membela tim senior Swansea, rasanya akan menjadi sebuah kejutan besar jika ia dipanggil untuk membela Timnas Islandia di Piala Dunia 2018 di Rusia mendatang. Tetapi, setidaknya Arnór Senior bisa sedikit tenang. Selama masih ada yang bermain di atas lapangan hijau, selama itu pula darah sepakbola akan terus mengalir di dalam trah Gudjohnsen.
Komentar