Otak adalah pusat kecerdasan, namun tidak semua otak memiliki kecerdasan yang sama. Sejauh yang diketahui, tidak ada makhluk yang lebih cerdas daripada manusia; namun justru manusia sendiri yang menciptakan kecerdasan-kecerdasan lainnya, seperti kecerdasan buatan (artificial intelligence atau AI).
Pada kehidupan sehari-hari, AI bisa diartikan sebagai kemampuan mesin untuk belajar. Ketika kita bermain gim seperti FIFA atau Pro Evolution Soccer melawan AI (biasa kita sebut umumnya sebagai “komputer”), kita bisa menakar kecerdasan buatan tersebut untuk kemudian menakar kemampuan kita dalam bermain gim. Melawan AI dengan tingkat world class pasti lebih sulit daripada amateur.
Meski demikian, jauh sebelum AI berkembang seperti sekarang dan lebih berkembang lagi di masa depan, persepsi manusia terhadap apa yang bisa AI lakukan berubah drastis pada 11 Mei 1997. Pada hari itu, juara dunia dan grand master catur Garry Kasparov takluk dari Deep Blue, sebuah program permainan catur yang dikembangkan oleh IBM.
[VIDEO] On this day: Andres Iniesta Lahir
Kekalahan Kasparov dari Deep Blue menjadi awal ancaman kecerdasan buatan terhadap manusia. Belum terlalu menakutkan seperti superintelligence Skynet yang memusnahkan manusia di film Terminator, memang, namun pertandingan tersebut benar-benar mencerminkan plot klasik Terminator: manusia vs mesin.
Kekalahan Kasparov: Awal Kejayaan Kecerdasan Buatan
Sebelum Deep Blue mengalahkan Kasparov, sudah ada banyak komputer yang mencoba mengalahkan grand master; komputer selalu kalah. Para ilmuwan komputer di IBM terus mengembangkan pemrograman catur untuk mengalahkan manusia.
Pada 1989, Feng-hsiung Hsu, seorang lulusan Carnegie Mellon University, bekerja bersama Murray Campbell, Joe Hoane, Jerry Brody, dan C. J. Tan di IBM Research untuk menciptakan mesin yang handal bermain catur. Mereka menamainya Deep Blue.
Tim catur manusia menang melawan versi awal Deep Blue pada 1996. Pertandingan melawan Kasparov pada 1997 digelar sebagai rematch.
Tidak ada angka pasti untuk peluang kemenangan Deep Blue atas Kasparov. Meski demikian, sains dalam pemrograman Deep Blue sangat kuat. Deep Blue mencerminkan kecerdasan para perancangnya, yang mana adalah manusia. Para perancang Deep Blue tentu tidak sepandai Kasparov dalam bermain catur, namun ciptaan mereka mampu mengeksplorasi sampai 200 juta kemungkinan posisi catur per detiknya.
Hasil pertandingan Kasparov vs Deep Blue kemudian menjadi tajuk utama di seluruh dunia. Kemenangan Deep Blue tidak menandakan kebaruan teknologi, tetapi menandakan apa yang bisa kecerdasan buatan lakukan kepada kehidupan manusia.
Berangkat dari kemenangan atas Kasparov, AI terus berkembang hingga mampu merajai permainan yang lebih kompleks seperti Jeopardy (pada 2011) dan Go (2016). Para ilmuwan tidak berhenti di situ. Mereka terus mencoba melampaui tingkat berikutnya. Tujuannya bukan lagi memenangi pertandingan berbasis pemikiran dan simulasi, melainkan pertandingan berbasis fisik: sepakbola.
RoboCup: Piala Dunia untuk Para Robot
Sepakbola tergolong mudah bagi manusia, namun membayangkan manusia jenius sepakbola seperti Lionel Messi atau Cristiano Ronaldo kalah dari robot-robot di atas lapangan termasuk pemikiran yang amat berani.
Pada kenyataannya, tidak banyak laboratorium sains yang bisa menciptakan robot humanoid yang sekadar bisa berjalan. Berlari di atas lapangan, mengontrol dan menendang bola sepak, berkomunikasi dan bekerja sama dengan rekan-rekan robotnya menerima tekanan fisik dan mental dari lawannya, sampai memperlihatkan ekspresi sedih, gembira, atau kesakitan pada situasi-situasi yang biasa kita temui di sepakbola manusia melawan manusia tentu lebih sulit lagi.
Akan tetapi, hal-hal di atas tidak menghentikan para ilmuwan untuk mengembangkan robot pesepakbola. Piala Dunia Robot bertajuk RoboCup kemudian lahir pada 1997. Saat ini, kompetisi sepakbola robot sudah rutin dilakukan setiap tahun.
Sementara para pesepakbola adalah mereka yang mengikuti kejuaraan-kejuaraan sepakbola manusia, peserta kejuaraan-kejuaraan sepakbola robot adalah para ilmuwan dan mahasiswa.
“Sepakbola adalah tugas yang bermanfaat bagi para ilmuwan untuk mengembangkan kecerdasan buatan robotik karena membutuhkan robot untuk mempersepsikan lingkungan, menggunakan sensor-sensor mereka untuk memodelkan lingkungan tersebut, dan kemudian menggunakan data untuk penalaran dan mengambil tindakan yang sesuai,” kata Claude Sammut dari ARC Centre of Excellence for Autonomous Systems (Sydney), dikutip dari Wiley.
“Di atas lapangan di mana lingkungan terus berubah dan tak bisa terprediksi, membutuhkan robot untuk cepat merasakan, bernalar, bertindak, dan berinteraksi dengan sesuai,” lanjut Sammut.
Kondisi dan lingkungan RoboCup selalu berubah dan lebih menantang dari tahun ke tahun. Misal: alas lapangan RoboCup yang awalnya hanya karpet hijau kemudian digantikan oleh rumput sintetis. Contoh lain: Tiang gawang dan bola yang berwarna putih—itu menjadi tantangan tersendiri, karena membuat robot kesulitan membedakan tiang dengan bola.
Tantangan bermain sepakbola untuk robot lebih besar ketimbang catur, Jeopardy, atau Go. Banyak masalah teknis yang belum terbayangkan seperti pengambilan waktu ketika robot menendang sambil berlari, bergerak di atas lapangan yang basah, stamina robot untuk bisa bertahan selama 90 menit, material robot yang digunakan untuk tahan kontak fisik, dan lain sebagainya.
Proyek tahunan RoboCup ini memiliki niat ambisius: “Tantangan yang RoboCup tuju adalah, pada 2050, untuk mengembangkan sebuah tim yang seluruhnya diisi robot mandiri yang bisa menang melawan juara sepakbola dunia manusia menggunakan sepakbola sesuai aturan FIFA,” kata Sammut.
Masa Depan AI Berbentuk Fisik
Perkembangan artificial intelligence di sepakbola hadir dalam berbagai bentuk—dari yang tidak langsung seperti video game; database yang bisa digunakan untuk membantu manajer, pemain, atau bahkan bandar judi; sampai ke bentuk yang langsung seperti yang dicita-citakan RoboCup: mengalahkan juara dunia sepakbola manusia pada 2050.
Tidak mudah merealisasikan ambisi RoboCup, namun tidak mustahil juga. Jauh sebelum Kasparov dikalahkan Deep Blue, pemrograman komputer untuk mengalahkan grand master catur sudah dimulai pada 1968. Saat itu, John McCarthy dan Donald Michie bertaruh kepada juara catur David Levy. Taruhannya, dalam 10 tahun Levy bisa dikalahkan komputer dalam permainan catur.
Pada kenyataannya, seorang juara catur baru benar-benar bisa dikalahkan oleh komputer pada 11 Mei 1997. “Aku sudah banyak bermain melawan komputer tapi tak pernah mengalami sesuatu seperti ini. Aku bisa merasakan, aku bisa mengendus, jenis kecerdasan baru di seberang meja sana,” kata Kasparov kepada TIME.
Sekarang para pemain sepakbola manusia hanya perlu memikirkan bagaimana caranya mengalahkan manusia lainnya untuk menjadi juara. Kita tidak tahu apa yang akan terjadi pada 2050 nanti, namun untuk mengintip saja, bisa jadi manusia tak akan pernah bisa membobol gawang robot, seperti yang ditunjukkan pada teknologi yang dikembangkan oleh TOTO (merek toilet) dan toto (organisasi judi olahraga) di bawah ini.
Meski bentuknya seperti bercanda, “toilet goalkeeper” ini sangat responsif. Tidak heran jika toiletrobot bisa menguasai sepakbola di 2050 nanti.
Komentar