Oleh: Rizqona Faqihul Ilma
Tiba-tiba saja saya teringat Hidetoshi Nakata, pesepakbola fenomenal berkebangsaan Jepang yang pernah saya baca kisahnya dalam sebuah artikel di Pandit Football. Perjalanan karier Nakata sebagai pesepakbola bisa dibilang cukup unik. Saat berada di puncak karier, Nakata memutuskan pensiun. Usianya saat itu masih cukup muda dan produktif untuk seorang gelandang serang—29 tahun.
Banyak pihak terkejut oleh keputusan Nakata kala itu. Terlebih karena pilihan Nakata untuk gantung sepatu tidak diikuti sebuah alasan yang dapat memuaskan rasa penasaran para penggemar atas sikap tak lazim yang diambilnya. Misteri tersebut dibiarkan menggantung.
Pada 2014, Nakata akhirnya buka suara terkait alasannya menarik diri dari sepakbola.
Ia beralasan bahwa semakin lama sepakbola semakin menjadi bisnis besar belaka. Tak ada lagi hasrat dan kebahagiaan yang Nakata dapat dari sepakbola. Biarpun kariernya sedang melejit kala itu, Nakata sudah tidak bisa lagi bersenang-senang dengan sepakbola yang orientasinya uang belaka.
***
Selesai mengingat-ingat perjalanan karier seorang Hidetoshi Nakata, ingatan saya terbang ke sebuah kejadian yang belum lama ini terjadi: sebuah pernyataan dari seorang legenda, Arsene Wenger, yang menyatakan undur diri di akhir musim setelah menahkodai Arsenal selama hampir 22 tahun.
Setelah menghantam habis lewat tagar #WengerOut yang hampir selalu muncul tiap musim, harapan para pendukung Arsenal pun terwujud. Wenger mengakhiri perjalanan panjangnya dengan terhormat, walau masih tanpa gelar.
Jagad sepakbola mendadak mellow; tak terkecuali para pendukung Arsenal yang tadinya terlihat begitu menantikan momen ini terjadi—terlebih saat menonton pertandingan terakhir Wenger di Emirates Stadium Minggu (6/5) lalu.
Dibuka dengan guard of honour istimewa dari para pemain kedua kesebelasan (Arsenal menjamu Burnley hari itu), pertandingan malam itu menjadi momen yang begitu emosional buat seluruh penikmat sepakbola, terkhusus pendukung Arsenal.
Hasil akhir pertandingan membuat pertandingan tersebut menjadi lebih istimewa. Arsenal menang 5 gol tanpa balas atas tim underdog yang setia memepet Arsenal di peringkat keenam. Walhasil, wajah sumringah Wenger pun tampak sepanjang laga.
***
Mundurnya Arsene Wenger dari jabatannya sebagai manajer Arsenal bukan suatu hal biasa. Bagi saya, ini sebuah pertanda. Sebuah gong yang secara resmi menandai masuknya sepakbola ke sebuah era baru.
Seperti yang sudah lama dirasakan Hidetoshi Nakata, sepakbola dewasa ini hanya menyoal bisnis dan uang. Sulit sekali menemukan kebahagiaan di dalamnya. Mundurnya Arsene Wenger sang pemegang rekor jumlah pertandingan Liga Primer Inggris (sekaligus manajer dengan masa bakti terlama di tim yang sama) semakin memperjelas yang dirasakan Nakata beberapa tahun sebelumnya.
Sepakbola bukan lagi permainan kelas pekerja, melainkan sudah bertransformasi menjadi pergulatan bisnis kaum borjuis. Sepakbola yang tadinya menjadi sarana legitimasi para gangster untuk unjuk kekuatan, sekarang berubah menjadi ajang kuat-kuatan investasi dan modal.
Rasanya akan sulit mencari Nakata-Nakata yang baru. Sama sulitnya dengan mencari manajer-manajer penuh dedikasi seperti Sir Alex Ferguson dan Wenger saat nilai-nilai sepakbola sudah jauh bergeser seperti sekarang ini. Pemain-pemain loyal macam Ryan Giggs, Francesco Totti, dan Paul Scholes yang hanya mengenakan satu seragam sepanjang kariernya pun saya rasa akan begitu sukar ditemukan.
Mungkin kita semua sudah lupa dengan apa yang diajarkan Tsubasa Ozora lewat serial yang menginspirasi banyak pesepakbola itu: bahwa sepakbola adalah permainan yang menyenangkan, melekat dengan hidup dan begitu membahagiakan.
Wenger mungkin menjadi tokoh paripurna. Penutup bagi para pelaku sepakbola yang menjalani profesinya dengan penuh dedikasi dan cinta. Selamat datang di era baru sepakbola!
Penulis adalah seorang mahasiswa. Berdomisili di Kota Bekasi. Dapat dihubungi lewat akun Twitter @RizqonaFI.
Tulisan ini merupakan hasil kiriman penulis lewat rubrik Pandit Sharing. Segala isi dan opini yang ada di dalam tulisan merupakan tanggung jawab penuh penulis.
Komentar