Paris Saint-Germain memainkan laga kandang terakhir mereka di Ligue 1 musim ini dengan menjamu Stade Rennais FC di Parc des Princes pada 13 Mei 2018. Sebelum sepak mula, para pemain PSG berdiri berjejer. Mereka hendak melakukan sesi Guard of Honour.
Guard of Honour yang akan dipersembahkan oleh para pemain PSG malam itu bukan untuk Stade Rennais. Bukan juga untuk kepala pelatih mereka, Unai Emery, yang telah mempersembahkan empat gelar domestik untuk PSG musim ini dan akan meninggalkan Les Parisiens di akhir musim. Guard Honour tersebut dipersembahkan rekan setim mereka yang akan mengakhiri kariernya sebagai pesepakbola di akhir musim, Thiago Motta.
Istri tercinta Motta, Francisca Motta, lebih dulu memasuki lapangan dengan memakai jersey PSG bernomor 8—nomor punggung Thiago Motta. Francisca memasuki lapangan sambil menuntun putrinya. Tepuk tangan dari para pemain PSG yang berjejer di kedua sisinya mengiringi derap langkah Francisca.
Tak lama kemudian, Thiago Motta keluar dari lorong. Suasana Parc des Princes semakin meriah. Sorak-sorai dan tepuk tangan penonton langsung menyambutnya. “Motta! Motta! Motta!” pekik mereka. Motta berjalan perlahan memasuki lapangan sambil menyapa rekan satu tim yang berbaris di sisinya. Ia tetap santai di tengah riuhnya suasana.
Di tengah lapangan, tepat di lingkaran tempat dilakukannya sepak mula, spanduk besar bergambar Motta dibentangkan. Di bawahnya, tulisan “Grazie Thiago Motta” terpampang.
https://twitter.com/PSG_English/status/996447063478030337
Thiago Motta pantas mendapatkan seremoni perpisahan yang besar dari PSG dan para pendukungnya. Motta adalah pemain yang berperan besar dalam membangun kejayaan PSG. Memang, gelontoran dana sang pemilik, Nasser Al-Khelaifi, membuat PSG bisa dengan mudah membangun tim bertabur bintang. Tapi Motta adalah pemain yang secara konsisten, sejak awal 2012 (beberapa bulan setelah akuisisi Al-Khelaifi), memperkenalkan pemain bintang yang baru bergabung pada PSG yang telah menjadi kesebelasan besar.
***
Bisa memenangkan banyak gelar sambil bermain untuk klub di negara sendiri adalah sebuah kenikmatan bagi seorang pemain. Thiago Motta merasakan semua itu ketika masih membela Inter Milan sebelum akhirnya memilih bergabung bersama PSG. Bagi Motta menaklukkan Italia saja tak cukup.
Saat membela Inter pada 2009, Motta meraih banyak gelar. Di musim pertamanya saja, 2009/10, Motta langsung meraih treble bersama Inter dengan menjuarai Liga Champions, Serie A, dan Piala Super Italia.
Motta rela melepas segala kenyamanan yang ia rasakan itu dengan hengkang ke PSG. Saat itu, kondisi PSG belum seperti sekarang. PSG belum menjadi tim yang merajai kompetisi sepakbola Perancis. Terakhir kali PSG menjadi juara di Liga Perancis pada musim 1993/94.
Dibandingkan dengan Inter Milan atau Barcelona—dua klub yang sebelumnya dibela Motta, PSG adalah tim yang jauh lebih hijau. Motta sendiri yang mengatakannya.
“Aku tidak tahu banyak tentang reputasinya [PSG] ketika aku tiba. Yang aku tahu bahwa PSG adalah klub yang masih muda jika dibandingkan dengan Barca atau Inter. Aku harus berbuat sesuatu di sini,” tutur Motta kepada Football Italia.
Tekad itu yang dibawa Motta saat menerima pinangan PSG. Ia hendak membantu PSG untuk meraih kesuksesan. PSG pun berharap dengan segala pengalaman yang dimiliki Motta saat meraih berbagai gelar di Barcelona dan Inter Milan dapat membantu mereka untuk meraih kejayaan.
Motta langsung diandalkan oleh kepala pelatih PSG ketika itu, Carlo Ancelotti, walau dirinya baru bergabung di pertengahan musim. Hingga musim berakhir, total sebanyak 14 kali penampilan ia catatkan bersama PSG. Dua gol dicetaknya.
Di akhir musim, PSG finis di peringkat kedua. Hanya berselisih tiga poin dari Montpellier yang menjadi juara. Artinya PSG masih belum bisa juara walau sudah memiliki Motta yang merupakan pemain dengan segala trofi beserta pelatih dan pemain jempolan lainnya.
Baru pada musim berikutnya PSG, akhirnya, meraih kembali gelar Ligue 1. Pertama kalinya setelah 19 tahun. Akan tetapi Motta tidak banyak bermain karena didekap cedera panjang.
Alih-alih tersisih ketika nakhoda kepelatihan PSG berganti dari Ancelotti ke Laurent Blanc pada musim 2013/2014, Motta tetap dipertahankan. Jadi pemain kunci malah. Sepanjang musim, Motta hanya absen 6 kali.
Bahkan bersama Blanc di musim-musim berikutnya, Motta menjadi pemain PSG yang paling sering menyentuh bola—menunjukkan betapa besar peran Motta bagi PSG di setiap pertandingannya.
Trofi yang dipersembahkan Motta bersama Blanc untuk PSG ada 11 dalam tiga musim. Semuanya trofi domestik. Dua trofi Ligue 1. Tapi sebagai kesebelasan, PSG telah meningkat. Saat dua musim bersama Ancelotti hanya satu trofi saja yang diraih.
Baca juga: Makna Lain Kemenangan PSG di Final Coupe de France
Kontrak Motta di PSG habis per 30 Juni 2018. Di musim terakhirnya pemain kelahiran 28 Agustus 1982 itu lebih banyak menghabiskan waktunya di ruang perawatan. Ini juga yang menjadi alasannya gantung sepatu.
“Aku tak bisa meneruskan bermain di level ini. Ketika aku membandingkan diriku dengan rekan satu timku yang masih muda, aku merasakan sekali perbedaannya. Aku telah menurun secara fisik,” ungkapnya.
Terlepas dari kondisinya saat ini, peran besar Motta di lini tengah telah berhasil membawa PSG merengkuh kejayaannya. Total lima gelar juara Ligue 1 berhasil dipersembahkannya untuk PSG—empat di antaranya diraih berturut-turut. Di luar itu, Motta juga berhasil mempersembahkan 13 gelar domestik lain untuk PSG. Peran besarnya pun tak disangkal oleh Unai Emery, pelatih terakhirnya di PSG.
“Dia telah meraih 28 gelar selama berkarier sebagai pemain sepakbola. Dia juga telah memainkan 229 pertandingan untuk PSG. Identitas yang kuat telah ia berikan untuk PSG. Setiap orang yang bermain bersamanya pasti merasakan hal tersebut,” ujar Emery kepada News & Star.
***
Musim 2017/18 menjadi musim keenam (5,5 lebih tepatnya) Motta bersama PSG. Untuk menyebutnya sebagai pemain loyal mungkin belum ada apa-apanya jika dibandingkan pemain-pemain seperti Andres Iniesta, Michael Carrick atau Gianluigi Buffon yang hampir dua dekade mencium badge yang sama. Tapi di era modern seperti sekarang ini, membela satu kesebelasan lebih dari lima musim dan memberikan lebih dari 20 gelar sudah menunjukkan betapa loyalnya pemain tersebut.
Enam tahun bersama PSG membuat Motta kerasan tinggal di ibu kota Perancis. Dari situ pula lahir loyalitas Motta untuk PSG. Ia berencana untuk meneruskan karier sebagai pelatih tim muda PSG. “Dia [Motta] punya kualitas untuk menjadi seorang pelatih yang hebat,” ungkap Emery kepada Squawka.
Tidak hanya pelatih tim muda, Motta juga berharap suatu hari nanti bisa melatih Paris Saint-Germain. Motta akan berusaha mengejar mimpi itu tahap demi tahap. Tahapan yang jika terwujud akan semakin menegaskan loyalitasnya pada PSG.
“Tujuanku adalah suatu hari nanti aku bisa melatih tim utama PSG. Aku akan mengejar mimpi itu secara bertahap. Keinginan itu akan selalu ada di sudut pikiranku, kendati masih akan sangat lama. Seperti halnya ketika aku memulai karier sebagai pemain,” ujarnya kepada Four Four Two.
Tahap pertama telah dilewati Motta dengan mengakhiri karier sebagai pemain. Tahap pertamanya itu pun dirayakan bersama rekan setim, staf pelatih, dan para pendukungnya. Mereka pantas berterimakasih setinggi-tinggnya pada pemain keturunan Brasil tersebut. Berkat dedikasinya yang tinggi, ia telah menjadikan Paris sebagai tempat asal salah satu kesebelasan besar Perancis.
https://twitter.com/PSG_English/status/1000747496468045826
Komentar