Liga Champions di Antara Nilai Jual dan Tradisi

Backpass

by Evans Simon

Evans Simon

Pandit Football Indonesia mengkhususkan pada analisis pertandingan sepakbola, statistik dan liga, juga sejarah perkembangan sepakbola dan evolusi taktiknya

Liga Champions di Antara Nilai Jual dan Tradisi

Final Liga Champions antara Internazionale Milan dengan FC Bayern pada 22 Mei 2010 terbilang historis. Bukan hanya karena Inter menahbiskan diri sebagai kesebelasan Italia pertama yang meraih treble winners, melainkan juga karena perubahan jadwal pertandingan.

Liga Champions adalah kompetisi elite. Mayoritas kesebelasan yang berlaga memiliki skuat bertabur bintang. Fakta bahwa mereka mempertemukan kesebelasan-kesebelasan top dari Eropa berbeda turut menjadi faktor penting.

Tentu tidak aneh jika kemudian para penggila sepakbola, terutama yang berada di Asia, rela mengorbankan jatah tidur demi menyaksikan laga melalui layar kaca. Pertandingan Liga Champions memang digelar pada pertengahan pekan, menjelang atau lewat dini hari, di benua Asia.

Risiko kena omelan bos di kantor atau guru di sekolah karena mengantuk sehabis begadang menonton pertandingan pun seakan menjadi keunikan tersendiri dari Liga Champions. Rasanya tak berlebihan kalau fenomena ini disebut sebagai sebuah `tradisi`. Terlebih lagi jika pertandingannya adalah sebuah final, momen penting sejarah.

Perjuangannya agak sedikit berbeda (dan lebih sulit) di Amerika Serikat. Umumnya, pertandingan Liga Champions digelar sekitar siang hari waktu AS.

Salah satu cara UEFA untuk memanjakan penonton global adalah dengan memindahkan hari pertandingan final. Laga pamungkas yang sebelumnya digelar pada pertengahan pekan, diganti menjadi akhir pekan sejak musim 2009/10.

Perubahan hari laga final terbukti jitu. Jumlah penonton terus meningkat sejak Javier Zanetti dkk. mengangkat Si Kuping Besar di Stadion Santiago Bernabeu. Contohnya, final antara Real Madrid vs Atletico Madrid pada musim 2013/14 mencatatkan sekitar 380 juta penonton di lebih dari 200 negara. Sebagai perbandingan, SuperBowl hanya mencatatkan 114 juta penonton di tahun yang sama. Padahal, Liga Champions (109 juta penonton) kalah dari SuperBowl (121 juta penonton) di tahun 2010.

Memungkiri perubahan hari final tidak didasari oleh kepentingan komersil adalah banal. Bagaimanapun, perlu diingat bahwa perubahan jadwal ini disambut baik oleh kesebelasan-kesebelasan peserta. Mereka jadi memiliki waktu lebih banyak untuk mempersiapkan diri. Para suporter juga lebih mudah untuk memberi dukungan langsung di stadion.

Liga Champions di Masa Mendatang

Berbicara perubahan jadwal Liga Champions, per musim 2018/19 mendatang juga akan ada perubahan yang terbilang cukup signifikan di fase penyisihan grup.

“Telah diputuskan akan ada dua waktu kick-off di UEFA Champions League, yaitu pada pukul 19.00 CET (dua pertandingan) dan 21.00 CET (enam pertandingan), sehingga para fans bisa menonton lebih banyak pertandingan,” tulis UEFA dalam rilis resminya. Dengan demikian, kita yang di Indonesia sudah bisa mulai menyaksikan laga Liga Champions pada pukul 00.00 WIB.

Dengan meningkatnya jumlah pertandingan yang disiarkan, tentu ada potensi besar kenaikan jumlah penonton. Apalagi, hak siar pertandingan sepakbola sudah mulai menjadi komoditas panas bagi para pemilik perusahaan streaming berbayar. Oliver & Ohlbaum memprediksi adaptasi kemajuan teknologi ini dapat membuat harga hak siar meningkat hingga 6,5% per tahun selama empat tahun ke depan.

Pertanyaannya, dampak apa yang akan dirasakan kesebelasan? Jawabannya masih perlu ditunggu. Kesebelasan berpotensi mendapatkan pemasukan hak siar yang lebih besar seiring bertumbuhnya harga jual, lebih-lebih jika mampu melangkah jauh di kompetisi.

Di sisi lain, pihak yang berwenang di setiap-setiap liga harus ekstra berhati-hati dalam mengatur jadwal. Jika salah, klub yang mewakili negara mereka bisa dirugikan. Satu yang pasti, kompetisi utama dan Liga Champions tidak akan pernah terganggu dengan pertandingan antar tim nasional.

Komentar