Bagi Real Madrid, sepakbola sebagai kesenangan adalah mitos. Trofi menjadi satu-satunya hal yang riil, dan itulah yang mereka incar dalam Final Liga Champions 2017/18 melawan Liverpool.
Pertama-tama, sepakbola adalah cabang olahraga. Ini berarti keduanya berasal dari satu benih: ‘Disports’, bahasa Perancis kuno yang berarti ‘untuk menghibur diri’ atau ‘untuk menyenangkan diri’.
Saya rasa, itulah pemahaman awal yang kita terima ketika diperkenalkan dengan sepakbola. Terutama jika masih kecil. Intinya adalah memperebutkan, berbagi, dan menendang sebuah objek tiga dimensi berbentuk bulat bersama teman.
Ketika kecintaan sudah mulai bertumbuh, barulah kita tahu bahwa ada banyak kesebelasan (profesional) di dunia. Mereka populer, terlebih kalau punya banyak trofi.
Jumlah gelar memang cara paling mudah untuk ‘mempelajari’ sejarah kesebelasan. Bagi yang baru mengenal sepakbola di awal milenium (lebih tepatnya, tahun 2004), tidak ada kesebelasan dengan histori yang lebih mentereng ketimbang Real Madrid.
Tak perlu tahu dulu bahwa arti julukan Los Blancos adalah ‘Si Putih’. Melihat seragam putih dengan logo bundar plus mahkota serta sponsor salah satu merek ponsel ternama di eranya, kemungkinan besar kebanyakan dari kita pasti sudah langsung mengenali Real Madrid. Tidak ada ‘Si Putih’ lain yang lebih terkenal.
Mahkota yang ada di logo Madrid sendiri bukan sekadar hiasan. ‘Real’ adalah bahasa Spanyol untuk ‘Royal’, ‘bagian dari kerajaan’. Kata dan mahkota itu diberikan langsung oleh Raja Alfonso ke-13.
Pemain-pemain di dalam tim juga memiliki tingkat popularitas menjulang. Ronaldo da Lima, Zinedine Zidane, Luis Figo, David Beckham. Sebagai individu, nama mereka bisa dikatakan sama terkenalnya dengan kesebelasan-kesebelasan elite dunia.
Los Galacticos; galactic. Bintang-bintang alam semesta berkumpul untuk menciptakan kekuatan tak tertandingi. Identitas Madrid sebagai kesebelasan super pasti melekat di ingatan anak-anak yang baru mengenal sepakbola di tahun tersebut.
Masalahnya, di saat bersamaan, Madrid tidak lebih dari sekadar mitos. Merujuk Kamus Besar Bahasa Indonesia, mitos (dalam konteks Madrid) adalah cerita tentang pemain dan pahlawan sebuah kesebelasan zaman dahulu.
Kenapa zaman dahulu? Karena asal-usul pemahaman sebuah kesebelasan sukses adalah tafsir yang diciptakan oleh Madrid, melalui hegemoni di periode 1950 hingga 1990.
Mengambil teori hegemoni Antonio Gramsci, dominasi baru menjadi hegemoni ketika ide-ide yang didiktekan oleh kelompok dominan terhadap kelompok yang didominasi diterima sebagai sesuatu yang wajar.
Di Liga Spanyol, El Real meraih 23 titel dalam kurun 40 tahun. Adapun di kompetisi yang kini kita kenal dengan nama Liga Champions, mereka mendapatkan 6 trofi di dalam rentang waktu yang sama.
Yang menjadikan raihan Madrid terasa lebih spesial adalah kemampuan mereka mempertahankan gelar lebih dari dua musim berturut-turut, baik di La Liga (1960-1965, 1966-1969, 1977-1980, dan 1985-1990) maupun Liga Champions (1955-1960).
Barisan trofi itulah yang kemudian semacam jadi standar kesuksesan di mata mayoritas penggemar sepakbola. Maka, rasanya wajar jika kesebelasan seperti Arsenal yang lebih suka membanggakan stabilitas finansial ketimbang gelar menjadi sasaran cemooh dalam satu dekade terakhir.
Baca juga: Makna Delapan Bintang di Logo Liga Champions
Tentu ada konteks-konteks yang harus diperhatikan dalam menerawang prestasi Madrid. Misalnya dukungan besar dari Jenderal Franco yang menjadikan Madrid sebagai alat propaganda kekuataan Spanyol. Bagaimanapun, prestasi tetaplah prestasi, kecuali tiba-tiba ketahuan bermain curang dan titelnya dicopot.
Madrid juga kena getah dari standar yang mereka ciptakan. Meski meraih enam trofi Liga Spanyol dan dua trofi Liga Champions dalam periode 1991 hingga 2008, mereka tidak lagi mendominasi.
Los Merengues (julukan Madrid lainnya) hanya pernah satu kali mempertahankan titel juara Liga Spanyol, yakni pada musim 2006/07 dan 2007/08. Bandingkan dengan Barcelona yang dalam periode tersebut mengoleksi delapan trofi Liga Spanyol (empat musim berturut-turut dari 1991 hingga 1994).
Perlu dicatat bahwa tidak ada satu pun Galactico tersisa di skuat Madrid pada musim 2007/08. Jadi, rasanya cukup adil jika mengatakan bahwa kemasyhuran Madrid adalah mitos bagi anak-anak yang baru mengenal mereka pada 2004.
***
Membicarakan Los Galacticos tidak lengkap jika tidak menyebut nama Florentino Perez. Ialah otak dari proyek skuat mega-bintang tersebut. Untuk itu, mari kita mundur ke tahun 2000.
Perez merupakan salah satu calon dalam pemilihan presiden kesebelasan yang baru. Sang petahana, Lorenzo Sanz, sebenarnya memiliki posisi cukup kuat setelah mengantarkan Madrid menjuarai Liga Champions pada musim 1997/98 dan 1999/2000.
Bagaimanapun, janji Perez untuk menghapus utang kesebelasan yang mencapai 270 juta euro dan mendatangkan Figo dari Barcelona ternyata lebih menggiurkan bagi para pemilik suara. Ia terpilih sebagai presiden dan Figo menjadi Galactico pertama.
Pemain asal Portugal itu didatangkan dengan mahar 60 juta Euro, menjadikannya pemain termahal dunia ketika itu. Zidane (77,5 juta Euro, memecahkan rekor Figo), Ronaldo (45 juta Euro), dan Beckham (37,5 juta Euro) menyusul dalam tiga musim berikutnya.
Selain empat bintang utama, ada juga bintang-bintang ‘kecil’ lain, seperti Michael Owen, Jonathan Woodgate, Robinho, Julio Baptista, Antonio Cassano, dan tak ketinggalan Sergio Ramos.
Yang dilupakan Perez: trofi lebih tertarik dengan kemampuan ketimbang uang dan nama besar. Keputusan memecat pelatih Vicente Del Bosque dan menjual Claude Makelele ke Chelsea pada 2003 menjadi bumerang.
Baca juga: Mega Proyek Galacticos yang Takkan Berhenti Hingga 2021
Terkait penjualan Makelele, Zidane mengatakan, "Untuk apa menambahkan lapisan emas ke sebuah Bentley jika Anda kehilangan seluruh mesinnya?"
Madrid kemudian nilgelar selama dua musim. Satu per satu Galatico angkat kaki dari Estadio Santiago Bernabeu, dan Perez pun memutuskan mundur pada Februari 2006.
Pria yang lahir pada 8 Maret 1947 itu baru kembali ke kesebelasan pada 2009. Dengan semangat membara, ia membangkitkan proyek Los Galacticos.
Pada 8 Juni 2009, Madrid memecahkan rekor pemain termahal dunia dunia yang dipegang Zidane dengan merekrut Ricardo Kaka dari AC Milan seharga 65 juta Euro. Tiga hari berselang, rekor Kaka dilewati oleh Critiano Ronaldo. Ia dibeli dari Manchester United dengan harga 94 juta Euro.
Seperti Galacticos I, membeli pemain bintang tidak berarti Madrid otomatis menjadi juara. Setelah bongkar-pasang pemain, mereka baru bisa mengangkat trofi Liga Spanyol pada musim 2011/12 berkat tangan dingin Jose Mourinho.
Adapun mimpi La Decima baru terwujud di bawah asuhan pelatih Carlo Ancelotti pada musim 2013/14. Madrid menjadi kesebelasan pertama yang mengoleksi trofi Liga Champions sampai dua digit.
Perez, seperti biasa, tidak mudah puas. Kegagalan membawa Madrid meraih gelar juara pada musim 2014/15 membuat Ancelotti dipecat. Ia digantikan Rafael Benitez.
Nama terakhir hanya bertahan selama kurang lebih enam bulan karena gagal mencuri hati pemain dan para fans. Suksesornya adalah wajah yang tak asing bagi Madrid: Zidane.
Pada (setengah) musim perdanannya, pria asal Prancis tersebut sukses mengantarkan Madrid menjuarai Liga Champions yang ke-11 dalam sejarah kesebelasan. Prestasi ini membuatnya dipercaya untuk terus menangani Madrid di musim 2016/17.
***
Zidane, seperti yang digambarkan oleh mantan pelatih Les Blues Raymond Domenech, adalah "sebuah mitos yang mampu menyalakan emosi orang lain, dan bukan hanya dalam hal positif".
Penjelasan Domenech mungkin teredengar surealis. Tapi, orang-orang yang pernah bekerja berdampingan dengan Zidane tahu bahwa Zidane memang tidak biasa.
Ketika ditunjuk menggantikan Benitez, Zidane belum memiliki pengalaman sebagai pelatih kepala. Ia hanya pernah menjadi asisten pelatih Ancelotti dan tim Castilla.
Pria berkepala plontos itu jauh dari kata ekspresif, bahkan terkesan pemalu. Tetapi, ia tahu cara untuk mengkomunikasikan idenya secara tepat.
Yang terpenting, Zidane memahami trik-trik untuk meredam otokrasi Perez, menaklukkan ego ruang ganti, dan meraih kemenangan.
Baca juga: Tentang Kiev yang Indah Itu...
Zidane sukses membatasi peran Perez dalam aktivitas bursa transfer. Di bursa transfer musim panas pertamanya, ia hanya mengeluarkan 30 juta Euro untuk membeli kembali Alvaro Morata dari Juventus.
Peraih Ballon d’Or tahun 1998 itu juga mempertegas pengaplikasian filosofi Los Galacticos I yang dikenal dengan nama ‘Zidanes y Pavones’. Artinya, meski mendatangkan pemain-pemain kelas dunia seperti Zidane, mereka tetap memainkan pemain-pemain jebolan La Fabrica seperti Francisco Pavon.
Pemain dengan nama besar tidak serta merta bermain di bawah arahan Zidane. Ia lebih percaya kepada pemain-pemain muda, seperti Marco Asensio dan Lucas Vazquez, yang kini masuk skuat Spanyol untuk Piala Dunia 2018.
Selain karisma dan kemampuannya ketika masih merumput, ketegasan itu pula yang membuat Zidane dihormati oleh para pemain senior seperti Cristiano Ronaldo, Sergio Ramos, dan Marcelo. Hasilnya? Zidane telah mengoleksi dua trofi Liga Champions dan satu trofi Liga Spanyol sebagai pelatih.
Zidane memang gagal membawa Madrid menjuarai Liga Spanyol musim ini, namun masih ada peluang mencapai sesuatu yang lebih besar: menjuarai Liga Champions untuk kali ketiga berturut-turut.
Sejak Liga Champions berubah format pada 1993, hanya ada segelintir kesebelasan yang pernah lolos ke final setelah menjadi juara di tahun sebelumnya: AC Milan (1993/94, 1994/95), Juventus (1995/96, 1996/97), dan Manchester United (2007/08, 2008/09). Perbedannya dengan Madrid, mereka semua tidak pernah menjadi juara di kesempatan kedua.
Fakta ini sendiri sebenarnya sudah membuat Madrid asuhan Zidane menjadi kesebelasan yang istimewa. Namun kenapa harus puas dengan istimewa kalau bisa menjadi abadi?
Jika benar-benar berhasil mengangkat `Si Kuping Besar` di Kiev, maka Madrid, Zidane, dan bahkan Perez harus mulai bersiap. Pada suatu hari nanti, mereka akan menjadi mitos bagi generasi-generasi baru.
Komentar