Apa yang kita sebut revolusi akan menjadi usang jika tidak ada revolusi selanjutnya. Jürgen Klopp adalah salah satu pelatih revolusioner. Taktik gegenpressing-nya sudah banyak menjadi bahan pelajaran baik bagi pelatih lainnya, bagi kalangan media, sampai penonton sepakbola yang iseng ingin tahu banyak soal taktik.
Ada dua kata yang paling mencerminkan taktik Klopp; “sangat energik”. Yang orang lain belum tentu sadari, ada konsekuensi yang hadir dari dua kata tersebut, yaitu: "oh, betapa lelahnya".
Bermain menekan dengan energik melelahkan untuk kesebelasan sendiri maupun kesebelasan lawan. Yang menekan capek, yang ditekan juga capek. Sebenarnya lebih lelah ditekan daripada menekan, apalagi jika dalam kondisi tidak siap.
Namun jika kita rentangkan kejadian-kejadian dalam jangka waktu panjang, kita akan mendapati jika kesebelasan yang konsisten bermain menekan dari pertandingan ke pertandingan, dari pekan ke pekan, dari bulan ke bulan, dan dari musim ke musim, adalah kesebelasan yang lebih lelah daripada kesebelasan manapun yang hanya ditekan dan “dikejar-kejar setan” hanya dalam 90 menit.
Liverpool dan gegenpressing sudah menjadi sinonim dalam tiga tahun ini. Jika empat paragraf di atas bisa diresapi betul, tak heran jika saya menganggap Liverpool adalah kesebelasan yang paling merasa capek.
Lelah Fisik dan Mental Meladeni Taktik Klopp
Dejan Lovren adalah bek berkualitas sebelum dibeli Liverpool, Virgil van Dijk apalagi, Joel Matip juga sangat diandalkan ketika di Schalke 04, bahkan Loris Karius menjadi penjaga gawang terbaik kedua di Bundesliga setelah Manuel Neuer sebelum pindah ke Anfield.
Tidak ada yang salah dengan setidaknya empat pemain di atas. Seolah menjadi bercanda jika saya bilang yang salah dari mereka adalah karena mereka bergabung dengan Liverpool.
Permainan gegenpressing sangat energik. Taktik ini mengagungkan transisi. Ada konsekuensi fisik dan mental yang mengikutinya. Para pemain jadi cepat capek dan para pemain juga jadi suka kehilangan konsentrasi.
Dalam jangka pendek, konsekuensi ini terjadi pada beberapa momen dalam satu pertandingan, umumnya menjelang peluit akhir. Sementara dalam jangka panjang, konsekuensi ini tercipta pada momen-momen menjelang akhir musim.
Momen “kelelahan” itu mungkin hanya terjadi satu, dua, atau tiga kali. Tapi satu, dua, atau tiga kali itu sudah lebih dari cukup untuk membuat frustrasi berkepanjangan. Contoh nyata bisa kita dapatkan dari blunder Karius di final Liga Champions UEFA 2018 (27/05).
Baca selengkapnya: Real Madrid Juara Liga Champions 2018
Pada pertandingan tersebut Karius menerima lima tembakan tepat sasaran. Ia membuat setidaknya dua penyelamatan yang menurut saya tergolong bagus. Namun yang disoroti banyak orang adalah bagaimana ia melakukan dua kali blunder, yang keduanya bukan menandakan rendahnya kemampuan teknis Karius, melainkan tingkat konsentrasi yang sedang alfa.
Penonton hanya bisa geleng-geleng kepala sambil mengejek. Tapi di sepakbola atau di mana pun, tak ada kejadian yang soliter, tak ada kejadian yang benar-benar kebetulan. Seperti kata mendiang Johan Cruyff, kebetulan adalah logis. Jadi sebelumnya (pasti) ada serangkaian kejadian lain yang bisa menjelaskan kejadian berikutnya.
Dalam hal ini, blunder Karius disebabkan oleh hilangnya konsentrasi. Hilangnya konsentrasi disebabkan oleh kelelahan fisik dan/atau mental. Kelelahan tersebut disebabkan karena taktik gegenpressing yang terlalu menuntut energi, dan seterusnya.
Kembali ke paragraf yang mengawali sub pembahasan ini: Lovren, Van Dijk, Matip, Karius, dan pemain The Reds lainnya, terutama pemain belakang, bukan pemain cupu. Rekam jejak mereka bagus. Stats mereka di gim FIFA dan Football Manager juga yahud. Lalu kenapa banyak orang yang menyoroti lagi dan lagi soal pertahanan buruk Liverpool?
Ini bukan masalah personel, tapi masalah sistem. Sebenarnya ada dua kunci untuk menjalani gegenpressing secara kontinyu: (1) kontrol waktu untuk sekadar santai, tak nge-press, dan (2) sebelas pemain yang bisa diganti sebelas pemain lainnya dengan sama baiknya dari pertandingan ke pertandingan. Selama Klopp dan Liverpool tak punya itu, repot lah mereka.
Bukan Salah Salah
Dari sebuah kebobolan, sangat mudah menyalahkan pemain bertahan yang tak becus. Dari sebuah kekalahan juga, sangat mudah menyalahkan... ya pemain bertahan lagi. Disadari atau tidak, gegenpressing Klopp membuat hampir semua pemain menjadi pemain bertahan (dalam arti positif).
“Momen terbaik untuk memenangkan bola adalah sesegera mungkin setelah kesebelasan kehilangan [penguasaan],” kata Klopp. “Lawan masih mencari orientasi ke mana mereka akan mengoper. Itu membuat mereka sangat rentan [untuk direbut].”
Kutipan di atas ditunjukkan betul oleh permainan Liverpool. Para penyerang mereka adalah pemain-pemain pertama yang melakukan tekanan kepada pemain bertahan lawan, di wilayah pertahanan lawan pula.
Pada final Liga Champions 2018, empat penyerang Liverpool (Sadio Mane, Roberto Firmino, Mohamed Salah, dan kemudian Adam Lallana) melakukan 11 tekel, satu intersep, dan 10 pelanggaran. Tiga aksi tersebut adalah aksi yang identik dilakukan oleh pemain bertahan.
Sebagai perbandingan, keempat pemain bertahan Liverpool (Trent Alexander-Arnold, Lovren, Van Dijk, dan Andrew Robertson) mencatatkan 8 tekel, 5 intersep, dan 5 pelanggaran malam itu. Tidak jauh beda bukan? Bahkan hampir tak ada bedanya.
Kebanyakan orang menyoroti permainan Liverpool berubah ketika Salah cedera dan ditarik keluar di menit ke-31. Sejujurnya jika dilihat dari kemampuan menekan, Liverpool tanpa Salah tak jauh beda. Satu hal yang berbeda adalah dari aspek penyerangan.
Baca selengkapnya: Yang Terjadi Pada Liverpool Setelah Salah Cedera...
Jika dibandingkan, Real Madrid dianggap punya kedalaman dengan opsi Gareth Bale sebagai pengganti Isco (yang dinilai bermain buruk). Ini yang tak dimiliki Liverpool. Bandingkan dengan Liverpool yang kehilangan Salah, seolah langsung hilang segalanya. Lagi-lagi, hal tersebut tak terlalu tercermin secara teknis, tapi tercermin secara mental.
Musim 2017/18 Liverpool biasa mengandalkan Salah. Wajar jika tanpa Salah, mereka kemudian seolah kehilangan orientasi. Tanpa bermaksud merendahkan peran Salah, saya ingin menunjukkan jika Liverpool sebenarnya lebih dari sekadar Salah. Namun itu justru tak tercermin di saat paling krusial, di final Liga Champions pula.
Apa yang salah dari situ? Pertanyaannya yang salah. Karena jika hanya mencari kambing hitam, kita bisa menyalahkan Sergio Ramos, yang malah tidak ada hubungannya dengan taktik Klopp.
Merencanakan Blunder
Kemampuan menekan tidak sama dengan kemampuan untuk keluar dari tekanan. Liverpool mengandalkan permainan pressing dengan terus mempertahankan transisi: bertahan ke menyerang, menyerang ke bertahan, dan seterusnya. Permainan mereka cenderung terburu-buru.
Pressing Liverpool bisa menciptakan kekacauan yang sangat bisa mengacaukan taktik lawan. Namun yang tak disadari, kekacauan yang terus berulang dan konsisten justru mengacaukan taktik si pengacau itu sendiri.
Kalau mau diibaratkan, gegenpressing itu seperti melatih atlet (pemain) agar terbiasa berlari (taktik) untuk berpindah dari Jakarta (awal musim) ke Surabaya (akhir musim). Ketika mereka terbiasa melakukannya, mereka akan menjadi atlet super.
Namun kebanyakan orang lupa jika ada cara yang lebih efektif dan efisien, cara yang kadang mahal, kadang juga malah dinilai tak indah, untuk berpindah dari Jakarta ke Surabaya. Naik pesawat misalnya. Itu lah kenapa ada banyak cara, ada banyak taktik untuk menjadi juara. Gegenpressing pasti adalah salah satunya.
Akan tetapi, dengan gaya permainan menekan Klopp yang menguras energi, tak heran kesebelasan asuhan Klopp hampir selalu kehabisan bahan bakar dan kehilangan konsentrasi: (1) menjelang akhir pertandingan dalam jangka pendek, dan (2) menjelang akhir musim dalam jangka panjang.
Saya, sih, tak kaget melihat dua dari tiga gol yang bersarang di gawang Liverpool pada final Liga Champions 2018 bisa disimpulkan sebagai blunder. Secara tidak langsung, itu semua sudah direncanakan.
Komentar