Penantian panjang Maroko untuk kembali tampil di Piala Dunia berakhir. Piala Dunia 2018 di Rusia menjadi penanda kembalinya Singa Atlas di putaran final turnamen antarnegara itu, setelah 20 tahun lamanya.
Laju Maroko ke Piala Dunia 2018 terbilang mengesankan. Hadangan Pantai Gading, Gabon, dan Mali di Grup C kualifikasi Zona Afrika dilalui tanpa kekalahan (tiga menang dan tiga imbang). Di fase kualifikasi, Maroko pun menjadi satu-satunya kesebelasan yang tak pernah kebobolan.
Kontribusi pemain di lapangan tak dimungkiri menjadi faktor penentu keberhasilan Maroko menembus putaran final Piala Dunia 2018. Namun peran Herve Renard sebagai pelatih pun tak bisa dikesampingkan.
Melalui gaya kepelatihannya yang agresif, Renard mampu menumbuhkan semangat juang anak asuhnya untuk memberikan yang terbaik dalam pertandingan. Karakternya dalam melatih sekilas mirip Juergen Klopp, Diego Simeone, atau Antonio Conte, meski sebenarnya Renard lebih mengagumi Jose Mourinho.
“Dia telah melakukan pekerjaan yang sangat baik. Anda bisa lihat atmosfer dalam tim—para pemain bersemangat dan kami telah membawa pendekatan yang lebih profesional. Semangatnya luar biasa dan pengaruhnya besar. Kadang punya kualitas saja tidak cukup” kata legenda sepakbola Maroko, Mustapha Hadji, dilansir dari The Guardian.
Khususnya bagi Renard, keberhasilan membawa Maroko lolos ke Piala Dunia 2018 telah menambah catatan apik dalam perjalanan kepelatihannya—terlebih saat menukangi tim Afrika. Di Benua Hitam, pamor Renard memang melejit sebagai pelatih hebat. Terutama setelah keberhasilan Renard membawa tim kuda hitam Zambia juara Piala Afrika 2012. Prestasi itu berlanjut saat ia menukangi Pantai Gading di tahun 2015.
Pencapaian tersebut menjadikan Renard pelatih pertama yang memenangi dua trofi Piala Afrika secara beruntun dengan tim berbeda. Catatan tersebut jauh lebih baik dari pelatih asing yang punya lebih banyak pengalaman melatih di Afrika seperti Claude Le Roy, Hassan Shehata, Winifred Schaefer, hingga Philippe Troussier.
Dalam satu titik kehidupannya, Renard mungkin tak pernah mengira bahwa ia akan menjadi pelatih sukses di kemudian hari. Semasa aktif bermain, karier Renard mentok di tim amatir. Dari tahun 1983 sampai 1998, ia bermain untuk AS Cannes (1983-1990), Stade da Vallauris (1991-1997), dan berakhir di SC Draguignan (1997-1998). Setelah memutuskan gantung sepatu pada usia 30, Renard mulai fokus melatih di SC Draguignan.
Awal perjalanan karier Renard sebagai pelatih tidaklah mulus. Penghasilannya sebagai pelatih Draguignan yang merupakan tim amatir tidaklah seberapa. Untuk menambah penghasilan, Renard pun mengelola perusahaan kecil yang bergerak di bidang pengumpulan sampah kantor.
Pada siang hingga sore hari, Renard bekerja sebagai pelatih. Kemudian pada malam harinya, ia datang ke beberapa kantor yang menjadi pelanggan perusahaan yang dikelolanya untuk memungut sampah kantor.
Walau begitu, tekadnya untuk mengembangkan ilmu kepelatihannya tak surut. Selama dua tahun Renard bertahan di Draguignan, belajar perihal teknis seakbola. Ketekunannya itu menarik perhatian Claude Le Roy. Di penghujung 2001, Le Roy menawari Renard menjadi asistennya di Shanghai Cosco.
Renard tak menolak ajakan tersebut. Dalam pikirannya, bekerja untuk Le Roy yang jauh lebih senior adalah kesempatan emas untuk lebih banyak belajar dalam mengembangkan kemampuan melatihnya.
Tidak hanya di Shanghai Cosco, Le Roy juga mengajak Renard untuk menjadi asistennya di Cambridge United pada 2004. Di klub tersebut, Le Roy mulai memberi Renard keleluasaan dalam menangani tim. Renard dipercaya membesut tim dalam sesi latihan. Sementara di pertandingan, Le Roy yang mengambil alih.
“Saya harus bersyukur kepada Tuhan karena telah dipertemukan dengannya. Dia adalah orang hebat, ayah kedua bagi saya, sebagaimana adanya. Kami masih berbicara di telepon meskipun secara tidak teratur. Setiap kali kami berbicara, saya belajar sesuatu yang patut diingat,” kata Renard, dilansir dari Goal.
Kebersamaan Renard dan Le Roy berakhir di tahun 2004. Saat itu, keduanya berpisah dengan Renard memilih terbang ke Vietnam untuk menukangi Song Da Nam Dinh, sementara Le Roy pergi ke Afrika menjadi pelatih timnas Kongo.
Ilmu yang didapat Renard dari Le Roy diaplikasikan saat ia menukangi Song Da Nam Dinh (2004) dan AS Cherbourg (2005-2007). Hingga pada 2007, Renard pun memilih kembali bekerjasama dengan Le Roy di timnas Ghana. Hanya setahun Renard bekerja sebagai asisten Le Roy di Ghana. Setelah mentornya itu menerima pinangan Oman, Renard pun menjadi pelatih kepala di timnas Zambia.
Le Roy punya pengaruh besar dalam keputusan Zambia mengangkat Renard sebagai pelatih kepala. Sebelum pergi ke Oman, Le Roy merekomendasikan Renard kepada Kalusha Bwalya (Presiden FA Zambia saat itu). Bwalya pun mengikuti saran Le Roy dan mengangkat Renard sebagai pelatih kepala timnas Zambia. Keputusan yang tak keliru, karena Renard mampu membawa Zambia melaju hingga perempat final Piala Afrika 2008. Itu pencapaian terbaik Zambia di Piala Afrika dalam 14 tahun terakhir.
"Secara pribadi, saya berhubungan dengan dia (Bwalya) dengan cukup baik, dan saya punya banyak alasan untuk melakukannya. Dia menunjuk saya atas rekomendasi Claude Le Roy dan saya yakin saya tidak memberinya alasan untuk menyesal,” tegas Renard.
Sukses membawa Zambia menapak ke perempatfinal Piala Afrika 2008 tak membuat hubungan Renard langgeng bersama Zambia. Di tahun 2010, ia sempat pergi selama dua tahun untuk menukangi timnas Angola dan USM Alger. Renanrd kemudian kembali pada 2012, dan langsung membawa Zambia juara di Piala Afrika.
Selepas itu, karier kepelatihan Renard terus berkembang hingga akhirnya berlabuh di Maroko pada 2016 lalu. Dalam karier kepelatihannya, Renard sebenarnya sempat menukangi dua tim Perancis; Sochaux (2013/14) dan Lille (2015). Namun kiprahnya di Perancis tak secemerlang saat berkarier di Afrika. Buktinya, setelah kegagalan mengangkat performa Lille, ia malah bersinar di Maroko dengan membawa Singa Atlas lolos ke Piala Dunia 2018 dan juara Piala Afrika 2018.
Komentar