Jelang musim berakhir, Tottenham Hotspur masih kokoh di peringkat kedua klasemen Liga Primer Inggris 2016/17. Spurs hanya berjarak empat poin dari pimpinan klasemen, Chelsea. Dengan 5 pertandingan tersisa, kemungkinan untuk bisa merebut puncak klasemen dari The Blues masih sangat terbuka.
Spurs awalnya sempat panik ketika Chelsea berhasil meraih kemenangan besar atas Everton. Tiga gol yang disarangkan anak asuh Antonio Conte ke gawang The Tofees tak berbalas satu gol pun.
Ini menjadi berat bagi Spurs karena di pertandingan selanjutnya mereka mesti menang agar peluang untuk menjadi juara tetap terbuka. Masalahnya, lawan yang dihadapi Spurs nanti bukanlah tim kelas teri. Lilywhites akan menjamu rival sekota mereka, Arsenal.
Beban di pundak para pemain Spurs sirna seketika berkat gol yang dicetak Dele Alli dan Harry Kane yang memastikan kemenangan Spurs pada laga derbi yang digelar di White Hart Lane tersebut.
Selang dua minggu setelahnya, masih di tempat yang sama, Spurs kembali mendulang kemenangan dari tim besar. Dua gol yang dicetak Spurs ke gawang De Gea, hanya mampu dibalas satu oleh Manchester United lewat Wayne Rooney.
Spurs konsisten menempel ketat Chelsea di puncak klasemen walau akhirnya merelakan gelar juara pada Chelsea di akhir musim.
***
Bek kiri andalan Tottenham, Danny Rose, tidak terlibat dalam dua kemenangan besar yang diraih Tottenham tersebut. Cedera lutut yang menyergapnya ketika menjalani laga melawan Sunderland di Stadium of Light akhir Januari 2017 membuatnya terpaksa absen di pertandingan-pertandingan Spurs selanjutnya.
Kecewa, tentu saja. Mengingat jika kondisinya sedang bugar, Rose selalu menjadi pilihan utama Mauricio Pochettino untuk mengisi pos bek kiri Tottenham.
“Melihat teman-temanku mengalahkan Arsenal dengan begitu nyamannya, kemudian menyaksikan mereka mengalahkan United dengan begitu hebatnya, itu semua berat bagiku,” ujarnya.
Rose bukan tanpa usaha untuk sembuh. Ia getol meminta nasihat dari dokter tim Spurs mengenai cederanya. Yang dimintai nasihat kemudian memberi tahu bahwa cedera yang dideritanya tak terlalu parah sehingga tak membutuhkan penanganan operasi.
Keliru. Nyeri yang dirasakan Rose justru semakin menjadi-jadi ketika ia menjalani latihan bersama Spurs. Dari sana barulah dokter tim menyarankannya untuk naik meja operasi.
Total waktu pemulihan yang harus dijalani Rose adalah 8 bulan lamanya. Absen selama itu dari lapangan hijau adalah bencana bagi semua pemain. Tak terkecuali Rose. Pelan-pelan ia dirundung depresi.
“Aku menjadi pemarah. Sangat mudah marah. Aku seperti tak ingin tahu lagi sepakbola. Aku tak ingin melakukan rehabilitasi mental. Teman-teman lalu menyarankanku untuk pergi keluar dan coba melakukan sesuatu yang baru, tapi aku tak mau. Yang banyak aku lakukan saat itu adalah mengurung diri di rumah.”
Segalanya semakin memburuk. Rose menerima banyak kabar buruk tentang orang-orang yang dicintainya.
Pertama, Rose menerima kabar bahwa pamannya bunuh diri dengan cara gantung diri. “Aku menerima kabar tentang pamanku yang bunuh diri ketika aku sedang dalam proses pemulihan. Dan itu semua memicu depresi yang semakin hebat.”
Beberapa bulan kemudian, ia menerima kabar bahwa ibunya telah menjadi korban rasisme saat sedang berada di Kota Doncaster, Inggris. Sang ibu sangat marah kepada si pelaku, namun kemarahannya justru menyebabkan datangnya masalah lain kepada mereka.
“Saat sedang dalam perjalanan pulang pada Agustus [2017], ibuku dilecehkan secara rasial ketika berada di Doncaster. Ia kemudian menumpahkan kemarahannya kepada si pelaku. Akan tetapi semuanya malah semakin buruk setelah itu. Rumah kami didatangi seseorang yang berontak dan ia menembakkan pistol yang dibawanya tepat ke wajah saudaraku,” tutur Rose.
Kejadian-kejadian pahit tersebut terjadi di tengah proses pemulihan Rose dari cedera dan depresi yang dideritanya. “Bukan rahasia lagi bahwa aku benar-benar sedang diuji beberapa musim terakhir ini,” ujar Rose.
Di musim ini, Rose pun sangat sering absen di Tottenham akibat rasa nyeri dari cedera yang masih sering muncul. Rose hanya memainkan total 10 pertandingan bersama Tottenham di Liga Primer Inggris. Dengan catatan performa yang sangat tidak menjanjikan itu, harapannya untuk bisa membela Timnas Inggris di Piala Dunia 2018 sangatlah tipis.
Akan tetapi semua perkiraan buruk itu seketika berubah saat Gareth Southgate mengumumkan ke-23 pemain Timnas Inggris yang akan berlaga di Rusia. Nama Danny Rose ada di antaranya.
Rose senang bukan main. Seketika depresi dan tekanan mental yang merundunginya sirna seiring terpilihnya ia ke dalam skuat Inggris.
“Aku beruntung Inggris memberiku kesempatan untuk pergi bersama-sama ke Rusia,” ujar Rose. “Aku bisa menyegarkan pikiranku dan aku akan selalu berterima kasih kepada mereka. Aku sebenarnya sedang menjalani pengobatan beberapa bulan terahhir ini. Tak seorang pun mengetahui hal itu kecuali agenku. Aku merasa sangat baik saat ini, dan antusias untuk menjalani turnamen di Rusia.”
Akan tetapi di tengah antusiasme yang dirasakannya untuk menyambut Piala Dunia, Rose sedikit terganggu dengan maraknya pemberitaan tentang pelecehan rasial di Rusia. Sebab hal ini, dengan terpaksa Rose melarang keluarganya untuk datang ke Rusia. Ia tak ingin mendengar kabar buruk lagi tentang keluarganya yang menjadi korban rasisme, karena hal tersebut akan sangat mengganggu persiapannya.
“Aku telah berkata pada keluargaku bahwa aku tak ingin mereka datang ke Rusia karena khawatir akan keamanan mereka,” papar Rose. “Itu akan mengganggu persiapanku untuk pertandingan jika aku terus mengkhawatirkan keadaan mereka di sana.”
Rose ingin fokus di Piala Dunia nanti. Apalagi setelah segala macam cobaan, siapapun tak mau kembali diuji oleh masalah besar. Setelah Inggris menyelamatkan karier Rose, kini Rose menyelamatkan dirinya sendiri dan keluarganya dari tindakan rasial.
Komentar