Hal sederhana bisa menginspirasi hal besar. Pada 1990, Simon Kuper mendengar program radio tentang bagaimana ketegangan sektarian di Irlandia Utara bisa memanas pada laga Celtic-Rangers di Skotlandia yang berjarak 180 km menembus lautan.
"Sampai ada feri dari Irlandia Utara ke Skotlandia untuk menghentikan orang-orang berkelahi. Siapa pun yang kalah tidak bahagia setelah pertandingan. Itu masalah besar bagi polisi dan militer Inggris di Irlandia Utara," curhat Kuper soal inspirasinya untuk menulis buku sepakbola.
Saat Belanda mengalahkan Jerman di semifinal Euro 1988, Kuper juga menjelaskan semua reaksi orang Belanda dari pertandingan adalah tentang perang. "Padahal itu tahun 1988," katanya. "Sepakbola adalah topik yang diabaikan oleh jurnalis non-olahraga dan pembuat kebijakan. Setelah itu aku berpikir, `Wow, sepakbola benar-benar berpengaruh dalam masyarakat.`"
Pada Juli 1992, Kuper memutuskan meninggalkan Inggris menggunakan feri. Di tasnya hanya ada mesin tik dan beberapa cek perjalanan. Ia pergi mengelilingi dunia untuk menulis buku sepakbola.
"Aku punya perasaan bercampur ketika mulai mau menulis," katanya. "Seorang penulis mapan mungkin tak mau mengambil proyek seperti itu. Tapi itu hal yang butuh dilakukan oleh penulis muda." Saat itu ia masih 22 tahun. Dengan dana sebesar 5.000 paun (sekitar 17 juta rupiah dengan konversi saat itu) ia mengunjungi 22 negara dalam waktu sembilan bulan.
Pada 9 Juni 1994, perjalanannya tersebut terangkum mantap dan berhasil terpublikasi oleh Orion Books dalam 22 bab di bukunya, Football Against the Enemy.
Buku ini berisi tentang pengaruh sepakbola terhadap politik, budaya, dan antropologi, serta kenapa sepakbola dimainkan berbeda-beda di setiap negara. "Aku sadar buku jenis itu belum pernah ada sebelumnya," kata Kuper.
Saat itu buku sepakbola belum terlalu laku di pasaran meski sudah ada Fever Pitch karya Nick Hornby, yang memenangi William Hill Sports Book of the Year 1992. Masalah lainnya hadir karena saat itu juga dunia belum memiliki internet dan kemudahan-kemudahan lainnya.
"Era pra-internet sulit. Aku tiba di Argentina, berbicara dengan bahasa Spanyol seadanya. Kadang aku juga beruntung bertemu orang yang tepat di bandara, seperti ofisial Dinamo Kiev yang kebetulan bisa berbahasa Inggris dengan sempurna."
Dalam perjalanan petualangan epiknya, Kuper berhasil mewawancarai banyak tokoh: jenderal Argentina dengan pandangan unik tentang cara sepakbola harus dimainkan, orang Berlin yang dipersekusi Stasi hanya karena mendukung kesebelasan lokalnya, Barcelona sebagai simbol kemerdekaan Katalunya, kesebelasan-kesebelasan bernama Dinamo yang pasti memiliki hubungan dengan KGB, dan yang paling aneh, bintang Kamerun Roger Milla yang menjadi berita utama karena berusaha menyelenggarakan turnamen bagi suku-suku kerdil.
Setelah buku tersebut, Kuper juga mempublikasikan dua buku terkenal lainnya: Ajax, the Dutch, the War (2003) dan Soccernomics (2009, bersama Stefan Syzmanski).
Sudah lebih dari dua dekade sejak Football Against the Enemy terbit. Kombinasi sepakbola dan akses internet kadang membuat manusia merasa jenuh dan sok tahu. Namun buku ini tetap menjadi satu-satunya yang paling bisa menjelaskan bagaimana isu-isu politik dan budaya memengaruhi sepakbola di seluruh dunia.
Buku ini kemudian memenangi William Hill Sports Book of the Year 1994. Bukan hanya penghargaan tersebut, Football Against the Enemy dipuji banyak orang; FourFourTwo bahkan menyebutnya sebagai "buku sepakbola terbaik sejagad".
Karya Kuper ini kemudian menginspirasi banyak buku sepakbola generasi pertengahan 1990-an hingga sekarang. Buku Franklin Foer yang terkenal, How Soccer Explains the World, adalah buku yang terinspirasi dari karya Kuper.
Komentar