Bagi negara seperti Polandia, prestasi sepakbola bukanlah trofi. Tidak banyaknya pemain top yang bermain di kesebelasan besar Eropa sudah sepatutnya membuat Polandia mawas diri. Namun bukan berarti tak ada yang bisa dicapai oleh Timnas Polandia.
Piala Dunia 2018 belum digelar pun prestasi sudah diraih Polandia. Sebelumnya mereka absen di Jerman dan Brasil. Tapi prestasi yang paling membanggakan masyarakat Polandia adalah Sang Putih-Merah akan menjalani Piala Dunia di Rusia sebagai status negara unggulan.
Polandia berada di pot 1 pada undian grup Piala Dunia 2018. Peringkat FIFA jadi penyebabnya. Polandia saat ini menempati posisi 10 dunia. Malah pada Agustus 2017 sempat menduduki posisi 5. Prestasi inilah yang membuat timnas dan federasi Polandia boleh berbangga diri.
Berada di pot 1 pun punya keuntungan besar. Di atas kertas, Polandia akan menghadapi tiga kesebelasan yang dianggap lebih lemah secara pembagian pot. Di grup H mereka akan tergabung dengan Senegal, Jepang, dan Kolombia.
Prestasi ini sebenarnya cukup mustahil terjadi pada masa komunisme 80an. Tak perlu jauh-jauh juga, 10 tahun yang lalu pun sepakbola Polandia memasuki titik nadir. Saat itu Polandia dilanda skandal korupsi dan pengaturan skor berskala besar. Hanya saja saat itu skandal di sepakbola Polandia tertutupi oleh skandal calciopoli di Italia. Padahal skandal di Polandia ini lebih buruk dari yang terjadi di Italia.
Masalah di Sepakbola Diselesaikan Pihak Luar
Ekstraklasa 2007/08 menjadi puncak segala kekacauan sepakbola Polandia. Mayoritas hasil-hasil pertandingan pada divisi teratas Polandia tersebut merupakan manipulasi dan terindikasi adanya pengaturan skor.
Isu pengaturan skor di Polandia berawal dari Presiden klub GKS Katowice, Piotr Dziurowicz, yang melaporkan pada polisi bahwa pertandingan antara Polar Wroclaw melawan Zaglebie Lubin terlibat pengaturan skor.
Setelah pengusutan dilakukan secara intensif, terkuak bahwa Lubin membayar wasit dan pihak lawan agar bisa memenangi pertandingan dan lolos ke Piala UEFA. Situs DW menyebut bahwa Lubin membayar 25 ribu euro pada Wroclaw untuk mengalah. Dugaan tersebut terbukti benar.
Salah satu pemain Lubin saat itu merupakan bek kanan andalan Dortmund saat ini, Lukasz Piszczek. Piszczek pun diduga terlibat dalam pengaturan skor ini dan terancam hukuman enam bulan penjara. Namun pada 2011 ia tak terbukti bersalah karena pada partai tersebut ia tak bermain.
Tapi laporan dari Lubin itu membuat laga-laga lain yang diatur mulai terkuak. Dari 24 kesebelasan yang berkompetisi, hanya 6 kesebelasan yang bersih dari tuduhan pengaturan skor ini.
Setelah penyelidikan besar-besaran, akhirnya terungkap bahwa ada 29 klub (termasuk di divisi dua) terlibat dalam pengaturan skor. Pemain, pelatih, dan wasit yang terlibat pun, menurut Cafebabel, mencapai 116 orang; 64 di antaranya wasit. Lubin yang pada musim sebelum itu meraih gelar juara pun akhirnya dihukum degradasi pada musim berikutnya.
Baca juga: Tindak Pidana Pengaturan Skor dalam Perspektif Hukum Nasional
Gerak cepat dan keseriusan Polandia memberantas pengaturan skor di sepakbola tak lepas dari penunjukan Julia Pitera sebagai Sekretaris Parlemen menjelang akhir 2007. Ia menjadi sosok perempuan yang paling giat menyuarakan perlawanan terhadap pengaturan skor dan korupsi di olahraga. Ia merasa setelah Menteri Olahraga Polandia pada 2007, Tomasz Lipiec, terbukti melakukan pengadaan anggaran pembangunan fasilitas olahraga, masih banyak kebobrokan di olahraga yang harus segera dihentikan.
Sepakbola tak luput dalam pengawasan Julia. Bahkan menurutnya, ia sudah melihat tanda-tanda tidak beres dipersepakbolaan Polandia sejak awal 2000an.
“Sejujurnya, saya pribadi sudah memerhatikan adanya korupsi di sepakbola Polandia sejak 2001 – di mana ketika itu banyak kesebelasan bernegosiasi dengan wasit. Tapi itu tidak digubris oleh siapapun hingga saat ini,” kata Julia pada 2008.
Saat itu Polandia menjadi negara dengan tingkat korupsi tertinggi di Uni Eropa. Menurut laporan Trading Economics, indeks tingkat korupsi Polandia mencapai angka 58, tertinggi dalam sejarah Polandia. Pada 2016, indeks tersebut berhasil ditekan hingga menyentuh angka 29, terendah dalam satu dekade terakhir. Namun pada 2017 kembali meningkat menjadi 36.
Julia menuding federasi sepakbola Polandia (PZPN) terlalu abai terhadap masalah korupsi dan pengaturan skor. Tak mengherankan tudingan itu dilayangkan karena pada kenyataannya tak sedikit anggota PZPN yang juga terlibat dalam skandal ini. Apalagi saat skandal ini terungkap ke publik, Ketua Umum PZPN, Michal Litskiewicz, pun menyiratkan bahwa mereka sebenarnya sudah tahu masalah ini namun tidak langsung diselidiki.
“Maaf! Kami mohon maaf! Maafkan kami karena tidak menangani masalah ini dengan baik di waktu yang tepat. Masalah ini terlalu besar buat kami tangani. Kami mohon maaf! Mungkin kami menunggu terlalu lama untuk bereaksi, tapi tidak ada kata terlambat untuk meminta maaf,” kata Litskiewicz yang kemudian dikenal sebagai permohonan maaf basa-basi belaka.
Menurut Litskiewicz, salah satu alasan PZPN tidak bisa menangani masalah pengaturan skor dengan cepat adalah di setiap elemen sepakbola Polandia semuanya saling berseberangan.
“Tentu ini bisa terjadi di lingkungan mana saja bahwa ada satu atau dua orang individu yang tidak jujur. Saya kira kami punya banyak wasit yang tidak jujur,” kata Litskiewicz seperti yang dikutip Guardian.
“Tapi itu sulit dibuktikan jika hanya melihat wasit dari keputusannya. Di sepakbola Polandia pun, yang sebenarnya tidak terlalu kuat, kami tidak menyatu. Pelatih melawan wasit, wasit melawan pelatih, klub melawan federasi, federasi melawan klub. Terlalu banyak perbedaan gagasan,” sambungnya.
Karakter Kuat Para Pemain Polandia
Sepakbola menyembuhkan. Frasa tersebut memang tak berlebihan untuk masyarakat Polandia.
Pada 1983, kesebelasan yang saat ini dibela Egy Maulana Vikri, Lechia Gdansk, menjadi bagian dari momen bersejarah sepakbola Polandia. Saat itu Gdansk menjamu Juventus pada laga persahabatan. Menghadapi kesebelasan besar Italia, laga itu menjadi hiburan tersendiri bagi masyarakat Polandia.
Saat itu masyarakat Polandia tak punya kebebasan. Setiap sudut jalan dijaga oleh tentara. Para aktivis-aktivis kemanusiaan dibungkam. Perlawanan terhadap komunisme berakhir penjara atau kekerasan. Hampir tak ada tempat untuk menyatukan kekuatan melawan “penjajahan HAM”.
Tapi di laga Gdansk melawan Juventus-lah momen bersatu itu hadir. Di Stadion Gdansk itu ribuan orang bersama-sama menyerukan revolusi saat jeda turun minum. Aksi itu dipimpin oleh Lech Walesa. Walesa sendiri beberapa tahun kemudian menjadi presiden Polandia.
Baca juga: Lechia Gdansk dan Kekuatan Sepakbola yang Mengubah Polandia Selamanya
“Saya ingat atmosfernya. Tidak bisa terlupakan,” kata Jarzy Jastrzebowski, pelatih Gdansk saat itu. “Di ruang ganti, kami mendengar semua orang berteriak ‘solidaritas!’. Lalu kami juga melihat Lech Walesa berdiri dan mengangkat tangannya yang merupakan simbol solidaritas.”
Menurut CNN, tak lama setelah itu 10 juta orang protes ke jalanan menuntut demokrasi. Sejak saat itu serangkaian protes semakin gencar dilakukan untuk meminta kebebasan berpendapat. Komunisme runtuh enam tahun setelah laga Gdansk vs Juventus.
Revolusi selalu memakan korban. Tak mudah juga bagi Polandia bangkit setelah komunisme dikalahkan. Di masa-masa itulah masyarakat Polandia berusaha bangkit walau tertatih.
Para pemain Polandia saat ini, tak sedikit, menjadi bagian bahkan korban dari masa transisi tersebut. Walau begitu apa yang terjadi saat itu melahirkan talenta berbakat yang didukung oleh mentalitas yang kuat. Para pemain Polandia saat ini merupakan didikan orang tua korban komunisme.
Krzysztof Maczynski, pemilik 31 caps, punya ayah seorang alkoholik yang tidak mendukung kariernya sebagai pesepakbola. Hal itu menyebabkan Maczynski punya trauma mendalam pada minuman beralkohol.
Polandia pernah terancam lewat banyaknya orang yang stres pasca peralihan komunisme. Terburuk, seorang alkoholik saat itu bisa membunuh orang. Salah satu korbannya adalah ayah bek senior Polandia, Kamil Glik. Glik yang juga melalui masa kecilnya dengan penyakit meningitis, melihat dengan mata kepalanya sendiri bagaimana ayahnya dibunuh.
Jakub Blaszczykowski punya cerita yang tak jauh berbeda. Pada usia 11 tahun, ia menyaksikan ibunya tewas dibunuh oleh ayahnya sendiri. Robert Lewandowski pun kehilangan kedua orang tuanya sejak kecil. Tapi sepakbola menyembuhkan mereka.
Lewat sepakbola-lah para pemain Polandia beraktualisasi diri. Mereka bisa meninggalkan masa lalu yang kejam karena kesenangan dan ambisi yang bisa tertumpahkan lewat sepakbola. Ini juga yang jadi penyebab Polandia punya skuat mumpuni saat ini meski tidak banyak nama besar, karena mereka punya karakter yang kuat.
***
Pada 2008 peringkat Polandia di FIFA berada di posisi 75. Ini artinya dalam 10 tahun mereka bisa merangsek 70 peringkat. Pemain-pemain bertalenta pun bermunculan. Salah satu pemain yang tumbuh pada era ini adalah Robert Lewandowski, yang sekarang jadi Kapten Timnas Polandia dan bermain di raja Bundesliga, Bayern Muenchen.
Apa yang dialami oleh Polandia ini rasanya bisa menjadi pelajaran bagi Indonesia. Ketika isu pengaturan skor muncul, ada baiknya benar-benar ditelusuri secara tuntas. Pengaturan skor di Indonesia saat ini sudah diibaratkan kentut, tak tampak wujudnya tapi tercium baunya. Isu-isu pengaturan skor di Indonesia pun pada akhirnya semakin lama semakin tak jelas penyelesaiannya karena dianggap angin lalu saja.
Komentar