Portugal dikenal sebagai produsen pemain top dunia. Dari Mario Coluna bersambung ke Eusebio. Manuel Bento dan Humberto Coelho ke Paulo Fuerte. Dari Luis Figo sekarang ke Cristiano Ronaldo.
Namun sebelum 2016, sebagai kesebelasan negara, Portugal tidak meraih satu trofi pun. Piala Eropa 2016 mengakhiri puasa gelar A Selecao das Quinas.
Awalnya banyak yang memprediksi Portugal bisa meraih kesuksesan saat Vitor Baia, Fernando Couto, dan Luis Figo bermain dalam satu periode yang sama dan bergiliran memimpin tim. Generasi emas akhir 90-an dan awal 2000-an itu nyatanya tak mampu mempersembahkan satu gelar pun.
Uniknya, Piala Eropa 2016 diraih ketika skuat Portugal tidak sekuat era Luis Figo. Dari 23 pemain, 16 di antaranya memiliki caps kurang dari 50 kali. Bahkan 11 pemain belum melampaui 15 laga bersama Portugal.
Rekam jejak tersebut membuat Portugal berpotensi memberikan kejutan di Piala Dunia 2018, seperti dua tahun silam. Bagi mereka, generasi emas bukan jaminan prestasi. Punya satu bintang saja yang kemampuannya bisa mengubah sejarah mungkin lebih baik. Apalagi pada 2006, saat Portugal tinggal mengandalkan Figo seorang, mereka juga mencatatkan prestasi terbaik di gelaran empat tahunan tersebut.
Generasi Emas Tanpa Trofi
Carlos Queiroz dilabeli sebagai ayah dari generasi emas Portugal era Figo. Kemampuan taktisnya berhasil mengantar timnas Portugal U-20 juara Piala Dunia U-20 pada 1989 dan 1991. Padahal para pemuda Portugal saat itu tidak setenar pemuda Brasil atau Nigeria.
“Saya pikir untuk pemain seperti saya, yang tidak pernah mencapai level top sepakbola, itu pencapaian yang luar biasa. Kami akan selalu dikenang sebagai juara dunia,” kata Antonio Pereira alias Toze.
Toze adalah kapten yang pertama kali memberikan gelar juara untuk Portugal lewat Piala Dunia U-20. Tapi setelahnya, ia tak pernah bermain untuk kesebelasan top. Keberhasilan Portugal lebih karena kejelian Queiroz dalam memilih pemain dan memaksimalkan talenta yang ada. Toze saat itu bermain untuk Leixoes, kesebelasan peringkat 19 Portugal.
Queiroz lantas kembali memberikan trofi kedua untuk Portugal dua tahun setelahnya lewat kejuaraan yang sama. Pada edisi pertama, ia memunculkan Paulo Sousa, Antonio Folha, Fernando Couto dan Joao Pinto. Pada edisi kedua giliran Figo, Rui Costa, Abel Xavier, dan Jorge Costa yang menjadi bintang.
Prestasi Queiroz itulah yang membuatnya dipromosikan melatih timnas senior pada 1991. Di saat yang sama, prestasi tim junior tak seperti tim senior. Apalagi Portugal senior tidak lolos ke Piala Eropa 1988 dan Piala Dunia 1990.
“Generasi emas sepakbola Portugal luar biasa,” kata Queiroz sebagaimana dilansir FIFA pada 2014. “Kami bekerja keras membuat sistem yang tepat, dan kami melihat betapa signifikannya dampak generasi ini beberapa tahun kemudian, di mana banyak dari mereka membuktikan diri di level senior.”
Queiroz memberikan debut pada Figo, Pinto, Rui Costa, Sousa, Jorge Costa, Paulo Bento, dan Folha—pemain-pemainnya di timnas U-20. Mereka masih berusia di bawah 23 tahun saat menjalani debut. Vitor Baia dan Couto pun makin mendapatkan kepercayaan di timnas senior bersama Queiroz.
Namun Queiroz gagal meloloskan Portugal ke Piala Eropa 1992. Akan tetapi setidaknya skuat ini membuat Portugal kembali tampil di Piala Eropa 1996, setelah absen pada dua edisi sebelumnya. Portugal pun berhasil melangkah sampai babak perempat final.
Setelah kegagalan di Piala Eropa 1996, giliran Sergio Conceicao, Nuno Gomes, Pauleta, dan Quim yang memewahkan generasi emas Portugal. Maka ekspektasi dan prediksi untuk Timnas Portugal untuk Piala Dunia 1998 sewajarnya makin tinggi.
Ternyata bukan prestasi yang datang, melainkan bencana. Generasi emas ini tidak berdaya sejak babak kualifikasi. Memang mereka meraih 19 poin dari 10 laga grup 9. Namun Portugal yang saat itu dilatih Artur Jorge terbilang kesulitan untuk mencetak gol. Dari 10 laga, hanya 12 gol yang diciptakan. Imbang melawan Armenia dan Irlandia Utara, ditambah tidak mampu menaklukkan Jerman, membuat Portugal harus merelakan Jerman dan Ukraina (yang masih diperkuat Andriy Shevchenko) menjadi dua teratas untuk lolos ke Piala Dunia.
Empat tahun setelahnya, Portugal tampil di Jepang-Korea Selatan. Mereka langsung tersingkir dari fase grup.
Berbeda dengan di Piala Dunia, progres generasi emas Portugal di Piala Eropa menunjukkan keberhasilannya. Pada 2000 berhasil mencapai semi final. Pada 2004 yang diselenggarakan di Portugal mereka berhasil mencapai final.
Bermain di hadapan pendukungnya sendiri, masyarakat Portugal tentu ingin berpesta di rumah. Figo sendiri menyadari tekanan dan tuntutan besar terhadap generasi emas Portugal itu jauh sebelum turnamen digelar.
“Saya akan berjuang sampai mati, apa pun akan saya lakukan,” kata Figo pada Maret 2004 seperti yang dikutip Telegraph.
Portugal saat itu dilatih Luiz Felipe Scolari yang menerapkan pola dasar 4-5-1. Figo berduet dengan Rui Costa untuk menyokong sang penyerang tunggal, Pauleta. Maniche, Deco, Tiago, Costinha hingga Simao Sabrosa mengawal lini tengah. Kedalaman bek tengah mumpuni karena selain Couto masih ada Jorge Andrade, Ricardo Carvalho, dan Rui Jorge. Miguel dan Nuno Valente siap menyisir sayap pertahanan.
Pada partai final, Scolari mengubah formasi dasar menjadi 4-2-3-1 untuk mengakomodir Cristiano Ronaldo di sayap kanan. Figo di kiri. Deco sebagai gelandang serang. Tapi skema itu tak berarti apa-apa di hadapan Yunani yang dilatih Otto Rehhagel. Skor 1-0, sama seperti saat Yunani mengalahkan Perancis dan Republik Ceko di fase gugur, menjadi senjata Rehhagel saat mengalahkan Portugal.
Generasi emas Portugal itu akhirnya hanya punya prestasi nyaris juara. Setelah Piala Eropa 2004, satu per satu pemain generasi emas itu pun pensiun.
Dari sekian banyak pemain generasi emas Portugal yang pensiun setelah gagal di 2004, Luis Figo adalah salah satu yang belum menyatakan gantung sepatu hingga turnamen besar berikutnya: Piala Dunia 2006. Sempat menyatakan pensiun usai final, ia menerima pemanggilan Scolari untuk babak kualifikasi Piala Dunia 2006. Pada Piala Dunia yang digelar di Jerman itu, tinggal dirinya dan Pauleta yang menjadi dua pemain terakhir generasi emas Portugal.
Segala pengalaman Figo yang pernah dipercaya jadi kapten Portugal pada usia 23 tahun dan telah meraih lebih dari 100 caps saat itu diharapkan bisa jadi pembeda nasib Portugal. Figo juga mungkin penasaran, di saat masa mudanya dihiasi dengan trofi Piala Eropa U-16 dan trofi Piala Dunia U-20, di timnas senior justru ia berulang kali gagal. Ia tidak ingin seperti Rui Costa, pemain paling berteknik di generasi emas Portugal, yang pensiun tanpa sekali pun mengangkat trofi juara.
Keinginan kuat Figo untuk memberikan trofi pada Portugal sudah terlihat sejak Piala Dunia 2002. Jika tak cedera, ia pasti bermain. Sid Lowe, kolumnis Telegraph, menyebut bahwa Figo terlihat lambat, berat, dan kelelahan adalah wujud dari upayanya untuk menjaga kualitasnya dan berusaha bermain hingga 90 menit. Menjaga stamina dan kebugaran permainan.
Pada Piala Dunia 2006 pun ia tahu bahwa masa telah habis. Ada Ronaldo yang sudah menantikan seragam Portugal kebesarannya yang bernomor punggung 7. Luis Nani dan Ricardo Quaresma pun siap menggantikan di posisinya.
Tapi lagi-lagi Figo gagal. Langkah Portugal terhenti di semi final. Gol penalti mantan rekannya di Real Madrid yang menjadi kapten timnas Perancis, Zinedine Zidane, memupuskan harapan Figo. Di perebutan tempat ketiga melawan Jerman ia baru dimainkan setelah tertinggal 2-0, yang kemudian skor 3-1 menjadi skor akhir pertandingan. Meskipun begitu pencapaian Portugal di Piala Dunia 2006 itu menjadi pencapaian terbaik Portugal di Piala Dunia sejak era Eusebio pada 1966 yang mencapai peringkat tiga.
Piala Dunia 2006 pada Figo, 2018 pada Ronaldo
Fernando Santos yang menjadi juru taktik Portugal pada Piala Eropa 2016 masih menukangi tim untuk Piala Dunia 2018 mendatang. Di antara 23 nama yang dipanggil, Cristiano Ronaldo yang menjadi pemain penting Portugal setelah era Figo berakhir masih diandalkan.
Ronaldo saat ini sudah berusia 33 tahun. Boleh jadi Piala Dunia Rusia akan menjadi Piala Dunia terakhirnya. Tak seperti Figo dan para pendahulunya, sebagai kapten ia sudah memberikan trofi untuk Portugal.
Kehadiran Ronaldo justru menjadi jawaban atas puasa gelar Portugal. Memang pemain lain dan pelatih turut berkontribusi dalam keberhasilan Portugal pada Piala Eropa 2016, bahkan Ronaldo tak menyelesaikan laga final. Tapi total 9 gol Portugal pada ajang tersebut tak lepas dari kerja keras Ronaldo yang menciptakan tiga gol dan tiga asis.
Dalam kariernya bersama Portugal, Ronaldo sendiri memang telah melampaui pencapaian-pencapaian pendahulunya. Selain trofi, Ronaldo telah menjadi pemain dengan caps dan gol terbanyak sepanjang sejarah Portugal. Ia juga akan jadi pemain Portugal dengan jumlah laga terbanyak di Piala Dunia. Piala Dunia 2018 sendiri merupakan Piala Dunia ke-4 nya.
Luis Figo yang disebut sebagai pemain terbaik generasi emas Portugal pun secara pencapaian sudah dikalahkan oleh Ronaldo. Ronaldo telah merebut gelar pemain terbaik Portugal dari Figo.
Sebagai pemain yang lebih hebat dari Figo, maka bukan tak mungkin pencapaian Portugal pada Piala Dunia 2018 nanti bisa melampaui 2006 bahkan 1966. Santos sendiri masih memanggil beberapa pemain senior pada skuat 2016 seperti Pepe, Bruno Alves, Jose Fonte, Rui Patricio, Joao Moutinho, Manuel Fernandes, dan Ricardo Quaresma.
Pemain-pemain muda dengan kualitas seperti Goncalo Guedes, Bernardo Silva, Bruno Fernandes, Raphael Guerreiro dan Andre Silva pun akan membantu Ronaldo untuk membuktikan diri bahwa dirinya merupakan yang terbaik dari yang terbaik.
Komentar