Di medio 1990-an, Pele pernah memprediksi bahwa tim dari Afrika akan menjadi juara Piala Dunia di era 2000-an. Legenda Brasil itu tentu bukannya asal ngomong, karena di akhir 1980 hingga 1990 negara-negara Afrika tengah bergeliat menunjukkan tajinya kepada dunia.
Kala itu wakil Afrika di Piala Dunia menunjukkan eksistensi dengan pencapaian yang luar biasa. Di Piala Dunia 1986, Maroko berhasil mencapai babak 16 besar. Kala itu, Singa Atlas lolos ke fase 16 besar dengan status juara Grup F, mengungguli Inggris, Portugal, dan Polandia. Sayangnya di 16 besar Maroko takluk 0-1 dari Jerman Barat.
Empat tahun setelah kejutan yang dibuat Maroko, Kamerun berhasil mencapai perempat final di Piala Dunia 1990. Itu merupakan pencapaian tertinggi wakil Afrika selama mentas di Piala Dunia. Itu adalah peningkatan menjanjikan bagi sepakbola Afrika, sehingga Pele pun tak ragu melempar prediksi akan datangnya kejayaan Afrika di Piala Dunia pada akhir abad ke-20.
Sayangnya prestasi tim Afrika di Piala Dunia stagnan. Di era 2000-an, pencapaian terbaik wakil Afrika di Piala Dunia mentok di perempat final. Prestasi tersebut hanya mampu diukir Senegal (2002) dan Ghana (2006).
Beberapa faktor seperti kurangnya perhatian federasi kepada tim nasional, minimnya infrastruktur, hingga buruknya pengelolaan kompetisi domestik dipercaya menjadi salah satu penyebab ramalan Pele tak berbuah nyata.
Kepada BBC, Sven Goran Eriksson bercerita mengenai pengalaman pahitnya saat menukangi Pantai Gading pada 2010. Awalnya Eriksson optimis bisa membawa Pantai Gading berjaya di Afrika Selatan. Maklum, kala itu ia menukangi tim yang dihuni banyak pemain berkualitas seperti Didier Drogba hingga Salomon Kalou.
Tapi ekspektasi Eriksson pun lama-lama memudar karena minimnya perhatian federasi sepakbola Pantai Gading. Pengalaman pahitnya terkait hal tersebut dialami saat Pantai Gading melakoni uji tanding di Swiss beberapa bulan sebelum Piala Dunia 2010 digelar. Saat sampai di stadion, Eriksson kaget bukan kepalang setelah mengetahui perlengkapan tim seperti kostum, sepatu, dan kaos kaki pemain belum tiba di stadion.
"Tepat sebelum pemanasan, salah satu pemain datang kepada saya dan berkata: `Saya tidak bisa bermain`. Saya bertanya: `Apakah kamu terluka?` Dia berkata: `Tidak, petugas perlengkapan itu lupa membawa sepatu saya.` Hotel itu jauh sekali sehingga dia tidak bisa bermain. Drogba berkata kepadaku: `Sven, ini Afrika. Seperti ini’,” kata Eriksson kepada BBC.
Apa yang dialami Eriksson, hanya sebagian kecil dari kisah soal minimnya perhatian federasi sepakbola di negara-negara Afrika kepada tim nasional. Di Piala Dunia 2014, Kamerun dan Ghana pernah menjadi pusat pemberitaan karena keterlambatan bonus.
Para pemain Ghana bahkan sampai memboikot latihan sebagai tindakan protes karena belum mendapat bonus karena berhasil lolos ke Piala Dunia 2014. Masalah tersebut baru teratasi setelah Pemerintah Ghana mengirim uang tunai seniali 3 juta dolar AS melalui pesawat. Tak heran asosiasi sepakbola Ghana saat ini dibubarkan karena skandal korupsi.
Senada dengan Ghana, Kamerun juga terlambat tiba di Brasil karena masalah bonus yang tak kunjung cair.
Minimnya infrastruktur juga menjadi pemicu terhambatnya prestasi negara Afrika di Piala Dunia. Benua Afrika adalah gudangnya pesepakbola berbakat. Banyak pesepakbola asal Benua Hitam itu yang bermain di kompetisi dan klub top dunia. Tapi, kesuksesan Afrika dalam mencetak pesepakbola berbakat bukan karena hasil tempaan akademi atau kompetisi domestik. Rata-rata pemain Afrika yang sukses adalah mereka yang sejak usia muda sudah merantau ke Eropa.
"Kadang-kadang Anda bahkan tidak bisa bermain karena lapangannya tidak cukup baik. Kami perlu mengembangkan lebih banyak infrastruktur karena kami memiliki banyak pemain berbakat di Afrika - tetapi kami tidak memiliki liga yang cukup bagus,” kata bek Kamerun, Gaetan Bong.
Baca juga: Kenangan Manis Piala Dunia Pertama Senegal
Sepakbola Afrika mungkin masih diliputi berbagai permasalahan non-teknis yang menyebabkan ramalan Pele belum juga menjadi kenyataan. Meski begitu, di Piala Dunia 2018 wakil Afrika berpeluang bisa memperbaiki pencapaiannya. Artinya, untuk menjadi juara mungkin masih menjadi hal yang sulit. Tapi untuk bisa mencapai (setidaknya) babak semifinal, peluangnya cukup terbuka.
Di Piala Dunia 2018, Afrika menempatkan Mesir, Maroko, Tunisia, Nigeria, dan Senegal sebagai wakil yang akan bertarung di Rusia. Dari daftar negara yang tampil, tampak ada pergeseran kekuatan.
Biasanya dalam beberapa Piala Dunia terakhir, negara sub-sahara seperti Kamerun, Nigeria, Senegal, hingga Pantai Gading mendominasi daftar wakil Afrika di Piala Dunia. Namun kali ini, tampak dominasi diambil alih negara dari Afrika Utara. Ada tiga negara Afrika Utara: Mesir, Maroko, dan Tunisia.
Pergeseran dominasi ini dipercaya bisa membawa angin perubahan bagi pencapaian wakil Afrika di Piala Dunia. Pasalnya bagi negara-negara Afrika Utara, kontroversi di luar lapangan bukanlah sesuatu yang harus dikhawatirkan.
Jurnalis BBC Africa, Pian Edwards, mengungkapkan bahwa kebanyakan negara Afrika Utara memiliki infrastruktur sepakbola yang memadai. Akuntabilitas di negara Afrika Utara juga dikelola dengan baik, sehingga minim terjadi masalah keterlambatan pemberian bonus atau gaji kepada pemain. "Mereka lebih terorganisir dan ada akuntabilitas yang lebih besar.”
Selain itu, umumnya negara Afrika Utara memiliki pemain yang matang ditempa di akademi sepakbola Eropa. Maroko misalnya, yang kebanyakan pemainnya merupakan hasil didikan tim elit Eropa. Bahkan dari 23 pemain yang dibawa pelatih Herve Renard ke Rusia, 17 di antaranya merupakan pemain yang lahir dan besar di Belanda, Perancis, Jerman, Spanyol, hingga Belgia.
Tak hanya Maroko, Tunisia juga skuatnya didominasi oleh pemain yang lahir di luar negeri. Banyak pemain Tunisia yang lahir dan tumbuh di Perancis, salah satunya Wahbi Khazri. Sementara Mesir, memang tak seperti Maroko atau Tunisia yang skuatnya banyak dihuni pemain yang sejak kecil ditempa ilmu sepakbola di Eropa. Tapi Mesir punya beberapa pemain yang bersinar di kompetisi Eropa seperti, Mohamed Salah.
"Para pemain di utara sedikit lebih ramping. Mereka selalu memulai tendangan bebas lebih cepat, mereka memiliki permainan mental sedikit lebih dari tim sub-Sahara,” tegas Peter Odemwingie.
Jika memang negara-negara Afrika Utara memiliki budaya yang lebih baik daripada negara di bagian Afrika lainnya, maka kita patut menunggu ramalan Pele untuk menjadi kenyataan.
Foto: Sport Illustrated
Komentar