Enam belas hari sebelum berlaga di Piala Dunia 2018, Timnas Argentina sempat dikunjungi oleh Presiden Argentina, Mauricio Macri. Macri bermaksud untuk memberi dukungan moral kepada anak asuh Jorge Sampaoli tersebut, jelang keberangkatan mereka ke Rusia.
Macri tidak menggunakan pidato yang menggebu-gebu untuk memompa semangat skuat Argentina. Tidak pula dengan slogan-slogan nasionalisme yang dilantangkannya sampai membuat urat leher menegang. Dalam rangka mendongkrak mental para pemain Argentina yang akan tampil di Piala Dunia, Macri menggunakan sebuah cara yang penuh kelembutan.
Usai memeluk satu per satu pemain Argentina, ia memulai pembicaraannya dengan mengucapkan satu kalimat pembuka yang rasa-rasanya begitu mencerminkan sikap pasrah. “Apa pun yang diraih Argentina [di Piala Dunia], kami akan berbahagia,” ujarnya. Seakan belum puas, Macri menegaskan sikap itu lewat pernyataan lain yang menyusulnya: “Dan tidaklah benar jika satu tim menjadi juara, maka tim yang lain adalah pecundang. Itu anggapan gila yang tidak berlaku sama sekali di belahan dunia manapun.”
Walau tidak tersurat secara gamblang, tersirat betul bahwa ada alasan tertentu yang mendasari sikap Macri tersebut. Pria berusia 59 tahun itu tak ingin menambah beban di pundak para pemain Argentina dengan banyak menuntut ini dan itu. Sebaliknya, ia coba meregangkan urat-urat kepala para pemain dengan melemparkan sebuah pernyataan yang terasa sangat menenangkan.
Macri agaknya paham betul bahwa pengalaman buruk telah silih berganti menghampiri Timnas Argentina ketika tampil di turnamen-turnamen besar—setidaknya dalam empat tahun belakangan ini. Tiga kali tampil di final turnamen besar, tiga kali pula Argentina menelan kekalahan menyakitkan.
Saat tampil di final Piala Dunia 2014, Argentina dikalahkan Jerman lewat gol tunggal yang dicetak Mario Gotze di masa perpanjangan waktu. Kekalahan itu amat menyakitkan. Pablo Zabaleta bahkan mengaku masih selalu merasakan pilu tiap kali menyaksikan cuplikan pertandingan tersebut.
Satu tahun berselang, Argentina kembali merasakan pahitnya kalah di final setelah ditumbangkan Chile di ajang Copa América 2015. Pada laga final, Argentina bermain imbang 0-0 tapi kemudian tumbang 1-4 melalui adu penalti.
Tak sampai di situ, Argentina lagi-lagi kalah melalui adu penalti, kali ini 2-4, melawan Chile (lagi) di final Copa América Centenario 2016. Lionel Messi kemudian menjadi sorotan utama atas kegagalan eksekusinya di babak adu penalti. Beban mental yang ditanggung Messi sempat membuat dirinya memutuskan untuk pensiun dari Timnas Argentina saat itu.
Baca juga: Berutang Trofi Piala Dunia pada Lionel Messi
Tiga pengalaman buruk itu sangat membekas di benak penggawa Timnas Argentina. Dan Macri berharap dengan cara meringankan beban mereka, Timnas Argentina bisa terhindar dari pengalaman buruk yang ketiga di Piala Dunia 2018.
Sikap yang ditunjukkan Macri ini kemudian mendapat pujian dari seorang psikolog olahraga, Yair Galily. Menurut Galily, yang telah melakukan penelitian selama tiga dekade di pertandingan-pertandingan play-off NBA, sebuah tim rata-rata akan tampil buruk justru ketika dituntut menang.
“Anda dituntut harus menang. Itu merupakan dorongan yang bagus supaya Anda bisa tampil dalam performa terbaik. Namun kami mempelajari bahwa melakukan yang sebaliknya (tidak menuntut sama sekali), adalah cara yang lebih benar,” tegasnya.
Teori ini diperkuat oleh hasil penelitian lain pada 2008, yang mengamati fenomena eksekusi penalti di Bundesliga dari 1963 hingga 2004. Menyitir The New Yorker, hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa para penendang penalti justru lebih sering gagal mengeksekusi saat pertandingan digelar di kandang—amat boleh jadi akibat terbebani oleh harapan besar dari pendukung sendiri.
Megacu pada teori tersebut, dan apa yang telah dilakukan oleh Mauricio Macri, selayaknya Argentina bisa tampil lepas pada laga perdana mereka melawan Islandia di Piala Dunia 2018. Poin penuh sewajarnya bisa mereka raih, apalagi jika mengingat Islandia yang hanya merupakan tim debutan di Piala Dunia. Namun kenyataannya Argentina justru sangat kesulitan di laga tersebut.
Setelah gol Sergio Aguero berhasil disamakan Alfred Finnbogason, Argentina tak henti-hentinya menggencarkan serangan demi serangan agar bisa mengkahiri pertandingan dengan poin penuh. Akan tetapi disiplinnya pertahanan Islandia selalu berhasil mementahkan setiap ancaman Argentina.
Pelan-pelan perasaan frustrasi mulai menghinggapi skuat La Albiceleste. Dan semua perasaan itu seakan terpantul dalam gelagat yang ditunjukkan oleh sang pemain andalan sekaligus kapten Argentina, Lionel Messi. Pemain bernomor punggung 10 tersebut mulai sering terlihat menggaruk-garuk kepalanya. Sesekali ia meludah sambil mengernyitkan dahi.
Sulit dibantah bahwa pada pertandingan tersebut Messi masih merasa terbebani oleh harapan seluruh pendukung Argentina yang hadir di Stadion Spartak. Sebuah foto dari The Independent berhasil menjerat satu momen bagus saat banyak pasang mata dari pendukung Argentina tetuju pada Messi seorang—padahal bola sedang tidak berada dalam penguasaan Messi.
Baca juga: Islandia Paksa Argentina Berbagi Angka
Hingga akhirnya, seluruh perasaan kacau itu menemukan bentuk terburuknya di menit ke-63. Argentina berhak atas penalti setelah Hordur Bjorvin Magnusson melakukan pelanggaran di kotak penalti Islandia. Messi menjadi eksekutor. Raut tegang tampak sekali di wajahnya sebelum melakukan eksekusi; matanya nanar memandang bola.
Dan tepisan Hannes Thor Halldorsson di penalti tersebut seakan membuat segalanya berakhir bagi Messi dan kawan-kawan. Argentina kian tertekan. Sampai laga berakhir, mereka tak mampu membalikkan keadaan. Harapan Argentina menguap begitu saja bersama bola yang dilambungkan Messi ke udara saat wasit meniup peluit panjang.
Terlepas dari hal-hal teknis seperti taktik dan strategi permainan, hasil mengecewakan yang diraih Argentina juga menunjukkan bahwa upaya yang dilakukan sang presiden—dengan mencoba melonggarkan beban skuat Argentina sebelum bertolak ke Rusia—belum berhasil membuat Argentina terhindar dari pengalaman buruk yang ketiga di turnamen besar: kali ini ditahan imbang oleh sebuah negara kecil yang merupakan tim debutan di Piala Dunia.
Lebih dari itu, sepakan penalti pemain terbaik mereka juga bisa dimentahkan oleh seorang kiper yang juga merupakan sutradara film—sebuah profesi yang hubungannya dengan sepakbola relatif jauh.
Tak ada pilihan lain bagi Argentina selain segera berbenah. Dan mereka masih punya kesempatan untuk bisa melangkah lebih jauh di Piala Dunia 2018 lewat dua laga sisa yang mereka miliki di fase grup.
Komentar