“Harus ku akui. Semuanya telah berbeda. Lelah menjalani. Semua serba salah,” nyanyi Raisa. Sepakbola sekarang sudah berbeda. Semua karena VAR.
Sudah ada banyak kejadian yang melibatkan VAR alias video assistant referee pada pekan pertama Piala Dunia 2018. Beberapa menimbulkan respons negatif, tapi tak sedikit juga yang memuji teknologi ini.
Sejujurnya tidak ada yang bisa menjawab perdebatan soal VAR. Namun ada satu pertanyaan yang perlu diutarakan terhadap teknologi ini: Apakah VAR membantu wasit untuk bertindak benar atau bertindak adil?
Kenapa bertindak benar tidak selalu sama dengan bertindak adil? Sebagai contoh, bagaimana persepsi kita terhadap wasit yang memberikan lima penalti dalam satu pertandingan terhadap salah satu kesebelasan? Terlepas dari misalnya keputusan tersebut seluruhnya benar, kita akan cenderung menganggap wasit berlaku tidak adil.
Agar Wasit Lebih Benar, Bukan Lebih Adil
Werner Helsen, seorang ilmuwan olahraga dari KU Leuven (Belgia) menyatakan kepada New Scientist: “Seorang wasit harus memimpin pertandingan. Ia harus adil, harus seimbang, dan itu adalah tujuan yang sama sekali berbeda dengan hanya selalu [mengambil keputusan] akurat.”
Kejadian penalti adalah salah satu yang disoroti dalam VAR, meski ada kejadian lain seperti offside, proses gol, kejadian berbuah kartu merah, dan memastikan untuk tidak salah memberikan kartu kepada pemain.
Masalahnya, menurut studi badan yang mengatur regulasi sepakbola, International Football Association Board (IFAB), tingkat akurasi wasit-wasit profesional sejauh ini adalah 93%. Angka itu adalah angka yang terlampau tinggi. Padahal itu belum ada VAR.
Bagaimana setelah VAR diterapkan? Ternyata akurasi wasit-wasit profesional meningkat menjadi 98,8%. Hampir 99%. Artinya hampir sempurna. Jadi, VAR adalah teknologi untuk menciptakan kesempurnaan dalam perwasitan.
Baca juga: Cara VAR Bekerja di Piala Dunia
Salah satu cara VAR membantu wasit adalah dengan tayangan ulang (replay) dan video gerak lambat (slow motion). “Replay dan slow motion mengubah persepsi kita memandang insiden,” kata Henning Plessner, psikolog dari University of Heidelberg (Jerman).
Tak seperti wasit, penonton memiliki “kemewahan” berupa replay, apalagi replay dengan gerak lambat dan dari berbagai penjuru sehingga kejadian yang luput dari penglihatan sebelumnya menjadi lebih jelas di layar kaca. Ini membuat penonton terkesan lebih cerdas, lebih benar, dan lebih adil dalam menilai sebuah kejadian dan kontroversi, sementara wasit tidak.
Sebelumnya wasit tak memiliki hak menonton tayangan ulang. Ia harus memutuskan dalam rentang waktu sempit. Dengan penglihatan (manusia) yang terbatas, bisa jadi wasit tidak melihat, terlambat melihat, atau tidak yakin pada sebuah insiden. Keterbatasan itulah yang membuat wasit melakukan kesalahan dan dianggap tidak adil. Ujungnya bukan hanya dihujat, tapi ia juga terancam akan dihukum oleh komisi wasit jika ia dilaporkan.
Atas dasar itulah VAR lahir. VAR membagikan “kemewahan” yang sebelumnya hanya dimiliki penonton layar kaca kepada wasit. Ketika keterbatasan penglihatan wasit, VAR melampaui batas tersebut dengan memberi tahu insiden-insiden yang luput dari pengamatan wasit. Tapi lagi-lagi, ini hanya akan melahirkan keputusan benar, bukan keputusan adil.
Walau begitu, ternyata video gerak lambat masih bisa menciptakan bias. “Video gerak lambat bisa memperlihatkan jika pemain punya lebih banyak waktu untuk memutuskan sesuatu, jadi itu selalu terlihat lebih buruk,” lanjut Plessner.
Menurut Helsen, video gerak lambat hanya akurat jika dilihat untuk menilai letak pelanggaran (misalnya di dalam atau di luar kotak penalti). Sementara untuk menilai impak dari tekel atau pelanggaran, VAR sebaiknya tetap meninjau dari video gerak normal (real time) untuk menjaga akurasi melalui persepsi.
Menilai VAR dari Sudut Pandang Wasit
Angka 93% tingkat akurasi sebelum VAR adalah angka yang luar biasa untuk seorang wasit yang harus melihat 22 pemain dan memutuskan segalanya dalam waktu sempit.
“Sebenarnya otak kita tidak begitu baik dalam menentukan waktu kejadian yang tepat karena kita tidak memerlukannya pada tingkat kesadaran normal,” kata Johan Wagemans, psikolog di KU Leuven. Ilmu saraf mengenal efek ini dengan istilah flash-lag.
Flash-lag adalah ilusi visual di mana objek-objek terlihat muncul dan/atau bergerak di lokasi yang sama yang dianggap berpindah dari satu sama lain. Efek ini mengakibatkan hakim garis (bukan wasit) sering salah menilai pemain berada pada posisi offside padahal ia tidak offside, atau sebaliknya.
Baca selengkapnya: Kenihilan Peraturan Offside
Helsen menyatakan jika satu dari empat keputusan offside pada Piala Dunia 2002 adalah keputusan keliru akibat efek flash-lag ini. “Kamu tak bisa mengatasi [kesalahan] itu hanya dengan berlatih terus menerus. [Kesalahan] itu hanya bisa diatasi dengan tidak memercayai persepsimu,” kata Wagemans, mendukung Helsen.
Ucapan Wagemans diamini oleh Pierluigi Collina, Ketua Komite Wasit FIFA: “Jika kamu melihat beberapa asisten wasit (hakim garis) tak menaikkan bendera [ketika kejadian offside], itu bukan karena mereka membuat kesalahan.”
“Mereka diinstruksikan untuk tak menaikkan bendera ketika ada kejadian offside yang tipis yang bisa menghasilkan penyerangan yang menjanjikan atau kesempatan mencetak gol,” katanya kepada The Guardian. “Jika asisten wasit menaikkan bendera, semuanya selesai.”
Collina menjelaskan jika asisten wasit tak menyatakan offside padahal offside, VAR bisa memperbaiki kesalahan tersebut, dengan memberikan pelanggaran offside meski (misalnya) bola kemudian masuk. Artinya: gol kemudian dianulir.
Namun jika asisten wasit menyatakan offside padahal tak offside, dalam hal ini wasit menuruti asistennya untuk memberikan offside juga, maka VAR tak bisa memperbaiki kesalahan tersebut karena pertandingan tak mungkin dilanjutkan dari situasi yang sudah tertunda.
Oleh karenanya dalam setiap kejadian yang berpotensi VAR, wasit selalu memutuskan play on dan baru meninjau VAR ketika permainan berhenti, entah karena bola keluar, pelanggaran, atau bahkan gol. Inilah yang membuat VAR bisa dianggap tidak adil meski keputusan yang diambil kemudian adalah benar.
Menilai VAR dari Sudut Pandang Penonton
Selama bertahun-tahun, psikolog mempelajari faktor-faktor yang memengaruhi keputusan wasit. Mereka menemukan jika wasit cenderung memihak tuan rumah karena kebisingan penonton tuan rumah itu sendiri.
Baca selengkapnya: Studi Menunjukkan Wasit Lebih Memihak Tuan Rumah
Temuan lain juga memperlihatkan jika pemain yang jatuh, berteriak kesakitan, dan menunjukkan beberapa gestur tertentu bisa memengaruhi wasit untuk menyatakan pelanggaran atau memberi kartu.
Sebuah studi dari University of Portsmouth sempat menyimpulkan jika pada Liga Primer Inggris 2010/11, waktu rata-rata ketika bola benar-benar dimainkan hanyalah sebanyak 62 menit 39 detik, atau sekitar dua per tiga pertandingan.
Ke mana sisa waktu yang lain? Ternyata kebanyakan waktu terbuang untuk cedera, termasuk yang pura-pura cedera. Cedera-cedera ini membuat wasit terpaksa menghentikan pertandingan, physio juga harus masuk ke lapangan untuk melakukan perawatan.
Pada buku Sportonomics, Paul Morris dan David Lewis menganalisis efek simulasi (diving) ini pada permainan. Mereka menemukan bahwa terdapat perbandingan mencolok antara cedera sungguhan dan cedera bohongan pada rata-rata pertandingan, yaitu 1:11.
Meninjau temuan ini dari perspektif penonton, maka sudah sewajarnya penonton kesal jika tontonan mereka harus tertunda lebih sering lagi pada kejadian-kejadian yang melibatkan VAR.
Satu hal yang menjadi sorotan bukan tingkat akurasi yang VAR ciptakan (meski VAR juga pernah dan akan melakukan kesalahan), melainkan alur pertandingan yang terganggu serta sepakbola yang tak mengedepankan sisi humanis dalam diri seorang wasit. Argumen umum yang muncul: VAR bisa menghilangkan drama sepakbola.
Padahal jika berpikir secara terbuka, dengan diterapkannya VAR saja sudah menciptakan banyak drama lainnya di sepakbola, contohnya ya sekarang ini. Jadi bisa dibilang jika selama masih ada manusia, baik dalam bentuk wasit, pemain, maupun (terutama) penonton, maka akan selalu ada drama di sepakbola.
Upaya Menuju Kesempurnaan yang Sia-sia
Robert René Alberts, Pelatih PSM Makassar, sempat berbicara kepada kami: “Wasit berada pada tekanan yang sangat tinggi di lingkungan tertentu. Ketika ada tekanan internal dari beberapa pihak, wasit cenderung membuat keputusan tak adil.”
Soal wasit, Robert setuju kalau VAR digunakan di Indonesia. “Jika kamu punya sistem VAR mungkin itu akan menggugurkan masalah-masalah perwasitan. ‘Lihat aku benar, kan!’ atau ‘Oh, ternyata aku salah.’,” katanya.
Bagi yang berpikir VAR terlalu mahal untuk diterapkan di Indonesia, Alberts ternyata punya pandangan berbeda. “Aku tak berpikir itu terlalu mahal jika kamu lihat uang yang dihabiskan di sepakbola Indonesia. Sistem VAR seharusnya tak terlalu mahal jika kita lihat sisi komersial sepakbola Indonesia.”
Baca juga: VAR, Asisten Wasit, atau Suporter yang Merepotkan?
VAR memang membantu wasit untuk menjadi sempurna, tapi sejujurnya tetap tidak membantu wasit untuk lebih dihargai. Bagi wasit, melakukan 99 kali keputusan yang tepat tapi melakukan satu saja kesalahan (artinya tingkat akurasi 99%) itu bisa berakibat fatal. Betul apa betul, penonton?
Sudah menjadi kodrat manusia untuk mencari-cari kesalahan. Dalam contoh di atas, 99 keputusan tepat seorang wasit bisa gugur hanya karena satu kesalahan, apalagi kesalahan itu sangat memengaruhi hasil pertandingan.
Di sini penonton harus ingat, wasit tidak bisa membayar kesalahan kepada kesebelasan A dengan membuat kesalahan juga kepada kesebelasan B. Misalnya pada pertandingan Barcelona melawan Real Madrid: “Oh, tak apa-apa wasit menganulir gol Cristiano Ronaldo, karena sebelumnya ia juga tak mengindahkan ketika Lionel Messi dijatuhkan Sergio Ramos di dalam kotak penalti padahal itu jelas pelanggaran.”
Dalam perspektif di atas, wasit melakukan dua kesalahan: satu kesalahan yang merugikan Real Madrid dan satu lagi kesalahan yang merugikan Barcelona. Dalam hal ini, wasit tidak akurat tapi cenderung bisa dipandang telah berlaku adil. Hal seperti ini adalah kesalahan dalam menilai wasit dari sudut pandang penonton, penonton netral sekalipun.
Bagi wasit, dua kesalahan adalah dua keputusan tidak akurat. Dengan VAR, wasit bisa meminimalisasi kesalahan. VAR adalah alat untuk membantu wasit meningkatkan tingkat akurasi—menurut studi IFAB—dari 93% menjadi hampir 99%. Ini soal akurat atau tak akurat, bukan soal adil atau tak adil.
Namun itu masih 99%. Ingin tahu simulasi jika akurasi keputusan wasit adalah 100%? Main saja gim seperti FIFA atau Pro Evolution Soccer. Algoritma gim-gim tersebut membuat akurasi keputusan wasit mendekati sempurna. Ketika itu terjadi dan gamer masih merasa dirugikan, ada saja, kan, yang disalahkan: stik! (atau koneksi internet untuk gim online)
Pada sepakbola nyata, kalau penonton belum puas, mereka bisa kembali ke jargon andalan mereka: “Wasit goblok!”. Benar kata penonton; karena wasitnya goblok, maka dari itu wasit butuh VAR. Penonton, mah, cerdas karena bisa melihat replay.
Jadi, VAR adalah alat untuk meminimalisasi segala “kegoblokan” wasit. Jika itu tak juga memuaskan, apapun solusi yang diberikan akan menjadi serba salah.
Baca juga tulisan-tulisan terkait VAR.
Komentar