Italia adalah tim pertama yang menjuarai Piala Dunia dua kali berturut-turut. Sayang, kisah kesuksesan mereka tertutup propaganda politik diktator Benito Mussolini.
Rasanya tidak salah jika mengatakan bahwa jargon “sepakbola tidak boleh dicampur aduk dengan politik” sudah usang. Bukan hanya karena teorinya sangat sulit untuk dipraktikkan, melainkan juga karena praktiknya sudah menjadi sebuah teori ampuh dan diimani para penguasa sejak puluhan tahun lalu; dan tidak ada Piala Dunia yang bau politiknya lebih amis ketimbang Piala Dunia 1938.
Pemilihan Perancis sebagai tuan rumah saja sudah merupakan kontroversi. Ketika itu situasi Eropa tengah memanas: Spanyol dirundung perang saudara, Austria diduduki Jerman. FIFA melihat Piala Dunia sebagai salah satu jalan untuk menunjukkan dan menjaga harmoni Benua Biru kepada dunia.
Urugay dan Argentina tidak senang dengan keputusan tersebut. Mereka berpendapat Piala Dunia seharusnya digelar secara bergantian di antara Eropa dan Amerika Selatan. Buntutnya, mereka tidak ambil bagian. Hanya Brasil negara Amerika Selatan yang bersedia mengarungi samudra.
Italia datang ke Perancis dengan status juara bertahan. Namun kehadiran mereka justru disambut caci maki.
Setahun sebelumnya, salah satu tokoh anti-fasis Eropa paling karismatik, Carlo Rosselli, tewas terbunuh di Normandy. Sekitar 200.000 orang dikabarkan menghadiri pemakamannya.
Perancis memang salah satu pusat orang-orang Italia yang melarikan diri dan terbuang akibat kepemimpinan represif Mussolini. Roselli sendiri telah menjalani pembuangan di Perancis sejak 1912. Diperkirakan 10.000 warga Italia yang menjadi “musuh negara” menghadiri laga Azzuri melawan Norwegia di Marseille untuk menunjukkan eksistensi (baca: perwalanan).
“Ini tidak adil. Para pemain kami tidak pernah bermimpi untuk menjadikan (sepakbola) sesuatu yang politis. Mereka merepresentasikan negara mereka dan wajar jika mereka mengenakan warna dan simbol negara,” ucap pelatih Italia ketika itu, Vittorio Pozzo, seperti yang ditulis Guardian.
Pozzo mungkin (pura-pura) lupa. Lambang yang berada di dada Silvio Piola dkk. ketika itu merupakan Fascio Littorio. Sebuah lambang law and order Kerajaan Romawi yang juga digunakan rezim fasisme Mussolini.
Pria yang hingga saat ini masih menjadi satu-satunya pelatih yang memenangi dua trofi Piala Dunia tersebut juga diketahui menggunakan sistem latihan ala militer. Ia memotivasi para pemain dengan cerita-cerita nasionalisme.
Pemain diwajibkan melakukan salam fasis sebelum pertandingan, yang tentu saja memancing emosi para penonton. Namun, satu momen yang benar-benar memantik kekesalan adalah ketika Italia memakai seragam berwarna hitam dalam laga perempat final melawan Perancis.
Italia sebenarnya bisa menggunakan seragam putih tradisional mereka. Tetapi, konon Mussolini-lah yang memerintahkan untuk memakai seragam hitam. Maglia nera—warna kebesaran rezim.
Itu adalah yang pertama dan terakhir kali Italia bermain dengan kostum hitam dalam pertandingan internasional resmi.
Setelah menyingkirkan Brasil di semifinal, Italia tampil impresif menghadapi Hungaria di final.
Skor imbang 1-1 pada menit ke-8. Namun, pada menit ke-35, Italia sudah berada jauh di atas angin; unggul dua gol. Para penonton pun diklaim jatuh hati.
“Dalam 20 menit yang di mana kami bermain spektakuler itu, mereka melupakan segala prasangka politik dan etnik,” jelas bek Pietro Rava.
Skor akhir adalah 4-2 untuk kemenangan Italia. Masing-masing pemain diberi bonus 8.000 lira dan sebuah medali emas dari Mussolini di Pallazo Venezia, Roma. Menariknya, sang diktator tidak pernah memegang langsung trofi tersebut.
Meski ada banyak kisah negatif, Piala Dunia 1938 tetap patut dikenang secara positif dari sudut pandang historis karena merupakan Piala Dunia terakhir sebelum Perang Dunia ke-II.
Sepanjang perang berkecamuk, wakil presiden FIFA Ottorino Barassi yang kebetulan orang Italia menyimpan trofi Jules Rimet di dalam kotak sepatu di bawah ranjang tidurnya.
Peraturan tuan rumah dan juara bertahan lolos otomatis bertahan hingga sekarang. Selain itu, Piala Dunia 1938 juga menjadi Piala Dunia pertama yang diikuti oleh negara Asia; yang sialnya tidak cukup elok untuk kita banggakan.
Komentar