Bahwa Christian Eriksen tampil mengecewakan di babak pertama laga Denmark kontra Peru adalah benar. Pada laga yang digelar di Mordovia Arena, Saransk, Sabtu (16/6) itu, Denmark cenderung menggunakan skema permainan langsung dengan banyak mengirimkan umpan-umpan panjang ke area sayap.
Eriksen tampak tak nyaman dengan skema itu. Ia tampaknya merasa bahwa skema itu tak efektif dalam merespons permainan operan pendek dan cepat yang diterapkan Peru. Beberapa kali Eriksen terlihat jengkel dan mengeluhkan kinerja rekan-rekannya.
Beruntung sang pelatih, Age Hareide, cepat-cepat menyadari hal ini. Di babak kedua ia menginstruksikan Denmark agar lebih banyak membangun serangan lewat operan-operan pendek. Peran penting Eriksen di lini tengah pun mulai terlihat seiring perubahan strategi itu. Puncaknya di menit ke-59, saat ia berhasil memberikan asis untuk gol Yussuf Poulsen—satu-satunya gol di pertandingan tersebut.
***
Sulit untuk membantah bahwa peran Eriksen begitu vital untuk Tim Nasional Denmark. Bisa dibilang kembali tampilnya Denmark di Piala Dunia tahun ini—setelah absen di edisi Brasil 2014—terjadi berkat andil besar Eriksen.
Sepanjang babak kualifikasi, walau bukan seorang penyerang, Eriksen menjadi pemain yang paling banyak mencetak gol untuk Denmark. Total 11 gol yang dibukukannya menjadikan Eriksen sebagai pencetak gol terbanyak ketiga di babak kualifikasi zona Eropa setelah Robert Lewandowski (16) dan Cristiano Ronaldo (15).
Tidak hanya itu, Eriksen pun menjadi pencetak asis terbanyak untuk Timnas Denmark dengan total 3 asis sepanjang babak kualfikasi. Secara keseluruhan menurut catatan Opta, keterlibatan Eriksen mencapai 56 persen dalam setiap gol yang dicetak Timnas Denmark selama babak kualifikasi.
Dengan peran besarnya yang begitu kentara untuk Timnas Denmark, belum lagi predikat yang disandangnya sebagai bintang sepakbola Denmark (Eriksen satu-satunya pemain yang meraih penghargaan Pemain Terbaik Denmark tiga kali berturut-turut), rasanya wajar-wajar saja andai Eriksen kemudian menjadi orang yang paling jemawa di Denmark. Toh kejemawaannya itu akan dilegitimasi dengan sendirinya oleh sejumlah prestasi yang diraihnya. Namun pada kenyataannya, Eriksen tidak demikian.
“Jika kamu mau menggeneralisasi sedikit, kami, orang-orang Kopenhagen, biasanya memiliki ego yang agak besar,” sebut rekan satu tim Eriksen di Timnas Denmark, Thomas Delaney. “Sementara Eriksen yang berasal dari Funen [salah satu pulau yang terdapat di Denmark], tidaklah seperti itu. Mereka semua yang tinggal di sana sangat ramah dan rendah hati.”
“Kita sering melihat pemain besar yang menjadi berlebihan seiring dengan popularitas mereka raih. Christian bukan orang yang seperti itu,” imbuh Delaney.
Semua yang dikatakan Delaney tentang Eriksen bukan bualan. Hal ini terkonfirmasi oleh pernyataan Kim Frank Petersen, seorang guru yang pernah mengajar Eriksen saat berusia 13 tahun.
Petersen menceritakan bahwa Eriksen sebenarnya sering pulang ke Middelfart—kampung halamannya di Denmark. Akan tetapi kepulangannya itu tak pernah diketahui oleh banyak penduduk di sana karena Eriksen tak pernah menggembar-gemborkannya.
“Ia [Eriksen] seorang rendah hati yang tak pernah lupa dari mana dirinya berasal. Jika sedang pulang, ia sering bermain sepakbola bersama sahabat-sahabatnya dahulu. Aku tak tahu akan bagaimana jadinya jika Tottenham mengetahui hal itu,” ungkap Petersen sambil tertawa.
Karakter rendah hati ini sudah dimiliki Eriksen sejak belia. Hal ini terlihat dari penampilan Eriksen ketika bermain bola bersama kawan-kawannya.
Eriksen kecil dianugerahi bakat olah bola yang sangat mumpuni secara individu. Akan tetapi semua itu tak membuat Eriksen menjadi pemain ambisius yang ingin terus-menerus memamerkan kemampuannya, dan lupa untuk membagi bola kepada kawannya.
“Dia punya pergerakan kaki cepat untuk melewati pemain lawan yang ukuran tubuhnya jauh lebih besar darinya. Namun bukan berarti ia akan terus-menerus menguasai bola. Eriksen akan dengan senang hati mengopernya kepada kawan-kawan satu timnya. Tak peduli apakah kawannya itu bermain baik atau buruk,” lanjut Petersen.
Apa yang dikatakan Petersen diamini oleh Anders Skjoldemose, mantan pelatih Eriksen ketika tergabung dalam tim muda Odense BK. “Eriksen adalah pemain dengan kualitas teknik individu terbaik yang pernah aku lihat,” pujinya seperti yang disitir The Guardian. “Tetapi ia juga merupakan pemain yang bisa bermain secara tim. Semua orang bisa melihat sendiri bahwa ia bermain dengan sangat baik secara individu. Namun orang-orang juga bisa melihat bahwa ia bisa tampil sama baiknya ketika bermain secara tim.”
Kebaikan Eriksen tidak hanya tampak dari karakter yang ditunjukkannya saja. Eriksen juga turut berkontribusi secara nyata untuk mengembangkan sepakbola di kampung halamannya.
Saat bergabung dengan Ajax dan terpilih sebagai Ajax’s Talent of the Year pada 2011, Eriksen menyisihkan pendapatannya untuk membangun lima lapangan sepakbola di bekas sekolahnya, Lillebaelt, yang berlokasi di Middelfart. Kelima lapangan itu diberi nama Cruyff Court. Ketika pindah dari Ajax ke Tottenham pada 2013, Eriksen kembali menyisihkan pendapatannya untuk membangun lapangan sepakbola bernama Middelfart Boldklub. Lapangan itu dibangun dengan biaya 35.000 paun.
Di usianya yang baru 26 tahun, berbagai prestasi individu telah diraih Eriksen di persepakbolaan Denmark. Namun semua diraihnya dengan hati yang tetap membumi. Tak hanya itu, seluruh warisan yang diberikannya untuk memajukan sepakbola di kampung halamannya juga akan membuat nama Eriksen tetap abadi ketika kelak ia mengakhiri karier sepakbolanya.
Komentar