Dua kesebelasan terbesar di Rumania adalah Steaua Bucuresti dan Dinamo Bucuresti. Rivalitas mereka begitu kental dan sudah terkenal dengan nama Eternul Derbi atau Derbi Abadi.
Baik di Liga I Rumania dan Piala Rumania (Cupa Rumaniei), Staeua dan Dinamo adalah dua kesebelasan yang menjadi peraih juara terbanyak, meski Steaua lebih unggul di kedua kompetisi tersebut.
Pada suatu waktu, final Piala Rumania 1985 sampai 1991 selalu mempertemukan Steaua dan Dinamo. Sekilas tak ada yang spesial dengan final-final tersebut, tapi sebenarnya ada satu final yang paling spesial, yaitu final 1988.
Sebelum final tersebut, Steaua sedang dalam performa luar biasa dengan 60 pertandingan tak terkalahkan. Rekor tersebut dimulai pada musim 1986/87. Berkat rekor itu, Steaua menjuarai Liga I 1987 dan 1988, serta Piala Rumania 1987 dan European Cup (Liga Champions) 1986 di mana mereka mengalahkan Barcelona di final.
Wajar jika kemudian Steaua tak ingin kalah di final Piala Rumania 1988, melawan rival terbesar pula.
Satu-satunya Walkout yang Berbuah Positif... Tapi Bikin Malu dan Pusing
Pertandingan final Piala Rumania 1988 diselenggarakan pada 26 Juni di Stadiunul August 23, Bukares, ibu kota Rumania. Laga itu berakhir dengan aneh dan tiba-tiba ketika para pemain dan staf Steaua melakukan walkout menjelang akhir pertandingan saat kedudukan masih 1-1.
Marius Lacatus mencetak gol pembuka untuk Steaua pada menit ke-27. Dinamo berhasil menyamakan kedudukan melalui gol Florin Raducioiu pada menit ke-87. Pertandingan sepertinya akan berakhir imbang dan dilanjutkan ke perpanjangan waktu, tapi kemudian Gabi Balint berhasil mencetak gol untuk Steaua di menit ke-90.
Sayangnya gol kemenangan tersebut dianulir karena wasit Radu Petrescu menganggap Balint berada pada posisi offside. Merasa dirugikan, para pemain dan staf Steaua kemudian meninggalkan lapangan.
Dilaporkan jika salah satu pendukung mereka yang terkenal, Valentin Ceausescu, adalah orang yang pertama kali melakukan provokasi agar para pemain dan staf kesebelasan protes. Valentin adalah putra Nicolae Ceausescu, diktator terkenal Rumania. Tak heran suaranya didengarkan oleh para pemain dan staf Steaua.
Merasa tak dihargai, wasit kemudian meniup peluit panjang dan menyatakan Dinamo sebagai pemenangnya. Dengan begitu Dinamo menjadi juara Piala Rumania 1988 sekaligus mengakhiri rekor tak terkalahkan Steaua. Tamat? Ternyata tidak.
Pada keesokan harinya, pemerintah melalui diktator Nicolae Ceausescu melakukan intervensi. Mereka menyatakan gol Balint seharusnya sah. Dengan keputusan pemerintah Rumania itu, Piala Rumania akhirnya diberikan kepada Steaua. Selesai? Ternyata tidak juga.
Dua tahun setelah kejadian final itu, rezim diktator Ceausescu berakhir. Steaua yang merasa mereka juara dengan dibantu diktator merasa malu, kemudian berniat menyerahkan trofi dan gelar juara kepada rivalnya, Dinamo. Berakhir? Tidak juga, saudara-saudara.
Pihak Dinamo ternyata menolak “niat baik” Steaua. Mereka menolak gelar juara Piala Rumania 1988. Sampai sekarang, ada tiga versi pemenang final Piala Rumania 1988: (1) Steaua Bucuresti, (2) Dinamo Bucuresti, dan (3) tidak ada.
***
Pada era sepakbola modern seperti sekarang, drama bisa tercipta di dalam dan luar lapangan, apalagi setelah ada VAR. Tak jarang pemain, kesebelasan, dan pendukung melakukan protes terhadap hasil sebuah pertandingan, seolah mereka bisa mengubah semua yang sudah terjadi.
Siapa sangka final Piala Rumania 1988 ternyata mengajarkan kita jika walkout atau mogok lanjut bertanding bisa berbuah positif? Ternyata semuanya memang bisa berubah—hasil pertandingan bisa berubah, gelar juara bisa berubah—meski melibatkan diktator dengan segala keganjilan dan kepusingannya.
Pelajarannya: jangan menyerah tahu malu, lah!
Komentar