Tiga bulan sebelum Perancis menghelat Piala Dunia 1998, kondisi sosial-politik di Perancis sedikit terganggu seiring naiknya popularitas partai politik sayap kanan, Front Nasional, yang dipimpin oleh Jean-Marie Le Pen. Front Nasional meraup suara sebesar 15 persen pada pemilihan umum regional yang diadakan di Perancis, Maret 1998. Menjadikannya partai politik paling populer ketiga di Perancis kala itu.
Naiknya popularitas Front Nasional menjadi ancaman bagi keberagaman etnis warga Perancis, mengingat partai tersebut kental dengan sentimen anti-imigran ketika itu. Hal yang dikhawatirkan tersebut kemudian menemukan bentuknya ketika Piala Dunia dimulai pada Juni 1998.
Tim Nasional Perancis yang diperkuat oleh beberapa pemain keturunan seperti Zinadine Zidane, Lilian Thuram, Marcel Desailly, hingga David Trezeguet, menjadi sasaran empuk Le Pen beserta partainya untuk melancarkan manuver. Le Pen menyebut para pemain keturunan itu sebagai “orang lain”, bukan “asli” Perancis.
“Akan menjadi sedikit artifisial ketika membawa pemain dari luar negeri tetapi menyebutnya sebagai Tim Perancis,” ujar Le Pen dikutip dari New York Times.
Tidak hanya itu, ketika ada beberapa pemain keturunan Perancis yang dianggap tidak bersemangat dalam menyanyikan lagu kebangsaan Perancis, Le Pen langsung menuduhnya sebagai pemain yang tidak nasionalis.
“Jean-Marie Le Pen berkata selama Piala Dunia bahwa ia tidak mengenal Tim Nasional Perancis yang sekarang, hanya karena terlalu banyak pemain berkulit hitam di dalam tim,” ujar Emmanuel Petit kepada FourFourTwo. “Ia (Le Pen) menyerang pemain berkulit hitam dan menuduh mereka tidak menyanyikan lagu kebangsaan sebelum pertandingan.”
“Memang beberapa dari kami menyanyikan, sementara beberapa yang lain tidak ikut menyanyikan,” jelas Marcel Desailly. “Tetapi itu tidak ada hubungannya sama sekali dengan asal-usul kami. Aku pikir ia hanya memanfaatkan kami untuk kepentingan politiknya.”
Alih-alih mendapat dukungan penuh saat berkompetisi di rumah sendiri, skuat Perancis malah mendapat rintangan dengan adanya kejadian-kejadian tersebut. Akan tetapi berkat kuatnya kebersamaan yang melampaui segala perbedaan di dalam tim, Les Blues mampu membuktikan bisa berbicara banyak di Piala Dunia 1998 dengan menembus babak semifinal (akhirnya mereka juara). Ini pencapaian yang menggembirakan karena di dua edisi Piala Dunia sebelumnya, Perancis absen dari Piala Dunia.
Di babak semifinal Perancis bertemu lawan yang berat: Kroasia. Saat itu, Kroasia sedang bagus-bagusnya karena diperkuat oleh beberapa pemain berkualitas seperti Davor Suker, Zvonimir Boban, Slaven Bilic, hingga Dario Simic. Satu generasi emas sedang dimiliki oleh Kroasia kala itu.
Baca juga: Romansa Kroasia di Piala Dunia
Perancis memulai babak pertama dengan kesulitan membongkar pertahanan Kroasia. Alih-alih membaik, segalanya justru menjadi buruk ketika memasuki babak kedua. Penyerang andalan Kroasia, Davor Suker, sukses menjebol gawang Fabian Barthez pada menit ke-46.
Namun hanya berselang satu menit dari gol Suker, Perancis berhasil membalas lewat salah satu pemain berkulit hitam mereka: Lilian Thuram. Gol kedua yang memenangkan Perancis di pertandingan malam itu kemudian segera menyusul pada menit ke-70. Thuram lagi-lagi menjadi pelakunya.
Berkat dua gol yang disumbangkannya, Perancis melenggang ke final Piala Dunia untuk kali pertama. Lewat dua golnya itu, Thuram berhasil membuktikan dirinya kepada lingkungan yang kerap mendiskriminasinya hanya karena perbedaan warna kulit.
“Itu [gol Thuram] adalah momen yang fantastis,” ujar Zidane. “Kami berkata, ‘Thuram untuk Presiden!’ setelah pertandingan selesai.”
Di babak final, Perancis sukses mengalahkan Brasil. Les Bleus merengkuh trofi Piala Dunia pertama mereka.
Pembuktian Serupa 20 Tahun Kemudian
Perancis menjadi salah satu dari 32 tim yang lolos kualifikasi ke Piala Dunia 2018. Kali ini yang menjadi tuan rumah Piala Dunia adalah Rusia.
Sebagai tuan rumah, Rusia bukan negeri tanpa masalah. Rasisme telah menjadi salah satu masalah serius yang ada di Rusia. Bahkan pemain berkulit hitam asal Inggris, Danny Rose, melarang keluarganya datang ke Rusia untuk menyaksikan Piala Dunia, karena khawatir akan terpapar pelecehan rasial.
Berdasarkan data yang dikumpulkan oleh jaringan Football Against Racism in Europe (Fare), tercatat ada 92 kasus rasisme dan diskriminasi lewat nyanyian yang dilantangkan suporter di dalam stadion-stadion Rusia pada musim 2014/15. Jumlah ini meningkat dibanding musim sebelumnya, 2013/14, di mana total insiden serupa yang tercatat adalah 83 kasus.
Dari total 92 kasus tersebut, 10 di antaranya ditujukan kepada pemain berkulit hitam. Jumlah ini lebih banyak dari musim 2013/14 di mana kasus terhadap pemain berkulit hitam jumlahnya adalah 5 kasus.
Ini tentunya menjadi ancaman bagi para pemain berkulit hitam di kubu Perancis yang akan tampil di Rusia. Paul Pogba, Blaise Matuidi, N’Golo Kante, hingga Samuel Umtiti, adalah empat di antaranya.
Perancis pun sudah pernah merasakan bagaimana jahatnya pelecehan ras yang mereka terima di Rusia, sebelum Piala Dunia dimulai. Ini terjadi ketika Les Bleus menjalani laga persahabatan melawan Rusia di Krestovsky Stadium pada 27 Maret 2018.
Saat itu, banyak suporter Rusia meneriakkan ejekan-ejekan fisik kepada pemain-pemain Perancis yang berkulit hitam seperti Kante, Anthony Martial, hingga Pogba.
Jurnalis foto Reuters yang ada di tempat kejadian, mengaku mendengar ejekan monyet dari penonton kepada beberapa pemain Perancis dalam waktu yang sangat sering. Biasanya ejekan tersebut semakin nyaring terdengar ketika pemain Perancis hendak melakukan lemparan ke dalam atau mengambil sepak pojok.
Perancis dihadapkan dengan situasi yang hampir sama dengan apa yang pernah mereka alami di Piala Dunia 1998. Namun cara mereka dalam merespons hal itu pun hampir sama dengan yang mereka lakukan 20 tahun lalu.
Perancis berhasil melaju hingga babak semifinal Piala Dunia 2018. Jika 20 tahun lalu mereka berhadapan dengan generasi emas Kroasia di semifinal, kini lawan yang mereka hadapi adalah generasi emas Belgia yang tampil memukau sepanjang turnamen.
Setelah di babak pertama kedua tim saling mendapatkan peluang, Perancis akhirnya berhasil membuka keunggulan lewat gol yang dicetak Samuel Umtiti pada menit ke-51. Memanfaatkan umpan Antoine Griezmann, pemain berdarah Kamerun itu sukses menjaringkan bola ke gawang Thibaut Courtois lewat sundulannya.
https://twitter.com/FMA/status/1016810715896659968
Sampai wasit meniup peluit panjang, kedudukan tak berubah. Gol Samuel Umtiti sukses mengantarkan Perancis ke final Piala Dunia untuk kali pertama sejak 12 tahun.
Dua puluh tahun lalu, Thuram berhasil membuktikan diri di tengah lingkungan sosial yang rasis lewat gol yang dicetaknya di semifinal. Kini Samuel Umtiti yang punya posisi bermain sama dengan Thuram, , berhasil melakukan pembuktian serupa di Rusia.
Komentar