Ada tiga pemain yang layak disorot ketika Kroasia sukses menundukkan Inggris di semifinal Piala Dunia 2018: Ivan Perisic, Mario Mandzukic, dan Luka Modric.
Perisic adalah pemain yang berhasil mengangkat kembali kepercayaan diri Kroasia setelah tertinggal satu gol dari Inggris, lewat gol penyama kedudukan yang dicetaknya pada menit ke-68. Mandzukic, sementara itu, adalah pencetak gol kemenangan Kroasia di paruh kedua babak tambahan. Modric sendiri adalah kapten yang berhasil mendongkrak semangat rekan-rekannya untuk membuktikan bahwa para pendukung, pakar, hingga jurnalis Inggris yang menyebut Kroasia akan mudah dikalahkan, telah salah dalam memberi penilaian.
Ketiganya adalah pahlawan Kroasia. Ketiganya sukses membawa Kroasia meraih pencapaian bersejarah di panggung dunia. Ketiganya berhasil mengubah Kroasia menjadi tim yang—dalam kata-kata Dejan Lovren usai pertandingan—tak akan dilupakan oleh banyak orang.
Berkat andil ketiga pemain itu, sebuah pesta besar pecah di Kota Zagreb. Seperti dilaporkan BBC, Alun-alun Zagreb seketika dipenuhi oleh tangis yang bercampur tawa dari para pendukung Kroasia, beberapa saat setelah wasit Cuneyt Cakir meniup peluit panjang. Kembang api dan air mancur seakan berlomba menjangkau langit.
Mereka larut dalam sebuah kegembiraan festival sepakbola. Jouissance (kegembiraan)—ucap seorang filsuf Rusia, Mikhail Bakthin—adalah sensasi yang wajar timbul dalam suasana festival.
Akan tetapi, Kroasia dan para pendukungnya tak bisa berlama-lama larut dalam perayaan. Lawan yang akan mereka hadapi di babak final tidak enteng: Perancis. Kroasia mesti segera bersiap.
Dalam hal tampil di final dan memenangi Piala Dunia, Perancis lebih berpengalaman dibandingkan Kroasia. Terlepas dari taktik dan strategi, modal pengalaman itu cukup ampuh untuk membuat skuat Les Bleus percaya diri menghadapi laga puncak. Namun Kroasia bukan berarti tak punya modal tambahan. Kemenangan atas Inggris telah membuat anak asuh Zlatko Dalic optimis untuk membuat segala yang tak mungkin menjadi mungkin.
Para pendukung Kroasia segendang-sepenarian. Mereka berada dalam frekuensi yang sama. Rupanya sensasi kemenangan atas Inggris telah membuat mereka tak ragu untuk memancang harap tinggi-tinggi.
“Sejarah akan tercipta,” sebut salah seorang pendukung Kroasia, Marjan Benic, kepada The Guardian. “Aku tak pernah menyangka akan merasakan pengalaman seperti ini di dalam hidupku. Tak ada ajang yang bisa dibandingkan dengan Piala Dunia tahun ini.”
Saat hari pertandingan tiba, rasa optimis itu semakin tampak saja. Zagreb mulai dipenuhi kembali oleh pendukung Kroasia. Dilaporkan The Guardian, perusahaan kereta api sampai rela memberi potongan harga tiket sebesar 50 persen untuk mengangkut para pendukung Kroasia dari luar kota ke Zagreb. Jadwal penayangan film di bioskop-bioskop ditunda. Ibadah di Gereja Bunda Suci, yang semula dijadwalkan pukul 5 sore, dipindahkan menjadi pukul 7:30 sore, agar para jemaat bisa menyaksikan pertandingan.
Semua bersiap seakan sebuah sejarah besar akan terjadi: Kroasia menjadi juara dunia. Namun yang tersaji di atas hijaunya rumput Luzhniki Stadium berbanding terbalik dengan apa yang mereka bayangkan.
Tiga pemain yang pada pertandingan melawan Inggris menjadi pahlawan seketika seperti kehilangan taji di laga melawan Perancis. Kesalahan-kesalahan yang mengakibatkan kekalahan dibuat oleh mereka.
Mandzukic membuat Kroasia tertinggal lebih dulu akibat gol bunuh diri yang dicetaknya pada menit ke-18. Perisic mempunyai andil dalam membuat Kroasia tertinggal untuk kali kedua pada menit ke-38—penalti Griezmann terjadi akibat handsball Perisic di kotak penalti. Modric, sementara itu, dengan kantung mata yang cukup jelas menandakan kelelahan, tak bisa berbuat banyak dalam mengimbangi aksi Paul Pogba di lini tengah.
Alhasil, dua gol yang masing-masing disumbangkan Perisic dan Mandzukic di pertandingan itu pun agaknya lebih terasa sebagai pelipur lara—jika frasa “penebus dosa” dianggap terlalu berlebihan. Alih-alih kembali menjadi pahlawan Kroasia, ketiganya seakan berubah menjadi sosok antagonis yang menyebabkan kekalahan. Persis seperti yang pernah diungkapkan Owen A. Mcball dalam bukunya, Football Villains (2010): “Para penjahat adalah mereka yang sebelumnya diharapkan menjadi pahlawan.”
Tetapi para pendukung Kroasia enggan menilai dengan cara seperti itu. Bagi mereka walau kalah, Modric, Mandzukic, Perisic, dan seluruh pemain Kroasia lainnya tetaplah merupakan pahlawan yang berjasa dalam membuat harum nama Kroasia di panggung dunia.
Media asal Kroasia, Croatia Week, menurunkan sebuah berita yang berjudul: “Biggest Street Parade To Welcome Croatian World Cup Heroes on Monday”, beberapa saat setelah pertandingan final rampung digelar. Isinya mengabarkan bahwa pada hari Senin (16/7), lebih dari 100.000 orang diperkirakan akan datang menyambut kedatangan skuat Kroasia dari Rusia. Luka Modric dan kolega rencananya akan diarak keliling kota Zagreb menggunakan dua bus terbuka.
“Kami sedih [atas kekalahan Kroasia], tetapi peringkat kedua tetap merupakan pencapaian luar biasa bagi Kroasia. Kami akan segera melupakan [kekalahan] begitu mereka kembali besok [Senin],” ujar salah seorang pendukung Kroasia, Mariana Pereira kepada The Guardian.
“Aku sangat senang. Kita tetap menciptakan sejarah kendati tak jadi juara,” ucap pendukung Kroasia yang lain, Mato Musulin.
Kroasia tak perlu khawatir atas kekalahan yang mereka terima di final Piala Dunia. Oleh penduduknya, mereka akan tetap disambut hangat layaknya pahlawan yang baru saja pulang dari medan pertempuran.
Komentar