Pertandingan yang mengubah Kota Middlesbrough yang tenang menjadi riuh. Seperti itu jurnalis Daily Express, Arnold Howe, menggambarkan pertandingan antara Korea Utara dan Italia di Piala Dunia 1966.
Pada pertandingan yang digelar di Ayresome Park Stadium, 19 Juli 1966 itu, Korea Utara sukses mengalahkan Italia dengan skor 1-0. Gol Korea Utara dicetak oleh Pak Doo-Ik pada menit ke-42.
Kemenangan itu langsung membuat banyak penduduk Kota Middlesbrough bersimpati pada Korea Utara. Saat mereka menjalani pertandingan selanjutnya melawan Portugal di fase gugur—seperti dilaporkan jurnalis Bernard Gent—sebanyak 3.000 penduduk Middlesbrough rela menempuh perjalanan jauh menuju Liverpool untuk mendukung anak asuh Myung Rye Hyun.
Simpati besar dari penduduk Middlesbrough untuk Timnas Korea Utara dapat dipahami. Korea Utara saat itu merupakan tim debutan yang tidak diunggulkan di Piala Dunia. Italia, sementara itu, merupakan tim berpengalaman yang sebelumnya sudah pernah memenangi trofi Piala Dunia sebanyak 2 kali (1934 dan 1938).
Namun di sisi lain, simpati yang diberikan oleh penduduk Middlesbrough ini juga menjadi anomali. Pasalnya, hubungan diplomatik antara Korea Utara dan Inggris sedang memanas kala itu.
Sempat Mendapat Penolakan
Korea Utara memastikan lolos ke Piala Dunia 1966 setelah berhasil mengalahkan Australia di babak play-off dengan agregat 9-2. Pencapaian ini langsung disambut baik oleh presiden mereka saat itu, Kim Il-Sung.
Sebelum bertolak ke Inggris, Kim Il-Sung membekali skuat Korea Utara dengan sebuah pesan motivasi yang begitu membekas di benak para pemain. Saking membekasnya, pemain belakang Korea Utara, Rim Jung Son, masih bisa mengingat dengan utuh pesan motivasi itu berpuluh-puluh tahun kemudian.
“Ia (Kim Il-Sung) merangkul kami degan penuh kasih sayang dan berkata: ‘Negara-negara Eropa dan Amerika Selatan telah mendominasi sepakbola internasional. Sebagai perwakilan dari negara-negara Asia dan Afrika, sebagai bangsa kulit berwarna, aku ingin kalian bisa memenangi satu atau dua pertandingan,’” ujarnya dikutip dari ESPN.
Para pemain langsung tersuntik semangatnya setelah diberikan motivasi tersebut. Akan tetapi perasaan antusias yang sudah memuncak hingga ubun-ubun itu harus dihadapkan dengan kenyataan pahit: Inggris tidak ingin mengakui keikutsertaan Korea Utara.
Penolakan Inggris ini terjadi akibat buntut dari Perang Korea (1950-1953). Saat itu, Inggris mendukung Korea Selatan untuk sama-sama menentang Korea Utara. Dalam penolakannya terhadap Korea Utara itu, Inggris sempat merencanakan langkah serius dengan melarang Departemen Luar Negeri mereka mengeluarkan visa bagi para pemain Korea Utara.
FIFA pun segera turun tangan agar Korea Utara bisa tetap tampil di Piala Dunia pertama mereka, terlepas dari hubungan politiknya dengan tuan rumah. Setelah FIFA melakukan serangkaian proses pendekatan, Inggris akhirnya melunak. Mereka mengizinkan Korea Utara tampil di Inggris, namun dengan sebuah syarat: sebelum memulai pertandingan, Korea Utara dilarang untuk memutar lagu kebangsaannya.
Sepakbola Bukan Hanya tentang Kemenangan
Tampil di bawah tekanan negara yang menjadi seterunya, tentu tak mengenakan bagi Korea Utara. Belum lagi mereka merupakan tim debutan yang sama sekali belum punya pengalaman tampil di Piala Dunia.
Segala kesulitan itu setidaknya terlihat ketika Pak Seung-Zin dan kolega menjalani pertandingan pertama mereka di fase grup melawan Uni Soviet. Pada pertandingan yang dipimpin oleh wasit Juan Gardeazabal Garay itu, Korea Utara dengan mudah dikalahkan Uni Soviet dengan skor telak 3-0. Di pertandingan lain, Italia berhasil meraih kemenangan atas Chile dengan skor 2-0.
Di matchday kedua, Korea Utara menghadapi Chile sementara Italia bertanding melawan Uni Soviet. Hasil dari dua pertandingan tersebut lalu diketahui seperti ini: Korea Utara kontra Chile berakhir imbang 1-1, sedangkan Italia kontra Uni Soviet berakhir dengan skor 1-0 untuk kemenangan Uni Soviet.
Uni Soviet kemudian menjadi satu-satunya tim yang sudah memastikan lolos ke fase gugur. Matchday ketiga akan menjadi kesempatan terakhir bagi Chile, Korea Utara, dan Italia untuk meraih peringkat kedua grup dan lolos ke fase gugur.
Namun jika dilihat dari segi pengalaman, Italia punya kesempatan lebih besar untuk lolos. Ditambah lagi Italia diuntungkan karena mendapat lawan yang relatif lebih mudah yakni Korea Utara, dibandingkan Chile yang harus berhadapan dengan Uni Soviet di pertandingan fase grup terakhir.
Namun apa yang terjadi di hari pertandingan justru berbanding terbalik dengan yang sebelumnya diperkirakan. Korea Utara berani tampil menyerang dan beberapa kali menebar ancaman ke pertahanan Italia.
“Mereka memainkan sepakbola menyerang. Tak ada sama sekali kecenderungan untuk bertahan dalam permainan mereka,” ujar salah seorang penonton yang merupakan pendukung Middlesbrough, Dennis Barry, kepada BBC.
Segalanya menjadi buruk bagi Italia ketika pada menit ke-30, gelandang mereka, Giacomo Bulgarelli, tak bisa melanjutkan pertandingan karena cedera. Saat itu, belum diperkenankan pergantian untuk pemain yang cedera. Alhasil Italia pun terpaksa melanjutkan pertandingan dengan 10 pemain.
Sementara itu bagi Korea Utara, unggul jumlah pemain semakin membuat mereka leluasa menyerang. Akhirnya pada menit ke-42, Pak Doo-Ik berhasil membuka keunggulan Korea Utara lewat tembakan keras yang ia lepaskan ke sudut kiri gawang Enrico Albertosi.
Gol itu langsung disambut meriah oleh penonton yang hadir di Ayresome Park Stadium. Itulah satu-satunya gol yang tercipta di pertandingan itu, dan membuat Korea Utara meraih kemenangan besar. Tidak hanya memenangkan Korea Utara, gol itu juga telah membuat banyak penduduk Middlesbrough mulai menaruh respek kepada Korea Utara. Ini tentunya patut disyukuri karena tekanan besar yang dirasakan Korea Utara berkat perseturuannya dengan Inggris, sedikit demi sedikit kian memudar.
“Itu adalah hari di mana aku merasa sepakbola bukan hanya tentang kemenangan,” ujar Pak kepada The Guardian. “Ketika aku mencetak gol itu, penduduk Middlesbrough mulai menaruh hati kepada kami. Dari sana aku belajar bahwa bermain sepakbola ternyata bisa memperbaiki hubungan diplomatik dan mempromosikan perdamaian.”
Sementara itu bagi Italia sendiri, kekalahan memalukan dari Korea Utara langsung berbuah kecaman keras dari para pendukungnya. Pelatih mereka, Edmondo Fabbri, langsung dibebastugaskan. Sedangkan ketika mereka tiba di bandara sepulang dari Inggris, mereka menghadapi penolakan besar dari para pendukungnya.
Komentar