Benjamin Pavard menempuh jalan yang panjang untuk jadi seperti sekarang. Begitu pula dengan kedua orang tuanya, Nathalie dan Frederic Pavard. Tidak semua hal tersedia untuk seorang anak tunggal dari Jeumont, sebuah kota kecil di Perancis bagian utara yang berbatasan langsung dengan Belgia.
Pavard kecil tidak berlama-lama berlatih di Jeumont. Pada usia 9 dia bergabung dengan Lille OSC. Empat kali sepekan Nathalie dan Frederic mengantar Pavard berlatih, menempuh jarak lebih dari 96 km pulang-pergi. Setahun saja kegiatan itu dilakukan, karena pada usia 10 Pavard meninggalkan rumah untuk tinggal di asrama pemain muda Lille.
“Target pertamaku adalah membuat ayah dan ibuku bangga,” ujar Pavard sebagaimana dikutip dari laman web Bundesliga. “Kami menjalani masa sulit. Aku meninggalkan mereka di usia 10 untuk tinggal di asrama sekolah sepakbola Lille. Itu sulit tidak hanya untukku, tapi juga untuk orang tuaku, karena aku anak mereka satu-satunya.”
Perkembangan Pavard tak begitu pesat. Bahkan di tim muda Lille dia tak banyak mendapat kesempatan. Begitu musim 2013/14 berakhir Pavard pulang ke Jeumont. Sementara para pemain top berlibur di tempat eksotis atau sibuk bertanding di Piala Dunia 2014, Pavard berlatih keras.
“Aku di titik rendah,” ujar Pavard kepada BILD. “Aku nyaris tidak bermain di musim sebelumnya di tim muda Lille, jadi aku memutuskan untuk memperbaiki diri. Aku menemukan seorang pelatih kebugaran dan bekas pelatihku saat masih kanak-kanak melatihku, dia mengubahku dari seorang gelandang menjadi bek tengah.”
Kerja kerasnya di masa libur membuahkan hasil. Memasuki paruh kedua musim 2014/15, tepatnya pada 31 Januari 2015, Pavard menjalani debutnya di Ligue 1. Namun diberi kesempatan menjalani debut adalah satu hal, terus menerus dipercaya bermain adalah hal lain. Di Tim Nasional Perancis U-19 sama saja, walau saat kesempatan bermain diberikan Pavard tidak mengecewakan.
“Dia bermain dengan putraku [Marcus Thuram] di Piala Eropa U-19 2015 dan aku menonton pertandingan-pertandingannya,” ujar Lilian Thuram kepada AFP. “Bahkan pada saat itu dia sudah terlihat menjanjikan. Untuk pemain seusianya dia sangat cerdas dan sangat teknis.”
Pavard naik ke tim U-21 setelahnya, tapi sampai situ saja. Saat Perancis melenggang sampai ke final di Piala Eropa 2006 Pavard masih tidak masuk ke radar Didier Deschamps. Pada gelaran itu Pavard hanya penonton, seperti kebanyakan warga Perancis lain.
Penyebabnya adalah karier yang begitu-begitu saja di Lille. Lebih dari setahun sejak debutnya untuk tim senior, Pavard masih belum menjadi pilihan utama. Namun ini bukan sepenuhnya salah sang pemain.
“Aku tidak pernah mendengar tentang Benjamin sebelum Stuttgart mulai mengamatinya, apa lagi tahu pemain seperti apa dirinya,” tulis Thomas Hitzlsperger, kepala tim muda Stuttgart, dalam kolomnya di Guardian. “Namun seseorang mengatakan kepadaku ada seorang pemain belakang muda yang kesulitan mendapat kesempatan di Lille dan menyarankan kami untuk meliriknya. Lalu aku menonton beberapa video, suka dengan apa yang kulihat, dan menghubungi seorang jurnalis yang mengkaver Ligue 1 dan meminta sarannya.
“Dia berkata Benjamin adalah bakat besar dan satu-satunya alasan dia tidak bermain di Lille adalah karena manajernya lebih memilih pemain yang lebih berpengalaman. Lalu rekanku berangkat ke Lille untuk melihat Benjamin berlatih dan setelah dia juga menyukai apa yang dilihatnya, dia merekomendasikan Benjamin ke direktur olahraga kami saat itu.”
Demi kesempatan bermain lebih besar di tim utama Pavard menerima tawaran Stuttgart. Banyak orang yang mengenal Pavard menentang keputusannya karena menurut mereka, pindah ke klub Bundesliga 2 adalah kemunduran karier. Namun keputusan Pavard sudah bulat. Per musim 2016/17 Pavard berseragam Stuttgart. Dengan itu berubah pula agenda Nathalie dan Frederic. Dua pekan sekali mereka berkendara enam jam—12 jam pulang-pergi—dari Jeumont ke Stuttgart, untuk menonton Pavard bertanding.
Pavard memulai kariernya di Stuttgart dengan gemilang. Dua menit pertandingan berjalan dia mencetak asis untuk Carlos Mane, sebuah umpan panjang dari lini belakang langsung ke sepertiga akhir. “Itu jenis umpan seorang playmaker berpengalaman, bukan pemain belakang muda, dan dari tribun penonton aku berpikir tidak mungkin Benjamin sebagus itu,” tulis Hitzlsperger dalam kolom yang sama. “Aku salah.” Pavard melengkapi pertandingannya dengan satu gol di menit ke-24, gol ketiga Stuttgart dalam kemenangan 4-0 atas SpVgg Greuter Furth. Dari situ karier Pavard bergerak ke satu arah: maju.
Pavard yang datang untuk jam terbang lebih banyak mengangkat tinggi piringan Bundesliga 2 di akhir musim. Naik divisi ke Bundesliga 1, tempatnya semakin mantap. Pavard adalah satu dari empat pemain yang tidak melewatkan sedetik pun pertandingan Bundesliga 1 2017/18. Bersama dengan itu datang pula panggilan dari Tim Nasional Perancis dan kepercayaan dari Deschamps.
“Rasanya sedikit aneh karena orang-orang belum pernah mendengar namaku sebelumnya,” ujar Pavard kepada laman web FFF (PSSI-nya Perancis). “Aku masih ingat kali pertama aku dipanggil tim nasional pada November [2017] dan semua orang berkata kepadaku ‘kamu siapa, kamu siapa?’”
Dua tahun setelah mengambil langkah mundur, Pavard mengangkat tinggi trofi paling bergengsi di sepakbola. Pavard tak ingin berhenti di situ. “Gelar juara dunia tidak akan memuaskanku,” kata Pavard kepada L’Equipe. “Kau harus menang, menang, dan menang lagi. Dalam dua tahun akan digelar Piala Eropa—aku ingin memenanginya. Aku ingin memenangi semuanya. Piala Dunia beberapa kali, Liga Champions, semua gelar yang ada. Aku ingin menjadi pemain dengan jumlah gelar yang sangat banyak. Aku menikmatinya tapi setelah ini kami akan kembali ke medan tempur.”
Untuk saat ini, kembali ke medan tempur untuk Pavard sendiri berarti kembali berlatih bersama Stuttgart, sepekan lebih awal dari jadwal yang disepakati sebelumnya.
Komentar