Selama 17 tahun kariernya di sepakbola sebagai pemain, Roy Keane punya banyak cerita. Karakternya yang keras, disiplin, dan dominan membuat pria kelahiran Cork, 10 Agustus 1971 ini dikenal melalui kisah-kisahnya seperti ketika menghadapi Brian Clough di Nottingham Forest, rivalitasnya dengan Patrick Vieira, mencederai Alf-Inge Håland, Tragedi Saipan di mana ia berkelahi dengan Mick McCarthy yang membuatnya meninggalkan Timnas Republik Irlandia di Piala Dunia 2002, sampai masalah yang membuatnya meninggalkan Manchester United.
"Aku sangat beruntung lahir dan besar di Cork, kota yang gila olahraga," kata Keane, dikutip dari The Belfast Telegraph. "Saat sekolah aku terlalu fokus di olahraga. Jelas aku bukan anak paling keras di sekolah."
"[Aku menjadi sangat keras] karena aku terlalu serius untuk menang," tambahnya. Karakternya diasah ketika ia juga bekerja mengangkut semen saat masih menjadi pemain muda di Cobh Ramblers. "Itu adalah edukasi untukku dan membuatku semakin berdeterminasi untuk menjadi olahragawan."
Pada 1990 ia pindah ke Nottingham Forest, bekerja di bawah asuhan Brian Clough, di mana ia dididik dengan sangat keras, bahkan sampai pernah dipukul.
"Jika itu terjadi sekarang, manajer pasti bakal dipecat. Aku tak pernah merasa buruk soal itu, aku tak pernah berpikir apa yang ia (Clough) lakukan kepadaku itu buruk," curhat Keane. Ia dimarahi Clough karena back-pass yang ia lakukan saat melawan Crystal Palace berbuah gol. "Aku bisa bilang itu kesalahan kiper, Mark Crossley. Tapi menjadi pemain tim, maka aku bertanggung jawab atasnya. Brian memukul dadaku. Aku tak marah kepadanya. Aku harus terima itu."
Kalau ada satu momen yang paling mengubah karakter Keane, itu terjadi setelah ia memutuskan pindah ke Manchester United.
"Pergi ke United membuka mataku. Aku pergi ke United setelah mereka menjuarai liga. Ada momentum. Mereka punya pemain-pemain yang sangat bagus dan yang paling penting, mereka punya karakter yang sangat bagus," kata Keane yang kemudian menjadi kapten pada 1997.
Menurut Keane, United cocok dengan DNA-nya. "Aku cinta tekanannya, pertandingan-pertandingan besarnya, para pendukungnya."
"Aku tak terlalu peduli dengan medali-medaliku. Itu soal orang-orang yang bekerja denganku. Kami tak pernah mendiskusikan uang. Orang-orang yang bekerja denganku punya rasa lapar dan gairah untuk menang." Selama 12 tahun di United, Keane mempersembahkan 17 gelar juara (tujuh di antaranya gelar juara Liga Primer Inggris), yang menjadikannya sebagai kapten tersukses sepanjang sejarah United.
Tak Mementingkan Diri Sendiri
Dari semua narasi selama ia berstatus sebagai pemain—khususnya ketika berseragam Man United—ada satu yang paling mencerminkan karakternya, yaitu pada pertandingan semifinal leg kedua Liga Champions UEFA 1998/99 menghadapi Juventus pada 21 April 1999.
Ketika Man United mencatatkan treble (tiga gelar: Liga Primer, Piala FA, dan Liga Champions) pada 1999, momen yang paling menjadi kesimpulan adalah saat Ole Gunnar Solskjær menjulurkan kaki kanannya di tiang jauh untuk mencetak gol paling sederhana yang paling spesial di injury time. Namun untuk Roy Keane, momen paling penting justru terjadi pada pertandingan sebelumnya.
Pada semifinal leg pertama di Old Trafford, Setan Merah bermain imbang 1-1 dengan Juventus. Kesebelasan Juventus saat itu diisi oleh pemain-pemain ikonik seperti Zinedina Zidane, Filippo Inzaghi, Didier Deschamps, Antonio Conte, Edgar Davids, dan Alessandro Del Piero (saat itu tak bermain). Hasil imbang itu membuat Juventus diunggulkan di leg kedua di Stadio delle Alpi, Turin.
Saat itu United memang sudah dikenal memiliki karakter pantang menyerah. Namun itu seolah menguap pada 11 menit awal leg kedua. Penyerang yang Sir Alex Ferguson labeli "lahir offside", Filippo Inzaghi, mencetak dua gol untuk membuat Juventus unggul 2-0 (agregat 3-1). United butuh setidaknya mencetak dua gol untuk lolos dengan away goal.
Pada momen itu, Keane tidak pernah ragu jika United tak bisa bangkit. Detik yang mengubah segalanya, membuat United benar-benar bisa percaya dan bangkit, adalah saat ia mencetak gol melalui sundulannya di menit ke-24.
David Beckham mengirimkan umpan presisi dari sepak pojok, Keane menatap bola dengan tajam, tatapan yang mencerminkan karakter pantang menyerahnya, matanya tak pernah lepas dari bola. Ia berlari menembus kotak penalti seperti peluru, meninggalkan Gianluca Pessotto yang menjaganya, dan mengalahkan Zidane—pemain yang mencetak dua gol sundulan di final Piala Dunia 1998—di udara. Bola masuk ke tiang jauh gawang Angelo Peruzzi.
Ia tidak merayakan golnya. Ia hanya tos dengan Jesper Blomqvist, Ronny Johnsen, dan Denis Irwin, sambil langsung berlari ke sisi lapangannya sendiri; tak sabar untuk sepak mula lagi sambil seolah berkata, "Ayo, kita baru mulai!"
"Aku tak bilang itu adalah gol terpenting yang pernah aku cetak. Dari semua gol yang aku bikin, dan aku gak bikin sampai ratusan gol, fans United selalu membahas gol itu, mungkin dari sudut pandang mereka itu [penting]. Pada saat itu, aku tak tahu, itu bisa saja hanya jadi gol hiburan, tapi pada akhirnya berperan kecil membuat kami lolos [ke final]," kata Keane, dikutip dari majalah FourFourTwo.
Keane lalu mendapatkan kartu kuning tak sampai 10 menit setelah gol itu. Kartu kuning itu membuatnya tak bisa tampil di final jika Man United lolos.
"Reaksiku ketika dapat kartu kuning adalah `oh, f**k`. Aku tahu aku akan absen di final," katanya, seolah ia yakin United pasti ke final. "Pada masa lalu aku menyalahkan Jesper Blomqvist karena operannya membuat aku melakukan pelanggaran itu. Ia bisa mengoper lebih baik dari itu. Aku pikir Jesper sempat mengaku dan berkata jika aku seharusnya mengontrol bola lebih baik. Dan kamu tahu? Sejujurnya, ia benar."
Tahu bahwa ia akan absen, itu tak membuat permainannya mengendur. Ia terus mendorong timnya, menginspirasi, memberi contoh dan teladan sebagai kapten, sambil sekaligus menghancurkan mental lawannya.
Peter Schmeichel bermain lebih baik setelah gol itu, begitu juga pemain-pemain lainnya. Para pemain Juventus kehilangan konsentrasi setelah itu. Pada akhirnya United berhasil mencetak dua gol lagi melalui Dwight Yorke dan Andrew Cole. United menang 3-2 dan lolos ke final.
Pada final di Camp Nou, Barcelona, Keane bersama Paul Scholes (yang juga mendapatkan akumulasi kartu kuning di pertandingan semifinal leg kedua) hanya menonton rekan-rekannya melawan Bayern München dari tribun penonton. Saat penyerahan piala, Keane tidak ikut; tidak seperti John Terry. Ketika ia bergabung di akhir perayaan, ia memakai setelan jas; juga tidak seperti John Terry.
"Sejujurnya untuk John Terry, aku pikir kami tak boleh melakukannya saat itu (bergabung di penyerahan piala menggunakan setelan seragam pemain). Tapi aku tak mengkritik pemain kalau melakukan itu. Apakah aku akan merasa nyaman merayakan menggunakan setelan seragam pemain jika aku tak bermain? Tidak, mungkin tidak. Aku memakai setelan jas ketika kami merayakannya pada 1999, tapi itu setengah jam setelahnya. Aku dan Scholesy sedang menunggu di ruang ganti dan anak-anak ingin kami keluar dan bergabung."
"Sangat sulit menjadi penonton di final. Dari lubuk hati terdalam aku pikir kami bakal bermain di beberapa final Liga Champions lagi, jadi aku terus mengatakannya kepada diriku sebagai hiburan [karena tak bermain di final 1999], tapi sayangnya itu tak pernah terjadi," kata Keane.
Apa yang Roy Maurice Keane rasakan di final mungkin adalah momen paling mengesalkan sepanjang hidupnya. Namun berkat peran, semangat, dan karakternya lah United bisa bermain di final Liga Champions 1999. Sir Alex Ferguson mengakuinya dalam otobiografinya.
"Aku tak berpikir aku bisa memiliki pendapat yang lebih tinggi dari pesepakbola mana pun dari yang sudah kumiliki dibandingkan dengan pemain Irlandia itu, tetapi [pengaruh] dia semakin meningkat dari perkiraanku saat di Stadio delle Alpi. Begitu ia dikartu kuning dan tak bisa bermain di final, ia tampaknya melipatgandakan usahanya untuk mengirimkan tim ini ke final itu. Itu adalah tampilan paling tegas dari sikap tak mementingkan diri sendiri yang pernah kulihat di lapangan sepakbola. Berdebar-debar di atas setiap helai rumput, bertanding seolah-olah dia lebih baik mati karena kelelahan daripada kalah, dia mengilhami semua di sekitarnya. Aku merasa, itu adalah sebuah kehormatan bisa dikaitkan dengan pemain seperti itu."
Apa pun yang terjadi kepada Keane dan Ferguson setelahnya, tak membuat pernyataan Ferguson di atas berubah sama sekali. Momen itu, dan paragraf di atas, adalah yang paling mencerminkan Roy Keane. Karakter, pemimpin, teladan. Tiga hal yang seringnya adalah omong kosong di sepakbola saat ini.
Komentar