Salah satu kesalahan terbesar Luiz Felipe Scolari saat menangani Tim Nasional Brasil adalah tidak pernah memanggil Deco. Scolari mengakuinya sendiri. Namun dia cukup beruntung. Ketika peluang untuk menyertakan Deco ke Tim Nasional Portugal terbuka, Scolari bergerak cepat—bahkan walau keputusannya memecah Portugal (negara, bukan tim nasional) menjadi dua dan mendapat penolakan dari Luis Figo, kapten tim sekaligus legenda tim nasional.
Graeme Souness tidak seberuntung Scolari. Dia menyia-nyiakan bakat Deco satu kali dan tak pernah mendapat kesempatan untuk menebus kesalahannya. Pengambilan keputusan yang keliru merugikan Benfica.
Anderson Luis de Souza lahir di Sao Bernardo do Campo, Brasil, 27 Agustus 1977. Di usia 19 sang pemain hijrah ke Portugal setelah Benfica menebusnya dari Centro Sportivo Alagoano. Alih-alih berseragam merah klub ibu kota, Deco langsung dibawa ke Alverca untuk menjalani masa pinjaman selama semusim. Pada 1998 Deco dilepas ke klub divisi kedua, Salgueiros.
“Kenapa kamu meninggalkan Benfica di usia yang sangat muda ketika kamu bisa bertahan dan menjadi legenda di sana?” tanya Nuno Gomes, rekan Deco di Tim Nasional Portugal, pada 2015.
“Benfica yang memutuskan,” jawab Deco. “Itu bukan keputusanku. Mereka tidak menginginkanku. Pelatihnya Graeme Souness saat itu. Aku masih muda dan Benfica membutuhkan beberapa pemain [berpengalaman].”
Souness tidak melihat apa yang dilihat Toni, pemandu bakat yang menemukan Deco untuk Benfica. Souness tidak melihat seorang playmaker muda yang mampu menyayat barisan pertahanan lawan dengan umpan terukur, yang mampu membongkar pertahanan lawan dengan pergerakan cerdas.
FC Porto dengan senang hati, pada 1999, mengambil Deco dari divisi kedua. Namun semuanya tidak seketika menjadi baik-baik saja untuk sang pemain. Di Porto, Deco baru bisa bahagia setelah Jose Mourinho menduduki kursi kepala pelatih. Di bawah arahan Mourinho, Deco menjadi pemain yang lebih lengkap. Bermain di belakang dua penyerang, Deco tetap pemain nomor 10 yang diberi kebebasan berkreasi. Namun kepadanya pula dibebankan tugas bertahan dan pemahaman taktik yang lebih mendalam.
Deco dengan baik menjalankan perintah Mourinho karena pada dasarnya dia seorang pekerja keras. Dia bukan pemain box-to-box tapi tidak pernah lelah meminta bola ke sana ke mari, melibatkan diri sebanyak mungkin di sana-sini. Kemampuan olah bola dan kreativitas yang dibarengi kemauan bekerja keras membuat Deco menjadi pemain kunci dalam keberhasilan Porto menjuarai Piala UEFA 2003 dan Liga Champions 2004.
Setelah Porto, Deco membela Barcelona. Sang pemain bisa saja memilih Chelsea demi kesempatan bermain yang lebih pasti, mengingat Mourinho meninggalkan Porto di musim panas yang sama dengannya. Namun Deco lebih memilih untuk bergabung dengan klub idolanya semasa kecil, klub yang tidak punya tempat untuk peran nomor 10.
Deco, toh, baik-baik saja. Dia memang bermain lebih ke dalam walau tidak memainkan peran deep-lying playmaker, tapi pengaruhnya sama besar dengan saat dirinya masih menjalankan tugas pengatur serangan Porto. Deco tetap penjaga aliran bola dengan umpan-umpan pendek dan pasti, tetap pengatur serangan dengan umpan-umpan kunci dan pergerakan tanpa henti.
Semua kemampuan dan pengalaman yang dikumpulkannya sejak pertama kali menyepak bola membantunya sukses di Barcelona. Dua tahun sejak mengangkat tinggi Si Kuping Besar sebagai pemain Porto, Deco menjuarai Liga Champions Eropa bersama Blaugrana. Persembahannya untuk Barcelona, walau demikian, bukan itu saja.
“Aku belajar banyak darinya, begitu juga dengan banyak rekanku yang lain,” ujar Lionel Messi.
Komentar