Ke mana pun Erik ten Hag pergi, ke FC Twente dia akan kembali. Di masa depan nanti, bukan tak mungkin Ten Hag akan ke Twente lagi. Namun untuk saat ini dia fokus di Ajax Asterdam.
Masuk akal jika Ten Hag memulai kariernya sebagai pesepakbola di Twente. Klub yang cukup besar dan dekat dengan tempat kelahirannya adalah Twente. De Graafschap hanya seperti tempat singgah sementara, karena setelah dua tahun Ten Hag kembali ke Twente. Pindah ke RKC Waalwijk lalu FC Utrecht, pada akhirnya Ten Hag kembali lagi ke Twente, seperti tak mungkin baginya meninggalkan Twente lebih dari dua tahun.
Di Twente dia mengakhiri kariernya sebagai pesepakbola. Di klub yang sama dia memulai karier sebagai pelatih. Pekerjaan pertamanya di dunia kepelatihan adalah asisten Fred Rutten. Tiga tahun peran tersebut dia jalani—dari Juli 2006 hingga Juni 2009. Ketika Rutten pindah ke PSV, Ten Hag turut serta. Tempat baru, jabatan lama, durasi yang sedikit berbeda—dari Juli 2009 hingga Maret 2012.
Berikutnya Ten Hag tak lagi menjadi asisten Rutten. Per Juli 2012 dia menangani Go Ahead Eagles, namun hanya setahun saja. Hasil kerjanya di divisi dua Liga Belanda menarik perhatian Bayern Munchen, yang menginginkan Ten Hag menangani Bayern Munchen II di divisi empat Liga Jerman. Bersamaan dengan dimulainya masa kepelatihan Pep Guardiola di tim utama, Ten Hag mulai bekerja sebagai kepala pelatih Bayern II.
Bekerja di bawah Guardiola membangkitkan semangat Ten Hag. “Setiap hari aku bisa bekerja dengannya, aku selalu menantikan [kerja],” ujar Ten Hag pada 2014. “Dia menginspirasi.”
Namun Ten Hag pamit lebih dulu. Sementara Pep baru meninggalkan Bayern di akhir musim ketiga, Ten Hag pulang ke Belanda setelah musim kedua. Walau demikian, dia tidak pergi begitu saja. Sebelum meninggalkan Bayern, Ten Hag sudah mempersembahkan gelar juara Regionalliga musim 2013/14.
FC Utrecht menjadi klub pertama yang merasakan Ten Hag baru, Ten Hag yang sudah menyelesaikan “kuliah sepakbola Guardiola”. Hasilnya cukup memuaskan. Ten Hag berhasil membawa Utrecht, yang tidak cukup kuat secara finansial, menduduki posisi lima di musim pertamanya (dan lolos ke final Piala KNVB). Pada musim berikutnya, Utrecht mengakhiri musim satu posisi lebih tinggi.
Di bawah arahan Ten Hag, Utrecht begitu fleksibel secara taktik. Mengejutkan bagaimana sebuah tim medioker dari liga medioker dengan pemain-pemain medioker mampu menjalankan tugas yang normalnya hanya mampu dipenuhi pemain-pemain elite. Namun jika mengingat pelatih mereka adalah Ten Hag, hal ini menjadi tidak begitu mengherankan.
Pendekatan Ten Hag di level pemain terhitung mengesankan. Dia pemerhati yang baik, dan dapat menilai para pemain bahkan dari cara mereka bereaksi terhadap kesalahan. Mengandalkan hasil pengamatan ini, Ten Hag menentukan pendekatan terbaik untuk setiap pemain. Dengan mengenal setiap pemainnya pula Ten Hag menentukan siapa cocok bermain dengan siapa dalam sistem apa.
“Di Belanda, mengadaptasi sistem 4-3-3 hampir setara dengan penodaan agama, tapi Ten Hag menggunakan sistem-sistem berbeda sebagai senjata,” kata Urby Emanuelson, pemain Utrecht. “Dia melakukan apa yang Pep lakukan. Dia mengubah banyak hal, menentang keyakinan, dan menginginkan para pemain mampu tampil fleksibel. Barcelona, Manchester City, dan Bayern melakukannya. Mereka memainkan tiga atau empat sistem berbeda, kadang dalam satu pertandingan.”
Setengah tahun saja Emanuelson merasakan bekerja di bawah arahan Ten Hag, tapi opininya valid karena dia berpengalaman ditangani banyak pelatih top semasa menjadi pemain Roma, Milan, dan Ajax. Setengah tahun saja Ten Hag menangani Emanuelson karena pada Desember 2017, Ten Hag pindah ke Ajax.
Setengah tahun tak cukup waktu untuk memperbaiki kekacauan di Ajax, tapi kerja Ten Hag terhitung cukup baik dengan mampu membawa Ajax menduduki posisi dua Eredivisie 2017/18 dan meloloskan timnya ke Liga Champions UEFA musim ini. Menangani klub yang lebih besar pun membawa keuntungan tersendiri bagi Ten Hag. Rataan poinnya dalam 31 pertandingan (sejauh ini) bersama Ajax—2,39—lebih baik dari catatannya semasa menangani Utrecht, Bayern II, maupun Go Ahead Eagles. Tinggal masalah waktu hingga poin-poin tersebut menghasilkan trofi.
Komentar