Sebuah laman berita daring menyebutkan bahwa bek kiri andalan Tim Nasional Indonesia yang diproyeksikan untuk Piala AFF, Rezaldi Hehanusa, mengalami cedera. Dokter timnas menjelaskan bahwa Rezaldi mengalami cedera tumit yang mengharuskan dirinya mendapatkan tindakan operasi. Jika operasi jadi dilakukan, dibutuhkan minimal 3 bulan untuk proses penyembuhan.
Rezaldi sendiri sebelumnya tidak mengalami benturan atau terkilir. Oleh karenanya, sebagian pencinta sepakbola mungkin heran tentang sebenarnya cedera apa yang dialami Rezaldi, apalagi hingga harus dioperasi.
Nyatanya cedera yang dialami Rezaldi ini cedera yang cukup serius. Bahkan sebenarnya cedera yang dialami Rezaldi ini bisa juga dialami oleh masyarakat umum, khususnya yang sangat rajin berolahraga. Karenanya saya di sini ingin mengedukasi para pembaca untuk bisa meminimalisasi cedera serius seperti yang dialami Rezaldi.
***
Setelah saya membaca berita tentang cedera Rezaldi, saya langsung berdiskusi dengan Dokter Tim Persija, Donny Kurniawan. Menurutnya Rezaldi sudah mengeluh nyeri pada tumitnya sejak musim lalu. Cedera tumit inilah yang kemudian divonis dokter timnas dengan calcaneus spur.
Calcaneus spur termasuk jenis penyakit kategori pengapuran sendi atau biasa disebut osteoarthtritis, namun terletak di area tumit di mana tulang tumit —dalam bahasa medis disebut calcaneus— sedangkan spur berarti tulang tumbuh. Osteoarthtritis yang ditandai munculnya spur ini sebenarnya tidak hanya dapat terjadi di tulang tumit saja, melainkan dapat terjadi di beberapa tulang yang menyusun sendi pergelangan kaki.
Pengapuran sendi sendiri merupakan suatu jenis penyakit degeneratif, maksudnya penyakit yang sering terjadi akibat proses penuaan usia—rata-rata terjadi pada usia di atas 60 tahun. Namun penelitian terbaru menyebutkan pengapuran sendi ini sudah banyak terjadi kepada seseorang yang berusia 40 tahun ke atas. Perempuan punya rasio lebih tinggi mengalami penyakit ini daripada laki-laki dengan rasio 1,7 : 1.
Penyebab utama secara pasti dari penyakit OA ini sebenarnya tidak begitu jelas, namun dari penjelasan beberapa pakar kesehatan dapat disimpulkan bahwa OA muncul akibat adanya pembebanan yang tinggi pada area persendian seperti akibat obesitas, penurunan kekuatan otot (faktor usia), otot yang tidak seimbang, riwayat kecelakaan, hingga aktivitas berat (olahraga atau pekerjaan yang membutuhkan posisi berjongkok, squat, dengan mengangkat beban) yang dilakukan berulang-ulang dalam waktu yang lama (akumulatif).
Dua alasan terakhir di atas bisa menjadi jawaban mengapa pengapuran terjadi secara dini, yaitu pada usia di bawah 40 tahun bahkan pada usia yang masih di sekitaran 20 tahun.
Menurut studi Kohort Framingham, kasus pengapuran sendi ini mempunyai angka prevalensi/angka kejadian pada tangan sebesar 6,8%, lutut 4,9 %, dan panggul 4,3%. Sedangkan menurut study Johnston Country Osteoarthtritis Project (JCOP), kasus OA ditemukan sebanyak 16,7% pada lutut dan 9% pada sendi panggul.
Jadi secara normal, jika mengacu dua penelitian di atas, kasus OA ini sangat jarang sekali terjadi pada area pergelangan kaki atau tumit. Namun kenyataan di lapangan banyak kasus pengapuran pada pergelangan kaki ini bahkan tidak sedikit dialami oleh seseorang dengan usia di bawah 40 tahun. Kebanyakan yang mengalami pengapuran usia dini ini adalah para atlet hingga masyarakat pegiat aktif olahraga.
***
Nah, saya ingin mencoba menjawab mengapa kasus OA pada area pergelangan kaki ini dapat terjadi pada usia dini, terutama pada atlet atau masyarakat dengan olahraga aktif.
Selama saya menangani atlet terutama atlet sepakbola, basket, dan bulu tangkis (olahraga yang rentan mengalami cedera pergelangan kaki) hampir sebagian besar yang mengalami cedera pergelangan kaki kronis atau cedera pergelangan kaki berulang diindikasikan mengalami pengapuran sendi.
Untuk masyarakat umum, melihat lapangan latihan yang keras, itu bisa memengaruhi beban pada sendi terutama engkel, sehingga jadi penyebab tidak langsung pengapuran pada sendi.
Sementara untuk yang dialami para atlet, mereka mengalami pengapuran sendi karena terburu-buru come back berolahraga bahkan untuk bertanding di sebuah pertandingan yang kompetitif. Padahal ada tiga fase dalam penyembuhan cedera.
Yang pertama adalah fase akut/inflamasi. Pada fase ini ada respons protektif dari tubuh untuk mencegah kerusakan yang lebih parah, biasanya muncul tanda seperti nyeri, bengkak dan kelemahan fungsional.
Pada fase kedua atau biasa disebut fase sub akut terjadi yang namanya proliferasi, perbaikan dan penyembuhan. Pada fase ini sel -sel baru mulai mengganti sel-sel yang rusak untuk menyusun kembali jaringan agar menjadi sehat atau normal, biasanya ditandai dengan bengkak berkurang, nyeri juga mulai banyak berkurang, namun nyeri masih dirasakan bersamaan ketika diberi pembebanan. Namun yang perlu diperhatikan pada fase kedua ini adalah jaringan baru yang sudah tersusun belum sepenuhnya kuat seperti jaringan awal sebelum terkena cedera atau kerusakan, sehingga sangat rentan mengalami kerusakan kembali jika diberikan aktivitas kerja atau pembebanan yang berat.
Sedangkan pada fase ketiga atau fase kronik, jaringan baru sudah mulai kuat namun belum begitu elastis dan stabil, dalam fase ini ditandai dengan hilangnya bengkak, nyeri muncul di akhir aktivitas pembebanan kerja.
Pada banyak kasus, atlet kita terlalu dini melakukan latihan pembebanan padahal, seringnya, proses penyembuhan masih ada di fase kedua atau fase sub-akut. Ini terjadi karena mayoritas melihat bengkak sudah berkurang dan nyeri juga mulai berkurang sehingga atlet kita langsung melakukan latihan berat yang sebenarnya justru bisa menimbulkan kerusakan pada jaringan yang baru saja terbentuk.
Atlet tersebut sudah melakukan jogging ringan, padahal selama jogging tetap merasakan nyeri. Mungkin memegang teguh prinsip No Pain, No Gain! padahal pain yang muncul ini merupakan salah satu tanda dari tubuh kita jika ada sesuatu yang tidak baik sedang terjadi dalam tubuh kita, dalam hal ini rusaknya kembali jaringan yang baru saja terbentuk karena sudah dipaksa melakukan latihan.
Jika hal itu dipaksakan hingga fase ketiga, maka perbaikan jaringan sendi akan gagal sehingga jaringan menjadi tidak berfungsi dengan baik dalam menopang persendian untuk stabil karena adanya peningkatan tekanan di area sendi. Peningkatan ini tentunya membuat tulang rawan area sendi mengalami gesekan kerana jaringan dalam hal ini ligamen tidak mampu berfungsi optimal sebagai stabilisator pasif sendi, yaitu menciptakan space/ruang yang cukup antara tulang yang satu dengan yang lainnya sehingga antar tulang saling bergesekan/bertumbukan langsung dan mengakibatkan kerusakan, terutama pada tulang rawan dan kapsul. Jika ini diteruskan hingga fase ketiga maka lama-kelamaan tulang rawan akan mengalami kerusakan yang sangat parah.
Untuk mengurangi tekanan pada sendi, tubuh kita merespons dengan cara menambah luas area tulang dan memunculkan tulang baru. Namun sayangnya tulang baru yang muncul ini berbentuk seperti duri dan tidak sekokoh tulang asli pada tubuh manusia, karena pada dasarnya tulang tersebut bukan tulang bawaan dari lahir. Bentuknya yang seperti duri justru akan menusuk atau melukai jaringan yang melewatinya, dalam hal ini adalah otot, ligamen, dan kapsul. Otot yang melewati akan tergesek oleh duri tersebut dan mengalami luka/iritasi sehingga menjadi peradangan.
Selain menambah luas permukaan tulang, untuk mengurangi beban tekanan, sendi memaksa otot untuk bekerja lebih kuat dari biasanya guna tetap menjaga kestabilan sendi. Bila itu terjadi dalam waktu yang lama, otot akan mengalami kelelahan hingga menjadi rusak.
Kedua perubahan itu menimbulkan nyeri yang cukup hebat sehingga dapat menyebabkan gangguan aktivitas fungsional seperti berjalan bahkan berlari sehingga tidak mampu digunakan untuk berolahraga.
Dari penjelasan di atas, dapat dipelajari bahwa jangan pernah terburu-buru melakukan latihan penguatan atau pembebanan yang mengakibatkan munculnya nyeri jika memang belum waktunya (latihan penguatan maksimal diberikan pada fase kronik), meski rasa nyerinya mampu ditahan selama latihan. Karena dalam cedera olahraga, sembuh tidak hanya didapat dari hilangnya rasa nyeri, tapi ada tes-tes fungsional yang harus dilalui, seperti tes kekuatan otot, tes elastisitas otot, tes stabilitas, tes keseimbangan, dan lain-lain. Ini semua dilakukan agar sang atlet/olahragawan dapat kembali berolahraga dengan kemampuan optimal.
Risiko yang terjadi jika Anda memaksakan diri adalah Anda akan membutuhkan waktu yang lebih panjang untuk penyembuhan cedera. Meski atlet sudah dapat berlatih, namun jika selama seminggu latihan bersama tim tetap masih ada rasa nyeri, rasa tidak nyaman, pegal hingga kekakuan, sebenarnya itu merupakan indikasi bahwa sang atlet tidak 100% siap untuk diturunkan dalam pertandingan resmi. Risiko berolahraga dengan tidak dalam kondisi performa 100% adalah Anda merasa sembuh dari cedera pergelangan kaki namun karena proses penyembuhannya tidak tuntas maka pergelangan kaki Anda masih mengalami yang namanya instability.
Dengan kondisi seperti itu, sebenarnya bisa saja sang atlet tetap berolahraga dengan intensitas tinggi. Tapi sebenarnya, jika sang atlet mengikut fase penyembuhan secara benar, tidak melompati salah satu fase, sang atlet sebenarnya bisa mencapai kemampuan maksimal lebih baik dari saat ia menjalani latihan ketika masih mengalami rasa nyeri walau sedikit. Lebih parah, tentu seperti yang dialami Rezaldi Hehanusa, ketika cedera tiba-tiba datang dan ternyata cedera tersebut menjadi lebih buruk dari sebelumnya.
Penulis adalah fisioterapis profesional yang saat ini bekerja untuk PSS Sleman. Ia juga merupakan pemilik @clinic.one physiotherapy di Sleman.
Komentar