Oleh: Fauzan Muzakir
Tahun 2018 ini bisa disebut sebagai tahun yang cukup sibuk untuk persepakbolaan Indonesia, terutama untuk tim nasionalnya. Banyaknya agenda turnamen kejuaraan yang telah dan akan diikuti oleh timnas Indonesia, dari berbagai kelompok umur, jadi penyebab utama.
Timnas senior Indonesia dijadwalkan akan berlaga di Piala AFF akhir tahun ini. Kompetisi ini menjadi penting karena merupakan ajang resmi yang diakui FIFA sehingga berpengaruh terhadap peringkat Indonesia di ranking FIFA, walau hanya senilai laga persahabatan A internasional (sebelumnya tidak dihitung).
Sebelumnya, Asian Games yang dihelat Agustus lalu diikuti timnas U-23. Seperti yang kita ketahui, langkah timnas U-23 terhenti di babak perdelapan final setelah kalah adu penalti melawan Uni Emirat Arab. Untuk timnas U-19 dan U-16, ada dua ajang besar yang sedang dan telah diikuti, yaitu Piala AFF dan Piala Asia.
Target yang dipatok PSSI, melalui sang ketua, sekaligus Gubernur Sumatera Utara terpilih, Edy Rahmayadi, terbilang tinggi. PSSI mematok gelar juara Piala AFF untuk timnas senior, lolos ke semifinal Asian Games, serta target tembus Piala Dunia untuk timnas U-19 dan U-16.
Untuk mencapai target tersebut, berbagai persiapan dilakukan oleh staf kepelatihan. Mulai dari training camp, uji tanding, hingga seleksi dan pemanggilan pemain baru. Kondisinya saat ini masih ada yang tengah berproses seperti timnas senior dan timnas U-19, ada pula yang sudah dipastikan gagal seperti timnas U-16 dan timnas U-23.
Menjelang Piala AFF 2018, pemanggilan pemain baru cukup sering memunculkan pro dan kontra di kalangan publik. Apalagi ketika tim pelatih memutuskan memanggil pelatih yang tidak lahir di Indonesia alias pemain naturalisasi. Gara-gara ini, kerap terdengar pertanyaan, apakah tidak ada potensi lokal yang mampu mengisi slot di tim nasional?
Terbiasa Sejak Piala AFF 2010
Indonesia mulai menggunakan jasa pemain asing melalui sistem naturalisasi pemain sejak 2010. Cristian Gonzales dan Kim Jeffrey Kurniawan adalah dua pemain yang pertama kali melakukan proses naturalisasi ini. Saat itu diharapkan pemain-pemain ini memberi andil lebih untuk timnas dalam ajang Piala AFF 2010.
Hasilnya cukup baik. Karena selain Indonesia meraih posisi runner-up, Gonzales juga berhasil menjadi salah satu pencetak gol terbanyak untuk Indonesia di ajang tersebut dengan torehan tiga gol, bersama M. Ridwan. Sejak saat itu, prospek naturalisasi mulai terlihat cerah.
Akan tetapi pada kisaran 2011-2015, pemain-pemain yang dinaturalisasi tidak banyak memberi andil untuk timnas. Bahkan ada beberapa pemain yang hilang begitu saja, entah kemana kelanjutan kariernya. Sebut saja Tonnie Cusell, Ruben Wuarbanaran, serta Jhonny van Beukering. Kepentingan naturalisasi pemain pun mulai dipertanyakan. Untuk apa naturalisasi? Apakah sistem pembinaan di Indonesia tidak berjalan baik?
Tergantung Tujuannya
Sebetulnya, proses naturalisasi ini bisa berdampak baik juga buruk bergantung pada tujuan utama. Apakah naturalisasi ini dilakukan semata untuk timnas atau karena alasan yang lain.
Jika menilik tujuan awal naturalisasi, ada beberapa hal positif yang bisa diambil. Naturalisasi membuat pemain-pemain keturunan Indonesia yang lahir dan berkarier di luar negeri memiliki kesempatan yang sama untuk membela timnas Indonesia. Harapannya para pemain tersebut punya kualitas seperti Ruud Gullit dan Giovani van Bronckhorst pada masa lampau atau Radja Nainggolan, Emil Audero Mulyadi, hingga Kevin Diks pada masa kini. Ada pula yang sudah memberikan kode ingin bermain untuk timnas Indonesia, seperti Sandy Walsh.
Bukan hanya Indonesia yang coba memaksimalkan pemain keturunan. Di Asia Tenggara, Filipina mulai membaik prestasinya berkat suntikan tenaga pemain naturalisasi. Di negara besar seperti Spanyol pun terdapat Diego Costa (lahir di Brasil), walaupun bedanya mereka bisa mengantongi dua paspor (di Indonesia harus memilih paspor Indonesia atau paspor negara kelahirannya).
Naturalisasi sejatinya juga punya beberapa dampak buruk. Pertama, umumnya pemain naturalisasi dipilih karena diklaim kualitasnya lebih baik. Untuk beberapa posisi, Indonesia memang kekurangan pemain. Tengok saja pada gelaran Liga 1 2018, di mana semua klub peserta Liga memanfaatkan stok pemain asing untuk posisi penyerang di starting line-up mereka.
Hal ini terjadi dikarenakan mayoritas pelatih mengklaim striker asing lebih siap tanding dibandingkan striker lokal, yang membuat striker lokal jarang mendapat kesempatan bermain. Akibatnya muncul krisis penyerang timnas Indonesia saat ini, yang bahkan kata pelatih Rahmad Darmawan, dikutip dari CNN Indonesia, krisis ini sudah mulai ada sejak 2013, ketika Rahmad Darmawan melatih timnas U-23 untuk ajang SEA Games di Myanmar.
Dampak buruk kedua adalah masa bakti yang tergolong singkat dan terkesan percuma. Ini terjadi karena mereka dinaturalisasi ketika usianya lebih dari 30 tahun, seperti Gonzales, Sergio Van Dijk, Victor Igbonefo, Beto Goncalves, dan Esteban Vizcarra.
Ketiga, yang lebih parah lagi, naturalisasi ini dimanfaatkan oleh klub-klub peserta Liga 1 untuk mengakali regulasi pemain asing. Saat ini diatur tiga pemain asing non-Asia dan satu pemain Asing dari Asia. Disadari atau tidak, pemain lokal akan kesulitan mendapatkan tempat di skuat karena orientasi klub Indonesia hanya mengincar gelar juara, bukan untuk menciptakan pemain-pemain berkualitas untuk masa yang akan datang.
Yang bisa saya simpulkan dan sarankan di sini, bahwa naturalisasi adalah satu hal yang positif, untuk menambah aroma kompetisi internal dalam proses seleksi pemain timnas, agar timnas kita akan menjadi kuat. Dengan catatan, pemain yang dinaturalisasi sedianya memiliki prospek cerah (di bawah 25 tahun kalau bisa).
Untuk klub, di samping mengandalkan pemain naturalisasi, regenerasi pemain-pemain masa depan timnas sebagai proyek jangka panjang tetap perlu diperhatikan. Memikirkan masa depan sepakbola Indonesia pun menjadi tugas klub, jangan menaturaliasi pemain demi bisa menambah stok pemain asing karena hanya memikirkan gelar juara kompetisi saja (proyek jangka pendek).
Buat pemain lokal, tetap berlatih dan selalu berlatih. Maksimalkan penampilan di latihan klub ataupun pertandingan kompetisi liga Indonesia. Jangan turunkan etos kerja begitu saja, karena sebelum keputusan resmi pelatih, siapa yang akan dibawa untuk kejuaraan tertentu, kesempatan dipilih adalah sama.
Penulis bernama lengkap Fauzan Muzakir. Bisa dihubungi melalui akun Twitter di @jakiro_ogawa
Tulisan ini merupakan hasil kiriman penulis melalui kolom Pandit Sharing. Segala isi dan opini yang ada dalam tulisan ini merupakan tanggung jawab penulis.
Komentar