Oleh: Robby Triadi*
Kemenangan 1-0 Manchester City atas Tottenham Hotspur pada Selasa (30/10) dini hari WIB membuat The Citizens kembali ke puncak klasemen. Keberhasilan menang tanpa kebobolan melanjutkan tren positif menjadi enam pertandingan tanpa kebobolan. City kini mengukir rekor baru sebagai kesebelasan yang paling sedikit kebobolan di 10 pertandingan pertama dalam satu musim Liga Primer.
Rekor impresif pertahanan City tidak didapat dengan mudah. Mengeluarkan uang ratusan juta paun untuk mendatangkan empat bek musim lalu merupakan salah satu fokus perbaikan Pep Guardiola di musim keduanya. Pep menyingkirkan nama-nama pemain yang lebih senior macam Pablo Zabaleta, Aleksandar Kolarov, dan Gael Clichy yang memasuki usia uzur. Pep menggantinya dengan Kyle Walker, Aymeric Laporte, dan Benjamin Mendy. Terbukti mereka berhasil membantu City menjuarai Liga dan Piala Liga musim lalu. Selain tiga nama tadi tengah berada di usia puncak pesepakbola yang memerlukan fisik prima, kemampuan mereka memainkan bola dari lini belakang juga merupakan keharusan untuk memenuhi filosofi sepakbola a la Guardiola.
Pencarian duet lini belakang City tak pernah menemukan ujungnya. Bertahun-tahun beberapa pemain didatangkan untuk menemani Kompany. Dari mulai Joleon Lescott, Matija Nastasic, Martin Demichelis, Eliaquim Mangala, sampai akhirnya datang Otamendi yang berhasil menjadi sosok yang dapat diandalkan. Namun seiring menuanya usia Kompany serta permainan Otamendi yang terkadang ceroboh, City merasa perlu mendatangkan bek baru.
John Stones adalah rekrutan bek tengah pertama Pep. Dibeli dengan harga lebih dari 50 juta paun, Stones diyakini publik akan mengalami kegagalan. Pemain yang dicap sebagai Franz Beckenbauer dari Barnsley ini diyakini Pep sebagai pemain yang bisa memainkan bola dari lini belakang.
Asumsi publik sepertinya terbukti di musim pertamanya bersama City. Sering melakukan kesalahan elementer membuatnya menjadi bulan-bulanan. Di musim keduanya, ia mulai menemukan performa lebih baik dan menjadi pemain inti berduet dengan Otamendi. Lalu, cedera datang dan menempatkannya di belakang Kompany dan Laporte. Laporte sendiri didatangkan pada jendela transfer musim dingin musim lalu dan langsung bisa beradaptasi dengan kultur sepakbola Inggris.
Pep adalah pelatih yang selalu mendukung Stones. Bahkan dalam sebuah wawancara setelah pertandingan ia memuji Stones sebagai orang yang paling berani dibanding dengan keberanian semua orang yang hadir di sesi wawancara tersebut, saat ditanya apakah ia masih tetap ingin bermain dari lini belakang dan memainkan Stones.
Tersisih dari tim utama City tak membuat Stones dikesampingkan Gareth Southgate di Timnas Inggris. Namanya tetap masuk skuat tim nasional Inggris di Piala Dunia dan menjadi andalan utama bersama Harry Maguire dan rekan seklubnya, Walker. Sekembalinya ke City di musim ketiganya, Stones langsung memberi penampilan meyakinkan. Sosoknya semakin matang di lini belakang. Kemampuannya membaca permainan semakin terasah bahkan Pep mulai sering mencobanya di posisi-posisi yang tidak familiar seperti bek kanan bahkan gelandang bertahan.
Laporte merupakan bek idaman Pep yang paling ideal. Sebelum merekrut Stones, Laporte adalah target utamanya. Setelah setuju mengenai harga dengan Athletic Bilbao, Laporte memutuskan untuk bertahan di klub lamanya, sebelum akhirnya bergabung Januari lalu. Kemampuan Laporte untuk mengolah bola dan melambungkan bola ke dua sisi lapangan sama baiknya, menjadi indikator penting bagi Pep yang begitu menggilai penguasaan bola. Adaptasinya terhadap sepakbola Inggris dimulai perlahan. Bergantian diduetkan dengan Kompany dan Otamendi, Laporte bisa mengimbangi permainan dua kompatriotnya sampai ia harus diduetkan dengan Stones yang tidak berusia jauh darinya untuk tampil di Piala FA melawan Wigan dan City harus menyerah dengan skor 0-1.
Semenjak kekalahan dari Wigan musim lalu, duet Stones dan Laporte baru dimainkan lagi di laga Community Shield melawan Chelsea. Hasilnya cukup memuaskan. City menang 2-0. Kerja sama keduanya berlanjut di laga pembuka melawan Arsenal dan berakhir dengan skor sama.
Semakin padunya Stones-Laporte membuat City sering memainkan mereka bersamaan secara reguler. Dalam 4 pertandingan terakhir saja City hanya mendapat 4 tendangan mengarah ke gawang. Bahkan dalam 10 pertandingan awal City hanya mendapat 17 tendangan ke gawang.
Duo Stones dan Laporte juga berhasil membuat kombinasi Pierre-Emerick Aubameyang dan Alexandre Lacazette (Arsenal) serta trio Mohamed Salah, Sadio Mane, dan Roberto Firmino (Liverpool) juga Harry Kane (Tottenham) hanya mampu melepas satu tembakan ke gawang.
Sepertinya City sudah menemukan jawaban atas masalah di tengah lini belakang mereka. Jangan lupakan juga bahwa dulu Sir Alex Ferguson pernah berkata “Kehebatan menyerang memenangkan pertandingan, kehebatan pertahanan memenangkan gelar”.
Apakah pertahanan City kini bisa melenggangkan ambisi untuk memenangi gelar?
*Penulis merupakan karyawan swasta. Bisa dihubungi lewat akun Twitter di @robtriadi
****Tulisan ini merupakan hasil kiriman penulis melalui kolom Pandit Sharing. Segala isi dan opini yang ada dalam tulisan ini merupakan tanggung jawab penulis.
Komentar