Sebuah pertemuan historis terjadi pada 5 November 1986 di sebuah rumah di kawasan Bishopbriggs, dekat Glasgow. Pada Rabu malam itu, ditemani api unggun, Alex Ferguson menjalin kesepakatan verbal dengan manajemen Manchester United. Keesokan harinya, ia resmi mengawali perjalanan 32 tahun yang menjadikannya sebagai manajer Britania Raya tersukses sepanjang masa.
"Kami sudah membuat keputusan sebelum bertemu dengannya malam itu. Merekrut Sir Alex adalah sebuah keputusan yang disepakati seluruh manajemen," kata Martin Edwards, CEO Manchester United yang menjabat ketika itu, kepada BBC pada 2011.
Edwards tidak melebih-lebihkan. Manchester United memang telah gencar dikabarkan ingin Ferguson menjadi manajer sejak beberapa bulan sebelum peresmian oleh media-media lokal. Ketertarikan itu bahkan bisa mulai dilacak sejak dua tahun sebelumnya, tepatnya ketika Gordon Strachan hijrah dari Aberdeen menuju Stadion Old Trafford.
Semua berawal dari keputusan Strachan untuk menandatangani kesepakatan pra-kontrak dengan FC Koln menjelang pengujung musim 1984/85. Fergie berang. Ia merasa dilangkahi.
Membuat Ferguson marah artinya ada hukuman. Ia turun tangan langsung, bekerja sebagai negosiator untuk membatalkan transfer Strachan ke Koln dan memilih menjualnya ke Manchester United.
Manchester United, yang diwakili oleh Edwards dan direktur Bobby Charlton, sepakat membayar 500 ribu paun kepada Aberdeen serta tambahan 75 ribu paun kepada Koln sebagai bentuk kompensasi. Kekaguman Manchester United terhadap kemampuan manajerial Fergie pun tumbuh.
Ada satu hal yang selalu membayangi Strachan pada musim pertamanya bersama Manchester United, yakni pertanyaan tentang Ferguson.
"Apa yang Alex lakukan terkait hal ini? Apa yang ia lakukan tentang hal itu?" Kenang Strachan mengulang pertanyaan Edwards seperti yang ditulis dalam Fergie Rises karangan Michael Grant.
Ketertarikan Manchester United terhadap Ferguson tentu bisa dipahami. Sentuhan emasnya membuat Aberdeen punya kekuatan yang setara dengan dua kutub kekuatan dari Glasgow, Celtic dan Rangers. Mereka juga merengkuh satu trofi Piala Winners (mengalahkan Real Madrid) dan satu trofi Piala Super Eropa.
Ferguson sendiri, dalam buku Managing My Life, mengaku bahwa ia pertama kali mendengar ketertarikan Manchester United pada Maret 1986. Menariknya, rumor tersebut justru diketahuinya ketika tengah didekati oleh Arsenal, yang tengah mencari pengganti Donald Howe.
Padahal, `sepik-sepik` pertama baru terjadi pada gelaran Piala Dunia 1986. Sir Bobby Charlton menjadi komentator untuk laga antara Skotlandia dengan Uruguay di Estadio Neza. Ia sempat berbicara dengan Ferguson di pinggir lapangan sebelum laga, sekadar bertanya mengenai ketertarikan Ferguson untuk berkarier di Liga Inggris.
"Mereka (Arsenal) memiliki pemikiran bahwa aku sudah siap untuk bergabung dengan Manchester United," jelas Fergie, terkejut.
Tidak diketahui jawaban Fergie kepada Charlton ketika itu. Yang pasti, ia tidak menjalin kesepakatan dengan Arsenal. Dan, saat menerima telepon dari Manchester United dua tahun kemudian, ia tidak berpikir panjang untuk menerimanya.
"Kami memutuskan agar Mike Edelson (direktur Manchester United) untuk berbicara dengan aksen Skotlandia dan berpura-pura menjadi agen Gordon Strachan, Alan Gordon, yang kenal baik dengan Alex," beber Edwards.
"Jadi, ia berbicara dengan aksen Skotlandia dan sekretaris menyambungkan kepadanya (Ferguson). Mike mengatakan kepada Alex, `Ini bukan Alan Gordon, Martin Edwards ingin berbicara denganmu`," tutur dirinya.
Hanya istri Ferguson, Cathy, dan asistennya, Archie Knox, yang mengetahui hal ini.
"Ia datang, membunyikan klakson dan aku menghampirinya. Ia mengatakan, `Kita akan bergabung dengan Manchester United`...Itulah semuanya. Tanpa diskusi. Tanpa agen. Tanpa pembicaraan mengenai besaran jumlah (gaji) yang akan kami terima," ucap Knox, yang tengah melatih tim cadangan dan tim muda Aberdeen ketika dikunjungi Ferguson, beberapa jam sebelum bertemu manajemen Manchester United.
Pertemuan bertempat di rumah ipar Ferguson. Tawaran gaji dari Manchester United sebenarnya mengecewakan, tidak lebih dari total gaji dan bonus yang diterima di Stadion Pittodrie. Namun, tekadnya sudah bulat: tidak ada destinasi selain M16.
Pada keesokan hari, perwakilan Manchester United bertemu dengan pemilik Aberdeen, Dick dan Ian Donald. Dua nama terakhir benar-benar kecewa atas kabar ini, marah kepada Manchester United yang dianggap bermain belakang.
Mereka sempat mencoba menahan kepergian Ferguson, bahkan sampai menawarkan jabatan sebagai pemilik. Lacur, tawaran dari Manchester United lebih menggoda. Di malam tersebut, Ferguson menelepon beberapa pemainnya di Aberdeen, salah satunya adalah Alex McLeish.
"Aku bertanya kepadanya jika ini adalah cheerio (selamat tinggal)," tutur McLeish. Jawabannya adalah iya.
Aberdeen menerima biaya kompensasi sebesar 60.000 Paun dari Manchester United, tetapi Donald tetap merasa tidak ada angka yang mampu "mengevaluasi kehilangan jasanya".
"Tiba-tiba ada sebuah lubang besar di dalam hidup anda," kata gelandang John McMaster. Sementara, bek Stewart McKimmie mendeskripsikan kepergian Ferguson seperti "sebuah kematian anggota keluarga".
Dari Govan, Ke Trafford
Alasan utama Ferguson pindah ke Manchester United adalah tentang peluang yang lebih besar untuk meraih trofi-trofi prestisius. Lebih tepatnya, soal kekuatan finansial.
Seperti yang dijelaskan oleh Grant dalam bukunya, ambisi Ferguson tidak disokong dengan dana mumpuni oleh Aberdeen. Manajemen klub gagal melobi perusahaan minyak lokal, BP, untuk memberikan dana besar dan segar. Padahal, kota Aberdeen sendiri sebenarnya adalah episentrum pertambangan minyak bawah laut Eropa (sebelum mengalami penurunan di awal abad ke-21).
Hal tersebut membuat Ferguson kesulitan untuk membangun skuat yang mumpuni. Ia tidak mampu mencari pengganti sepadan setelah ditinggal oleh pemain-pemain bintangnya saat mengalahkan Madrid di Final Piala Winners, seperti Strachan, Mark McGhee, dan Eric Black. Sementara, di Glasgow, Rangers justru berhasil merekrut pemain sekaliber Terry Butcher dan Chris Woods.
Oleh sebab itu, tawaran dari Manchester United terlihat seperti sebuah `tiket terusan` di mata Ferguson. Ia bisa berkreasi sepuasnya, menciptakan struktur klub yang kuat dengan dana (yang relatif) melimpah.
Bagaimanapun, menyebut Ferguson sebagai sosok yang `mata duitan` agaknya kelewat naif. Dinasti Manchester United yang dibangunnya tidak hanya berfondasikan uang. Ia membangunnya dengan sebuah sistem: otoritas tunggal.
"Martin Edwards mengatakan kepada saya bahwa prinsip dasar di klub sepakbola kami adalah manajer merupakan orang paling penting di Manchester United. Semua diatur berdasarkan cara manajer berpikir," tutur Ferguson seperti yang dikutip dalam The Manager karangan Mike Carson.
Pesan dan filosofi yang memang terdengar `tangan besi` tersebut jatuh ke tangan yang tepat. Tumbuh besar di Govan, Ferguson memiliki jiwa pemberani, tangguh, dan tegas. Ia memang menjunjung tinggi nilai-nilai karakter orang Govan, sebagaimana ia memasang plakat bertuliskan "Ah Cum Fae Govan!" di kantornya.
Pria yang lahir pada 31 Desember 1941 dari pasangan Alexander Beaton Ferguson dan Elizabeth Hardin ini tidak hidup dalam kemelaratan. Meski tanpa mobil, televisi, atau telepon, ia tidak pernah mengaku-ngaku berasal dari keluarga miskin. Ia sadar hidupnya berkecukupan karena "selalu bisa makan, tidak pernah meninggalkan bangku sekolah, serta selalu bersih dan rapi".
Bagaimanapun, Ferguson tumbuh di lingkungan yang keras. Govan adalah pusat galangan kapal di Skotlandia. Tempat ini juga pernah menjadi pangkalan bagi Angkatan Laut Britania Raya. Hampir seluruh penduduknya adalah buruh.
"Aku tumbuh di seberang galangan kapal Halrand dan Wolff, jadi aku harus melalui bisingnya para pekerja yang bekerja malam, menghantam palu sepanjang malam," ucap Ferguson seperti yang dikutip Daily Record.
Jika di malam hari aktivitas pabrik menjadi musuh, maka pada siang hari ada ibunya yang kerap memarahi Fergie dan adiknya, Darren, jika bermalasan-malasan di rumah. Mereka harus main di jalanan, tempat pelajaran tentang hidup berada.
"Hal yang kami lakukan hanyalah berkelahi dengan geng lain dan bermain sepakbola. Itulah yang anda lakukan di area ini," kenang Ferguson.
"Aku sudah agak bossy ketika masih muda... Ini adalah karakteristikku: tegas, gigih, dan bahkan terkadang agresif. Aku selalu seperti itu, tidak pernah berubah. Agresivitas ini adalah hal lumrah bagi seorang Glaswegian, terutama mereka yang berasal dari generasiku," tutur dirinya.
Meski dengan kepemimpinan yang cenderung tangan besi, Ferguson mampu menjadikan seluruh anggota klub terasa seperti keluarga. Hal ini menjadi penting atas lahirnya Manchester United yang digdaya. Semangat kebersamaan yang (lagi-lagi) dipelajari berkat tumbuh kembang di Govan.
Ayah dan ibunya adalah pengikut setia Partai Buruh, semangat yang turun ke Ferguson. Bagaimana juga, moto dari klan Ferguson adalah dulcius ex asperis (manis setelah kesulitan).
Ketika berusia 16 tahun, Ferguson memutuskan untuk mengambil kelas magang sebagai pembuat perkakas di sebuah pabrik mesin tik di Hillington, sekitar empat mil dari galangan kapal. Di tempat itulah jiwa kepemimpinan alaminya mulai terlihat.
Banyak rekan sesama pekerja yang mengagumi Ferguson. Setelah aktif di pergerakan serikat buruh dan menjadi kepala toko, ia masih sempat memimpin dua demo para pekerja magang.
"Orang-orang saling berbagi dengan yang lain. Terdapat penyebab umum yang membuat kami saling membantu satu dengan yang lain," tutur Ferguson.
Karakteristik kepemimpinan yang dibawa oleh Ferguson diterima dengan baik oleh para suporter Manchester United. Selain karena mampu meraih kesuksesan setelah melalui tiga musim pertama yang suram, warga Manchester sendiri tidak asing dengan budaya tersebut. Manchester adalah kota para pekerja, para buruh pabrik tekstil.
Maka, ketika Ferguson menyambut kedatangan Keluarga Glazer pada 2003, banyak suporter Setan Merah yang kecewa bukan kepalang. Kebijakan pro-asing macam ini sulit diterima. Ferguson diklaim tidak lagi berpihak pada suporter dan mementingkan diri sendiri.
Untung saja, adalah Ferguson yang menjadi manajer klub, bukan para suporter itu. Ferguson enggan bersikap naif.
"Dalam beberapa tahun terakhir, kami membeli pemain-pemain dengan harga yang cukup tinggi seperti (Dimitar) Berbatov, (Rio) Ferdinand, (Juan Sebastian) Veron, dan (Wayne) Rooney. Kami mencoba mencari nilai terbaik sebelum melakukannya," kata Fergie yang kesal akibat kritik tentang Glazer yang tak berkesudahan pada 2013.
Lagipula, dengan uang itu jugalah para suporter Manchester United bisa berjalan-jalan di Fergie Wonderland. Terhitung sejak Glazer mulai mengambil alih hingga Ferguson pensiun, mereka berhasil menjuarai lima titel Premier League, satu Liga Champions, satu Piala FA, dan tiga Piala Liga Inggris. Semua tentu berkat struktur kuat di dalam klub yang dibangun oleh Ferguson.
Ferguson yang menyampaikan salam perpisahan kepada para suporter Manchester United di tengah lapangan Old Trafford pada 2013 adalah Ferguson yang sama seperti ketika berkeliling ke pub-pub di Govan demi mencari sumbangan untuk melakukan demo. Ia tetap seorang Ferguson yang, menurut cerita wartawan Guardian bernama Kevin McKenna, mentraktir seluruh pengunjung sebuah pub minuman setelah memimpin Aberdeen mengalahkan Glasgow Celtic.
Yang tidak pernah sama lagi: Manchester United.
Komentar