Oleh: Reynaldi Manasse*
Siapa yang tidak mengenal Thierry Daniel Henry? Sosok legendaris dunia sepakbola yang diakui sebagai salah satu penyerang terbaik sepanjang masa ini pasti jadi salah satu nama yang banyak disebut orang-orang ketika mereka ditanya siapa pemain favoritnya.
Dalam dua puluh tahun kariernya sebagai pesepakbola, Henry bergelimang prestasi. Di antaranya membawa Arsenal merajai Liga Primer tanpa terkalahkan pada musim 2003/04. Henry juga masuk ke dalam skuat Prancis yang menjuarai Piala Dunia 1998 dan Piala Eropa 2000. Kini, Henry melanjutkan petualangan di dunia kepelatihan.
Pria kelahiran 17 Agustus 1977 ini memulai karier kepelatihan dengan menjadi Asisten Pelatih Timnas Belgia pada 2016. Selama dua tahun, Henry menimba ilmu di bawah Kepala Pelatih Belgia, Roberto Martinez. Dia turut mengantarkan Timnas Belgia ke peringkat ketiga Piala Dunia 2018. Pengalaman ini menjadi modal berharga Henry di bidang manajerial. Modal ini yang kemudian mengantarnya menjadi pelatih kepala AS Monaco.
Dua hari pasca pemecatan Leonardo Jardim, atau tepatnya 13 Oktober 2018, Henry resmi ditunjuk sebagai nakhoda baru kesebelasan yang bermarkas di Stade Louis II tersebut. Hadirnya sosok Henry, yang juga pernah membela tim berjuluk Les Rouge et Blanc pada periode 1994-1999 ini, digadang-gadang mampu mengembalikan kejayaan klub—setidaknya mampu bersaing dengan penguasa Prancis saat ini, Paris Saint-Germain (PSG).
Monaco memang sempat merusak dominasi PSG ketika menjuarai Ligue 1 pada 2017. Henry pun diharapkan mampu mengantarkan Monaco untuk kembali memenangi persaingan dengan tim ibu kota tersebut.
Nahas, hingga artikel ini ditulis Radamel Falcao cs., tak mampu meraih prestasi maksimal. Rentetan hasil seri hingga kekalahan terus mereka alami di berbagai kompetisi. Bahkan pria yang akrab disapa Titi ini tidak meraih satu kemenangan pun dari enam laga yang sudah dijalaninya.
Terlalu dini untuk menilai memang. Namun kekalahan telak atas Club Brugge di Liga Champions (yang disusul kekalahan sejenis dari PSG) membuat tren di atas patut dicemaskan lantaran jadi salah satu rekor terburuk seorang pelatih di lima laga awal sepanjang sejarah klub.
Melihat Kembalinya Shawn Michaels
Sejenak mari melihat ke arena gulat WWE alias World Wrestling Entertainment yang baru-baru ini diramaikan dengan duel D-Generation X (DX) melawan Brothers of Desteuction (BoD). Duel ini disebut-sebut sebagai duel dua pasangan tag team terkuat sepanjang sejarah WWE.
Dipertemukan di ajang bertajuk Crown Jewel pada 2 November 2018 lalu, DX yang digawangi Triple H dan Shawn Michaels sukses menumbangkan The Undertaker dan partnernya (bukan Harry) Kane lewat pertarungan dramatis ala WWE.
Yang menjadi sorotan utama dari pertarungan tersebut adalah kembalinya sosok Michaels sejak memutuskan pensiun delapan tahun silam. Pegulat asal San Antonio, Texas, yang juga berjuluk The Heart Break Kid (HBK) ini memutuskan kembali ke atas ring untuk ikut mewujudkan terciptanya pertarungan legendaris antara DX dan BoD.
Banyak tanggapan negatif yang sejatinya diberikan masyarakat terutama bagi mereka pengagum Michaels di era 2000-an. Ada yang bilang Michaels dan tiga koleganya sudah terlalu uzur. Ada pula yang menganggap baik DX maupun BoD sudah tidak lagi berada di eranya. Mayoritas dari mereka juga menyayangkan comeback tersebut karena merusak momen pensiun Michaels yang dirasa sempurna untuk seorang legenda sepertinya.
Namun, jika ditelaah lebih dalam, kembalinya HBK untuk setidaknya hanya dalam pertarungan melawan BoD memang dibutuhkan terlebih karena tidak ada pertarungan lain yang punya nilai jual setinggi pertarungan ini. Hal ini juga disebabkan lantaran roster yang ada saat ini belum mampu mengangkat pamor WWE setinggi saat era 1990 hingga 2000-an.
Jadi tak heran jika Triple H, partner Michaels di DX sekaligus CEO WWE saat ini, memanggil kembali sahabat karibnya untuk terlibat dalam pertarungan akbar di Crown Jewel. Hasilnya? Meski selama pertarungan kita tak bisa melihat aksi eksplosif mereka seperti di masa keemasannya, jutaan penggemar WWE di seluruh dunia tetap terpuaskan dengan penampilan dua pasang legenda itu.
Kemenangan DX juga terbilang sukses mengobati kerinduan penonton akan hadirnya kolaborasi Sweet Chin Music dan Pedigree ala DX yang sukses mengalahkan berbagai musuh, termasuk Kane dan The Undertaker yang tergolong superstar terkuat sepanjang sejarah WWE.
Pamor WWE terutama gelaran Crown Jewel itu sendiri juga jadi meningkat. Bahkan memenuhi ekspektasi dari berbagai aspek, termasuk sisi komersil. Tentunya karena partai puncak yang mempertemukan DX dan BoD tersebut.
HBK = Henry (come)Back Kid?
Berkaca dari yang dilakukan Michaels, rasanya tidak mustahil bagi seorang Henry untuk juga melakukan comeback dan terjun langsung ke lapangan untuk setidaknya mendongkrak performa Monaco. Meski harus diakui, kembalinya Henry merumput (mungkin) hanya akan terjadi dalam fantasi terliar kita sebagai penggemar sepakbola.
Sedikit berbeda dengan kondisi di WWE, pilar-pilar utama Monaco saat ini sejatinya tidaklah buruk, bahkan terbilang cukup mentereng. Kehadiran bintang sekaliber Falcao, Nacer Chadli, dan jangan lupakan bintang muda Rusia yang bersinar di Piala Dunia 2018 lalu, Aleksandr Golovin, adalah nama-nama yang seharusnya bisa membuat skuat Monaco berbicara banyak di liga domestik, maupun kompetisi Eropa.
Sayangnya, mereka belum mampu membawa tim meraih hasil positif setidaknya hingga penghujung tahun 2018. Nama-nama di atas seakan mengikuti jejak Dean Ambrose, AJ Styles, dan superstar WWE lain yang gagal mengangkat pamor maupun prestasi. Bisa dibilang, Monaco membutuhkan comeback ala Shawn Michaels yang bisa terwujud dalam sosok Thierry Henry.
Jika kita boleh berfantasi seliar mungkin, kembalinya Henry ke lapangan sembari mengenakan seragam bernomor punggung 14 bertuliskan “HENRY” di atasnya bisa berdampak positif layaknya comeback HBK. Dari segi usia pun, Henry yang masih berusia 41 tahun sejatinya tergolong masih bisa bermain normal di lapangan (ingat Keith Kayamba Gumbs yang masih tokcer di usia 40-an?).
Meski tak sedikit pihak yang akan menanggapi dengan sinis atau bahkan menghujat, efek positif kehadiran pengoleksi 175 gol Premier League ini dijamin bakal memberikan efek domino mulai dari meningkatnya antusiasme pendukung (bahkan seluruh penggemar sepakbola), memompa semangat tim untuk bermain lebih baik, dan syukur-syukur bisa memperbaiki prestasi tim yang berdiri pada 1924 tersebut.
Untuk yang berpikir realistis, sangat sah berpendapat kembalinya Henry tak akan mungkin terjadi. Namun bagi yang gemar berfantasi liar dan membayangkan Titi mengambil kembali sepatu yang telah digantungnya empat tahun silam, akankah Henry mampu berbuat banyak dan membawa Monaco menuju prestasi terbaik? Atau hanya akan sekadar menaikkan pamor Monaco dan Ligue 1 seperti yang sukses dilakukan Michaels diWWE?
*Penulis adalah playmaker di dalam dan luar lapangan. Bisa dihubungi lewat akun Twitter dan Instagram di @reymanasse.
**Tulisan ini merupakan hasil kiriman penulis melalui kolom Pandit Sharing. Segala isi dan opini yang ada dalam tulisan ini merupakan tanggung jawab penulis.
Komentar