Oleh: Andri Athoillah*
Hasil mengecewakan kembali diraih timnas Indonesia di fase grup Piala AFF 2018. Indonesia sempat bangkit dengan menang atas Timor Leste setelah kalah 0-1 dari Singapura di laga pembuka. Namun, Indonesia kembali takluk dari Thailand dengan skor 2-4.
Di awal laga, khususnya di babak pertama, Indonesia tampil sangat baik. Indonesia mampu menciptakan peluang dan membaca permainan Thailand dengan sangat baik. Kendali permainan yang dipegang Indonesia pun akhirnya berbuah hasil berkat gol jarak jauh dari Zulfiandi. Namun keunggulan tidak bertahan lama—Thailand mampu menyamakan skor dari sepak pojok yang penuh keberuntungan dan mencetak gol kedua di akhir babak pertama. Permainan bagus Indonesia pun hanya bertahan hingga Thailand menyamakan kedudukan. Di babak kedua, lini pertahanan Indonesia jadi bulan-bulanan tim lawan.
Lagi dan lagi, penikmat dan pendukung timnas Indonesia dikecewakan. Harapan tinggi untuk membawa trofi AFF yang sejak lama diidamkan berbanding terbalik dengan performa timnas Indonesia yang tak sesuai ekspektasi.
Yang menarik adalah respons atas hasil pertandingan. Kritik terhadap pelatih, pemain, hingga federasi pun dilayangkan. Mulai dari obrolan di warung kopi, di pos ronda, sampai di media sosial.
***
Kritik atas hasil pertandingan yang mengecewakan adalah fenomena yang menarik di Indonesia. di sepakbola Eropa misalnya, kritik biasanya jauh lebih tajam dan spesifik. Berbeda dengan di Indonesia yang pedas dan nyinyir. Kualitas mengkritik dan kualitas terhadap berpendapat di Indonesia memang masih jadi problem di setiap bidang. Timnas Indonesia jika menang dinyinyiri, jika kalah dihujat.
Soal kualitas berpendapat bisa kita bahas pada waktu lain. Sebab penulis tertarik pada objek dari suatu kritik. Dari berbagai kritik dan tanggapan mengenai kekecewaan atas hasil yang diraih timnas atas kekalahan melawan Thailand, ada tiga nama setidaknya yang jadi sorotan penuh. Bima Sakti sebagai pelatih, Awan Setho sebagai pemain, dan Edy Rahmayadi sebagai pemimpin federasi sepak bola Indonesia. Tetapi, siapakah dari ketiga nama di atas yang dianggap paling bersalah atas hasil-hasil mengecewakan timnas di piala AFF? Ya, tak lain dan tak bukan adalah sang pemimpin federasi, yaitu Edy Rahmayadi.
Fenomena mengkritik atau protes kepada federasi atas hasil mengecewakan timnas sebenarnya menjadi hal yang lumrah di Indonesia. Kalau timnas kalah, kalau suatu klub di liga Indonesia kalah, kalau wasit keliru membuat keputusan biasanya yang kena kritik adalah federasi dan ketua federasinya.
Kalau kita mengikuti perkembangan sepakbola di luar Indonesia, khususnya di Eropa, jika tim mengalami kekalahan atau meraih hasil mengecewakan yang paling sering terkena kritikan menurut penulis adalah sang peracik strategi, yaitu pelatih.
Ketika Manchester United mengalami berbagai hasil minor misalnya, yang terkena kritik luar biasa adalah Jose Mourinho, bukan ketua Federasi Sepakbola Inggris (FA) ataupun pemain MU. Meskipun Mourinho kerap mengkritik keputusan wasit, tapi jarang kita dengar nada sumbang mengenai FA sebagai federasi sepakbola di Inggris. Kritikan kepada Paul Pogba, Romelu Lukaku, atau Phil Jones tak “segila” kritikan terhadap Mourinho.
Contoh lain adalah kegagalan Jerman di Piala Dunia 2018. Federasi Sepakbola Jerman mendapat sorotan yang besar akibat masalah non-teknis yang dianggap membuat Jerman gagal mempertahankan gelar juara dunianya. Tetapi, kritikan lebih keras justru lebih tertuju kepada Joachim Loew sebagai pelatih. Hal senada pun dialami timnas Spanyol. Kritikan terhadap federasi sepakbola mereka perihal pergantian pelatih di saat-saat menuju laga perdana Spanyol di Piala Dunia tak sebesar kritikan dan kekecewaan terhadap Julen Lopetegui dan Real Madrid.
Biasanya, kritikan terhadap pelatih datang ketika tim meraih hasil minor. Lihat saja MU ketika kalah, habislah Mourinho oleh para pengamat dan media. Tapi jika MU menang, nada sumbang soal Mourinho tak terdengar.
Jika tim menang, biasanya kritikan akan dilayangkan kepada satu atau dua pemain yang dianggap tampil kurang bagus. Mesut Ozil adalah contoh pesepakbola yang tak lepas dari kritikan baik ketika Arsenal menang maupun kalah. Tak ada yang meragukan kualitas Ozil sebagai pesepakbola. Tetapi, bahasa tubuhnya di pertandingan memang menjadi santapan empuk bagi para “pedagang protes”.
Contoh lainnya lihat bagaimana Arsene Wenger dikritik karena dianggap tak memberikan ruang bagi pemain-pemain Inggris di skuatnya. Dalam tiga tahun terakhir, bahkan hanya ada nama Danny Welbeck, Jack Wilshere, Theo Walcott, dan Alex-Oxlade Chamberlain yang menjadi pemain Inggris langganan Wenger. Bahkan stasus nama-nama itu pun bukanlah pemain inti dari Arsenal. Minimnya pemain-pemain Inggris dalam skuat Arsenal melahirkan kritik kepada Wenger, bukan kepada Federasi Sepakbola Inggris yang punya wewenang untuk membuat aturan.
Akan tetapi, siapakah yang dikritik jika timnas Indonesia kalah? Hampir semuanya kena kritik. Pelatih, pemain, sampai federasi. Bahkan kalau Anda lihat kolom komentar di akun sosial media pemain timnas Indonesia kalian akan sering menemukan komentar-komentar yang konyol. Kalau pakai istilahnya pengamat Rocky Gerung, kualitas komentar-komentar itu adalah kualitas “IQ 200 sekolam”.
Hasil-hasil minor timnas di AFF 2018, mestinya melahirkan hastag #BimaOut atau #AwanOut. Tetapi, hashtag #EdyOut justru lebih menggema. Kritik selalu datang kepada PSSI di setiap turnamen. Karena kita biasanya “gagal” di setiap turnamen. Ketika timnas U-16 menjuarai AFF U-16 2018, pujian datang kepada para pemain muda dan coach Fakhri Husaini. Begitu juga ketika mereka berhasil menembus babak perempat final Piala Asia U-16 2018. Pujian untuk pemain-pemain muda dan coach Fakhri, sedangkan kritikan selalu diajukan kepada PSSI. Indra Sjafri juga mengalami hal serupa ketika mengantarkan timnas U-19 era Evan Dimas menjadi kampiun AFF U-19. Pujian untuk Coach Indra Sjafri dan para pemain. Kritikan dan nyinyir tetap diajukan kepada PSSI.
***
Apa pun hasil yang diraih timnas Indonesia, PSSI tak akan pernah lepas dari kritikan. Ketika konsep bermain sepak bola timnas mulai dibentuk dengan satu konsep bersama mulai dari timnas U-16, timnas U-19, sampai U-23 pujian datang kepada para pelatih di setiap jenjang umur itu, tidak kepada PSSI. Kalau pun ada, suaranya tak sebesar pujian kepada para pelatih.
Ada banyak faktor yang membuat kenapa masyarakat sepak bola Indonesia tak pernah bosan mengkritik PSSI. Tetapi, segalanya bermuara pada satu alasan, yaitu PSSI selalu mengecewakan.
Kebijakan-kebijakan PSSI banyak yang menimbulkan kontroversi dan awal dari kegagalan timnas. Soal liga misalnya, hanya Indonesia yang liganya bermain ketika timnasnya sedang mengikuti ajang internasional. Dan ini berlangsung selama bertahun-tahun seolah PSSI tak pernah belajar dan mencari formula mengelola jadwal kompetisi yang efisien dan bermanfaat bagi pemain serta timnas Indonesia.
Soal suporter dan wasit pun serupa. Kalau ada suporter yang meninggal atau melanggar aturan, kalau ada wasit yang keliru membuat keputusan PSSI adalah sasaran utama untuk kena “damprat”. Yang kasihan wasit, mereka bahkan bisa kena pukul dan tendang. Sementara PSSI hanya gatal-gatal saja kupingnya. Padahal, soal ketegasan terhadap penerapan aturan dan penciptaan budaya bersepakbola yang fair play adalah wewenang PSSI.
Soal suporter misalnya, PSSI seperti tak punya inisiatif untuk membuat silaturahmi nasional antar suporter. Okelah kalau itu tak menjamin kebencian antar suporter langsung mereda dalam waktu singkat, tapi minimal para suporter bisa ngopi dan ngudud bareng.
Meninggalnya suporter beberapa waktu lalu yang berujung pada pemberhentian sementara kompetisi, bahkan hanya membuahkan sanksi. Tidak ada tindakan kultural dan kebijakan dengan pendekatan kemanusiaan dari PSSI. Sanksi dan sanksi. Selalu saja itu. PSSI tak lebih dari tukang tilang dan hakim. Padahal fungsi utama PSSI sebagai wadah dari sepakbola Indonesia adalah sebagai pengayom sepak bola. Tetapi PSSI selalu menunjukkan bahwa mereka adalah hakim, bukan pengayom. Bahwa mereka adalah yang punya otoritas, bukan yang paling bertanggung jawab untuk menyayangi para pelaku sepak bola di Indonesia.
***
So, lebih layak #BimaOut, #AwanOut, #KosongkanGBK, atau #EdyOut? Andai datang mukjizat dari timnas Indonesia di sisa laga AFF 2018 ini, layaknya pujian kepada tim dan pemain atau kepada PSSI?
“Innamal hayatud dunya la ‘ibun wa lahwun.”. Sepak bola mungkin benar-benar sekadar bagian dari senda gurau belaka. Sepakbola mungkin memang sekadar permainan, tapi tak boleh dilakukan dengan main-main.
*Penulis merupakan penikmat sepak bola, pendukung Arsenal dan Timnas Indonesia. Berprofesi sebagai pengrajin kayu. Bisa ditemui di twitternya @AndriAthoillah
**Tulisan ini merupakan hasil kiriman penulis melalui kolom Pandit Sharing. Segala isi dan opini yang ada dalam tulisan ini merupakan tanggung jawab penulis.
Komentar