Hari Rabu malam (29/11), sebuah talkshow yang dipandu Najwa Shihab mengajak pemirsa untuk membahas tentang carut-marut sepakbola Indonesia, khususnya yang berhubungan dengan pengaturan skor oleh mafia.
Ada cukup banyak fakta yang diungkapkan oleh narasumber, salah satunya adalah bekas runner pengaturan skor (match-fixing), Bambang Suryo, yang hadir dalam acara Mata Najwa tersebut.
Satu dari sekian fakta bahwa sepakbola Indonesia memang digerogoti oleh kasus pengaturan skor dijabarkan cukup lantang oleh Bambang, entah melibatkan pemain dan pelatih dari sebuah kesebelasan, wasit, maupun pengurus federasi sepakbola Indonesia (PSSI).
Dari sekian nama yang dicatut jadi dalang di balik suramnya sepakbola Indonesia, menyeruak nama Vigit Waluyo.
Bagi penggemar balbalan lokal, sejatinya nama Vigit tidaklah asing karena dirinya sudah lama sekali berkecimpung di dunia sepakbola. Namun bagi penggemar sepakbola “kemarin sore”, nama Vigit mungkin sangat asing.
Selama dan setelah acara Mata Najwa, “Vigit Waluyo” menjadi trending pencarian di Google. Bambang menyebut jikalau Vigit adalah kepanjangan tangan dari bandar-bandar judi kelas kakap.
https://twitter.com/panditfootball/status/1067797760169164801
“Bandar dari Bet365 (laman judi sepakbola) berhubungan langsung dengan Vigit. PSSI pun tahu soal ini. Mustahil PSSI tidak tahu”, papar Bambang dengan lantang.
Maka wajar bila publik tidak betul-betul percaya pengakuan salah seorang anggota Komite Eksekutif (Exco) PSSI, Gusti Randa, yang juga dihadirkan di acara tersebut, yang menyebut bahwa dirinya tidak kenal siapa itu Vigit. Hal itu sontak membuat Gusti dicap sebagai “orang baru” (padahal bukan).
Perkenalan Vigit dengan sepakbola dimulai pada era 1970-an silam ketika kompetisi Galatama berputar di Indonesia bersamaan dengan ajang Perserikatan.
Semenjak saat itu, lelaki kelahiran Sidoarjo tersebut identik dengan beberapa kesebelasan, mayoritas dari Jawa Timur. Hal ini terjadi karena Vigit ikut ‘masuk’ ke dalam lingkaran manajemen kesebelasan. Contohnya saja di Deltras Sidoarjo, Persewangi Banyuwangi, PSIR Rembang, dan Bhayangkara FC (saat masih bernama Persikubar Kutai Barat yang kemudian disulap menjadi Persebaya Surabaya Divisi Utama, Bonek FC, dan Surabaya United).
Kini, Vigit pun tercatat sebagai salah satu dari pengelola kesebelasan Liga 2, PS Mojokerto Putra, yang di musim ini berhasil lolos ke babak 8 besar (tapi akhirnya gagal melaju ke semifinal guna memperebutkan tiket promosi ke Liga 1).
Menariknya, Vigit disebut-sebut lebih memilih berdomisili di kawasan Yogyakarta ketimbang berada dekat dengan kesebelasannya di Mojokerto itu.
Apakah di Yogyakarta sana ada ‘kesebelasannya’ juga?
Baca juga: Tindak Pidana Pengaturan Skor dalam Perspektif Hukum Nasional
Seiring waktu, mertua dari Danilo Fernando (eks pemain Persik Kediri dan Persebaya Surabaya di era 2000-an) itu semakin sering dicatut sebagai otak dari berbagai kasus pengaturan skor yang terjadi dalam sepakbola nasional. Baik yang muncul dari kasta teratas maupun berkelindan di level yang lebih rendah.
Bobroknya tata kelola kompetisi di Indonesia jadi lubang menganga yang sangat mudah untuk dimanfaatkan Vigit ataupun mereka yang bergerak di jalan serupa.
Sebagai contoh, kesebelasan-kesebelasan yang bermasalah dengan gaji pemain akan mudah diiming-imingi fulus dalam jumlah gemuk supaya mengalah dari lawannya. Entah praktik itu nanti dilakukan lewat cara yang halus atau malah terang-terangan di atas lapangan hijau.
Dengan situasi mencekik, keadaan ini tentu gampang diterima oleh kesebelasan-kesebelasan tersebut karena mereka butuh dana buat membayar upah para pemain hingga pelatihnya.
Walau muncul pula dugaan bahwa kocek yang mereka terima tak semuanya bakal diberikan kepada para pemain atau pelatih yang memang berhak, tapi justru diganyang sendiri oleh pengurus kesebelasan tersebut.
Sebagai contoh, dari Rp300 juta uang mahar yang diberikan para mafia tersebut, cuma sekitar Rp150-200 juta yang benar-benar masuk ke rekening para pemain dan pelatih. Dilihat dari sisi manapun, bisnis macam ini terasa menggiurkan, bukan?
Baca juga: Masalah Finansial jadi Pintu Masuk Pengaturan Skor dan Sepakbola Gajah
Lantas, apa keuntungan yang didapat mafia dari hal tersebut?
Tidak lain tidak bukan, mereka akan mendapatkan uang dengan jumlah tiga atau mungkin sepuluh kali lipat dari kocek yang ‘dihadiahkan’ kepada kesebelasan-kesebelasan yang diajak bermain itu. Untung? Sudah pasti. Rugi? Sangat mustahil.
Lebih jauh, status Vigit kini sendiri adalah buronan Kejaksaan Negeri Sidoarjo. Beberapa waktu lalu, dirinya divonis hukuman bui selama 1 tahun 6 bulan dalam kasus peminjaman uang sebesar 3 miliar rupiah dari Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Delta Tirta untuk Deltras medio 2011 silam.
Meski munculnya nama Vigit sebagai mafia sepakbola Indonesia bukan hal yang mengagetkan lagi, publik sepakbola nasional meyakini bahwa lingkaran iblis mafia balbalan ini tidak terhenti di sosok Vigit saja.
Masih ada puluhan atau bahkan ratusan mafia yang berkeliaran setiap waktu guna mencari keuntungan untuk perutnya sendiri, entah dengan status pesepakbola titipan di sebuah kesebelasan, pelatih, staf, atau bahkan seorang pengurus teras di federasi. Mulai dari mafia-mafia kelas teri hingga penyandang dana terbesar bak paus yang menguasai lautan lepas.
Pasca naiknya nama Vigit sebagai salah satu otak kasus pengaturan skor di sepakbola Indonesia, akankah nama-nama yang lebih besar terungkap setelah ini? Atau semuanya bakal hilang kembali ditelan bumi seperti yang biasanya selalu terjadi?
Foto: campusdiaries.com
Komentar