Salah satu mitologi dalam sepakbola Indonesia adalah kedigdayaan timnas kita di masa lalu. Bahwa Indonesia pernah jadi "Macan Asia" terus menerus dimamah dan direproduksi sampai sekarang.
Jika ditanyakan kepada para pengurus sepakbola saat ini, niscaya mereka dengan fasih mampu bercerita tentang prestasi timnas yang mampu menahan Uni Soviet 0-0 di Olimpiade Melbourne 1956, atau gelar juara tiga di Asian Games 1958 yang menjadi puncak tertinggi prestasi Indonesia saat ini.
Narasi tentang raihan-raihan itu selalu diingat dan digembor-gemborkan. Tentang euforia kemenangan, kejayaan dan kedigdayaan semata. Pengurus PSSI dan media tak lelah berbusa-busa perihal sepakbola Indonesia di masa lalu sebagai panutan yang mesti ditiru dan dibanggakan.
Sesungguhnya ini hal ironis mengingat cerita besar yang terus berkesinambungan dalam sejarah sepakbola Indonesia sebenarnya adalah tentang konflik, masalah, keboborokan dan korupsi yang sudah kadung menjadi laten.
Maka menjadi menarik ketika La Nyalla mengungkit soal keboborokan sepakbola di masa lalu. Ketika berperang komentar dengan Bob Hippy, [saat PSSI masih bertarung "terbuka" melawan KPSI], petinggi Pemuda Pancasila Jawa Timur menyerang Bob dengan kalimat: "Sebaiknya Bob berkaca dan mengingat kembali kasus skandal Senayan itu saja."
Apa sebenarnya yang dimaksud La Nyalla dengan "Skandal Senayan"?
10 Pemain Timnas Kena Suap
Skandal Senayan 1962 adalah drama yang menggambarkan boroknya sepakbola Indonesia. Skandal ini seperti menjadi titik kulminasi dari judi "totalisator negara" yang mendarah daging di penggila bola [baca artikel bagian 1].
Bukan hanya bagi sejarah timnas Indonesia, Skandal Senayan 1962 juga menjadi aib kelam bagi Persib Bandung, PSM Makassar dan Persebaya Surabaya. Bagaimana tidak, enam pemain Persib, 3 pemain PSM dan satu pemain Persebaya yang kerap jadi pilihan utama pelatih Toni Pogacnik dinyatakan menerima suap dan terlibat dalam pengaturan skor.
Ke-10 pemain itu adalah Iljas Hadade, Pietje Timisela, Omo Suratmo, Rukma Sudjana (kapten), Sunarto, Wowo Sunaryo (Persib), John Simon, Manan, Rasjid Dahlan (PSM Makassar), dan Andjiek Ali Nurdin (Persebaya). Tak ada nama Bob Hippy seperti yang coba disindir oleh La Nyalla, dan Bob termasuk skuat timnas di Asian Games 1962.
Komposisi 10 nama itu menjelaskan dengan amat baik bagaimana suap ketika itu dilakukan secara menyeluruh, baik oleh para pemain senior maupun yunior. Nama-nama pemain Persib itu adalah para pemain senior yang sejak era 1950an sudah jadi langganan starter timnas asuhan Pogacnik. Sementara nama seperti John Simon dan Andjiek Ali Nurdin adalah pemain muda yang namanya diselipkan untuk regenerasi tim.
Skandal Senayan 1962 ini memuat banyak sekali drama dan cerita menarik. Sebuah kisah regenerasi timnas yang dipaksakan sampai menyangkut urusan politik olahraga yang banyak ditentukan ayunan bandulnya oleh Soekarno yang otoriter. Bersama Novan Herfiyana, saya menceritakan banyak skandal ini dalam buku yang sedang kami siapkan penerbitannya: Persib Undercover: Kisah-kisah terlupakan.
Terbongkar Jelang Asian Games 1962
Di awal Februari 1962, pencinta sepak bola Indonesia tengah berdebar-debar menunggu hari Senin, 19 Februari 1962, momen di mana timnas Indonesia akan bertanding melawan tim All Star Vietnam Selatan di Stadion Ikada Jakarta.
Gosip pemain timnas yang ditangkap karena diduga mengatur skor sudah menyebar di mana-mana. Kebenaran isu itu hanya bisa dilihat dari starting eleven yang dipasang Toni Pogacnik saat menghadapi Vietnam. Dalam daftar starting line-up, tidak ada nama-nama tenar yang sebelumnya menjadi langganan timnas. Karena itulah para penonton yang hadir di Stadion Ikada saat itu mengerti bahwa rumor itu benar adanya.
Riak-riak pengaturan skor ini terjadi di penghujung 1961 dan awal 1962. Sejak pertengahan tahun 1961, PSSI memang melakukan training camp sebagai bekal untuk menghadapi gelaran Asian Games 1962 di Jakarta. Sebagai tuan rumah, Indonesia tentu tak ingin menjadi paria di depan pendukungnya sendiri. Instruksi dari Soekarno untuk cabang olahraga sepakbola pun jelas: medali emas adalah harga mati.
Karenanya, jauh sebelum Asian Games digelar, pelatih Antun `Toni` Pogacnik sudah membentuk tim dan melakukan laga ujicoba persahabatan dengan tim-tim luar untuk melihat progresskemampuan anak asuhnya.
Jika mengacu pada data-data pertandingan ujicoba kita bisa mencatat data-data tersebut. Pada bulan Desember 1961, PSSI menerima kedatangan Yugoslavia Selection, Malmoe (Swedia), dan Petrolul (Rumania). Hasilnya, timnas kalah 2-3 dari Yugoslavia Selection, kalah 0-2 dari Malmoe, dan kalah 3-4 dari Petrolul. Lalu, pada awal bulan Januari 1962, PSSI kedatangan Thailand. Hasilnya, timnas Indonesia A menang 7-1 atas Thailand.
Saat menjalani laga ujicoba inilah indikasi pengaturan skor mulai terendus dan mulai dibawa ke pengadilan, seperti dalam kliping di majalah ANEKA edisi No. 41 Tahun XIII, 5 Djanuari 1963, yang melaporkan putusan Pengadilan Istimewa Jakarta terhadap para penyuap bola.
Di situ dijelaskan bagaimana pengadilan telah berhasil membuktikan adanya pengaturan skor dalam beberapa laga timnas yang melibatkan para pemain timnas sendiri. Pertandingan-pertandingan yang ditemukan telah diatur itu di antaranya adalah pertandingan timnas Indonesia melawan Malmoe (Swedia), Thailand, Yugo Selection dan Tjeko Combined.
PSSI vs KOGOR
Kejelasan riak-riak pengaturan skor di timnas akhirnya diketahui publik setelah beberapa hari usai laga melawan Vietnam, tepatnya 22 Februari 1962. Dengan tegas pemimpin KOGOR Pusat [selaku organisasi tertinggi olahraga, semacam KONI sekarang] mengeluarkan ke-10 pemain tersebut dari pelatnas Asian Games.
Apa yang dilakukan oleh KOGOR jelas berdasarkan keinginan Soekarno. Saat itu KOGOR dipimpin oleh Maladi, kiper legendaris di masa kolonial sekaligus orang kepercayaan Soekarno.
Karena saat itu KOGOR dan PSSI terlibat konflik kepentingan terkait pengelolaan sepakbola dan [tentu saja pengelolaan uangnya], maka PSSI pun tak mau ketinggalan. Untuk menjaga wibawa di depan Soekarno dan publik yang marah besar, PSSI menyambut keputusan KOGOR itu dengan mengeluarkan Surat Keputusan No. 1261/53/62 tanggal 2 Maret 1962. Dalam keputusan itu, PSSI memutuskan memberlakukan larangan melakukan kegiatan olahraga kepada 10 pemain tersebut.
KOGOR tak mau kalah. Tak puas hanya dengan mengeluarkan 10 pemain itu dari Pelatnas Asian Games 1962, KOGOR melakukan investigasi lanjutan. Hasilnya, tiga bulan setelah PSSI mengeluarkan SK, KOGOR pun mengeluarkan keputusan lanjutan yang lebih keras. Dalam keputusan yang dikeluarkan pada 20 Juni, KOGOR menghukum 10 pemain itu dengan skorsing seumur hidup.
Dari sinilah konflik antara PSSI dan KOGOR akan semakin tajam dan kian keras, sampai akhirnya Soekarno sendiri yang harus turun tangan menyelesaikannya. [Mengenai konflik PSSI vs KOGOR akan dibahas dalam artikel berikutnya].
Hancurnya Hati Toni Pogacnik
Imbas dari kasus ini sangat terasa betul bagi Toni Pogacnik. Tim yang ia banggakan dan bina selama bertahun-tahun harus hancur lebur dalam hitungan hari. Dari 30 pemain yang mengikuti training camp, 10 di antaranya harus pulang karena aib memalukan ini. Tak hanya 10 pemain itu, 6 pemain lainnya juga dipulangkan karena soal teknis yang masih belum jelas teka-tekinya.
Toni sangat gusar dan hancur karena peristiwa ini. Tantangan sekaligus kesulitan membentang di depan matanya. Bagaimana tidak, Asian Games 1962 yang jadi target utama sudah di depan mata, tinggal 5 bulan lagi, tapi pemain yang tersisa tinggal 14.
Karenanya, digelarlah turnamen "General Rehearsal" Asian Games IV/1962 yang diikuti oleh PSMS, Persija, Persib, dan PSM. Dalam pertandingan yang digelar di Stadion Utama, Senayan, Jakarta, Persib keluar sebagai juara.
Dari turnamen yang juga untuk "mencoba" lapangan Stadion Utama, Senayan, Jakarta, yang baru diresmikan itu, beberapa pemain baru direkrut untuk memperkuat timnas Indonesia, termasuk pemain seleksi yang dicari Pogacnik sampai ke pelosok Sumatera.
Upaya keras dan semampunya dari pelatih asal Yugoslavia itu untuk menambal lubang yang ditinggalkan 16 pemain, tak menuai hasil seperti yang diharapkan. Boro-boro meraih emas, lolos fase grup saja Indonesia gagal. Di babak grup Indonesia kalah bersaing dari Malaysia dan Vietnam Selatan. Indonesia gagal lolos setelah kalah 0-3 dari Malaysia di partai terakhir.
Air mata yang ditumpahkan Pogacnik saat membesuk para tersangka yang mendekam di penjara kantor Polisi Militer, Jalan Budi Kemuliaan, Jakarta Pusat, tak mampu membalikkan keadaan. Barangkali, itulah salah satu derai air mata paling tragis dalam sejarah Indonesia yang harus mengucur karena aib memalukan skandal suap.
Baca juga:
Bagian 1: Judi dan Match Fixing di Indonesia: Fenomena Judi Toto
Bagian 2: Tauke dan Ramang yang Diskors Karena Suap
Bagian 4: Pengakuan Skandal Suap Senayan 1962
Foto: espresso.tv
Tulisan ini lebih dulu tayang di About the Game, detiksport, dengan perubahan secukupnya.
Komentar