"Skandal Senayan" jika dikaji lebih dalam adalah drama yang penuh intrik dengan alur plot yang sudah diatur sedemikian mungkin. Para bandar dan pengatur skor [match-fixer] dengan canggih memberi tawaran yang tak mungkin bisa ditolak oleh para pemain.
Declan Hill, dalam bukunya yang kontroversial The Fix: Soccer and Organize Crime, menyebut bahwa fixer yang hebat umumnya adalah manusia yang cerdas dan pandai membaca psikologi manusia. Kemampuan membaca psikologi ini dibutuhkan untuk memahami titik lemah pemain yang akan disuap. Sekali saja fixer bisa menemukan titik lemah itu [entah ekonomi, perempuan atau drugs], maka sukar bagi pemain untuk menghindar.
Pada buku yang sama Hill juga menyebut bahwa banyak pemain yang kena suap fixer umumnya adalah pemain yang banyak berusia di atas 26 tahun [usia di mana pemain banyak yang sudah menikah] dan dari situlah daftar kebutuhan hidup keluarga pun meningkat.
Kepada harian Pikiran Rakyat tahun 2006, salah seorang pelaku skandal Senayan 1962, Wowo Sunaryo, mengakui hal itu. Baginya, skandal Senayan 1962 sangat lekat kaitannya dengan faktor ekonomi.
"Honor memperkuat tim Indonesia saat itu hanya cukup untuk biaya perjalanan Bandung-Jakarta. Kalau ada sisa, hanya bisa untuk membeli dua telur atau sabun. Keluarga sering ditinggalkan. Mereka juga butuh makan. Karena keadaan ekonomi, kami terpaksa melakukan itu," ujar pemain yang menjadi goal-getter timnas Indonesia di era kepelatihan Toni Pogacnik ini.
Wowo yang total mencetak 23 gol dalam tur Eropa dan Asian Games 1958 -- saat itu Indonesia meraih posisi ketiga -- menceritakan bagaimana fixer bekerja mengatur dirinya. Pada suatu sore di rumah kontrakannya di daerah Mayestik, Jakarta Selatan, muncul seorang tamu, lelaki Cina, berusia sekitar 50 tahun, penghubung kaum penjudi, yang meminta ia bermain dalam pertandingan melawan Yugoslavia.
"Seperti digoda setan, saya terperangkap. Saya terpaksa menerimanya karena kondisi keluarga," kata Wowo seperti dilaporkan majalah Tempo edisi 14 Juli 1979.
Memang selalu ada alasan bagi pemain yang bersedia menjadi bagian dari sindikat pengaturan skor. Dan di masa itu, suap bukanlah barang aneh. Raden Ading Affandi, jurnalis yang pernah menjadi pengurus Persib, mengakui bahwa klub-klub di Indonesia saat itu sudah jamak menerima surat gelap yang melaporkan para pemain yang disuap.
Lain Wowo, lain pula Rukma Sudjana. Rukma adalah kapten timnas kala itu, menerima ban kapten dari pemain Persib lainnya, Aang Witarsa. Dia salah satu pemain kunci dalam skema rancangan Pogacnik, baik saat memperkuat Indonesia di Olimpiade 1956 maupun sesudahnya. Posisinya juga vital, sebagai center-half, gelandang tengah, atau poros-halang dalam skema W-M.
Saat penulis menemuinya, ia menuturkan pola pendekatan para "setan-setan Bandar" sama seperti yang pernah saya tulis dalam artikel sebelumnya.
Ia menceritakan, terkadang para bandar ini selalu datang ke mess PSSI di Jalan Mendayung, Senayan, sambil membawa barang bawaan. "Kadang-kadang buah, kadang-kadang pakaian atau barang, pemain menerimanya begitu saja karena tak tahu apa-apa," katanya.
Lewat pengakuan Rukma pulalah terkuak bahwa di masa itu, sudah jamak pemain ikut bertaruh Judi Toto. Seperti sudah diuraikan dalam artikel pertama, Judi Toto yang dimulai pada 1950an ini memang sangat mempengaruhi mentalitas pemain di masa itu. Bisa dibayangkan apa jadinya jika seorang kiper ikut bertaruh judi toto.
Kepada penulis, Rukma mengakui bahwa para tauke ini pun kerap mengatur kemenangan-kemenangan timnas. Terkadang mereka meminta para pemain untuk menang besar atau kecil. Dalam kenyataannya, Tauke tak selalu meminta tim yang dimainkannya kalah. Seri atau menang pun tak apa, asal hasilnya mampu menguntungkan mereka.
Seperti kasus Ramang saat Persebaya vs PSM Makassar di tahun 1961. PSM yang semula unggul 3-1 dan sebenarnya mampu mencetak gol lebih banyak lagi, malah tumpul di babak kedua dan kemasukan 2 gol, sehingga skor menjadi 3-3 [baca artikel bagian 3].
Seperti halnya pengakuan Wowo, Rukma juga mengakui bahwa godaan terbesar yang membuat pemain era itu mudah terjebak pengaturan skor adalah penghasilan sebagai pemain yang masih sangat minim di masa itu. Jika Wowo mengumpamakan penghasilan di timnas itu hanya sebesar ongkos Bandung-Jakarta pulang pergi, Rukma malah menyebut "hanya cukup untuk membeli semangkuk bakso".
Ketika itu PSSI memberikan Rp 25,- per hari bagi setiap pemain [lihat investigasi Tempo edisi 14 Juli 1979]. Gaji pegawai negeri saat itu paling rendah adalah Rp 300 per bulan. Jadi, dalam 12 hari saja pemain sudah menerima uang saku sebesar gaji paling rendah pegawai negeri saat itu. Maka, uang saku Rp 25 per hari itu memang tidak bisa dikatakan besar, tapi tentu berlebihan jika dibilang hanya cukup untuk membeli semangkuk bakso.
Tapi angka itu memang tidak seberapa jika menengok angka yang disodorkan oleh para bandar judi dan pengatur skor. Seperti dilaporkan Tempo, uang yang disodorkan bandar untuk laga melawan Yugoslavia Selection yang berkesudahan 2-3 -- laga ini oleh pengadilan disebut sebagai salah satu laga yang diatur -- sebesar 25 ribu rupiah.
Itu jelas angka yang luar biasa. Tidak usah dibandingkan dengan uang saku Rp 25 per hari yang diterima pemain, bandingkan saja dengan gaji pegawai saat itu. Jika membaca Peraturan Pemerintah No. 14 tahun 1962, di situ terbaca bahwa gaji tertinggi pegawai negeri adalah 4 ribu rupiah. Jadi, dalam satu laga saja, pemain bisa menerima 6 kali gaji pegawai negeri dari pangkat yang paling tinggi.
Rukma juga menjelaskan bagaimana pola hubungan antara pemain dan para pengatur skor. Menurutnya, hubungan dengan para bandar bisa dilakukan dengan berbagai jalan, di antaranya: berhubungan langsung dengan pemain, memakai perantara makelar, atau menggunakan pemain senior yang sudah makan asam garam memakan uang haram guna membujuk para pemain yang lebih muda.
Menilik pengakuan Rukma itu, maka benarlah yang dikatakan Declan Hill dalam bukunya The Fix: Soccer and Organize Crime. Hill juga mengatakan hal yang kurang lebih sama. Jika Rukma menggunakan istilah "makelar" untuk para perantara, Declan menggunakan istilah "fixer".
Rukma sendiri menyangkal jika dianggap setiap pertandingan di era itu sudah diatur oleh mafia pengaturan skor. Dengan meyakinkan, Rukma mengatakan: "Kita memang pernah main dengan bandar, tapi kita main untuk bisa menang."
Terkait Skandal Senayan 1962, Rukma mengatakan bahwa dia dan rekan-rekannya yang kena skorsing sangat kecewa dan merasa ditumbalkan oleh pengurus PSSI. "Kenapa pemain yang hanya diselidiki, harusnya orang-orang di lingkaran luar baik itu pengurus PSSI maupun bandar dan petaruh juga diselidiki," keluhnya.
Keluhan Rukma ini menegaskan sekali lagi bahwa memang bukan PSSI yang memeriksa dan membongkar kasusnya. Skandal Senayan 1962 ini dibongkar lewat penyelidikan yang dilakukan oleh KOGOR yang didominasi oleh orang-orang militer, bukan PSSI.
Toh, karier Rukma dan 9 pemain yang diskorsing seumur hidup itu tidak habis. KOGOR Pusat akhirnya membebaskan para pemain yang terlibat "Skandal Senayan" itu dengan beberapa syarat, antara lain mengakui secara tertulis kesalahan yang diperbuat terhadap negara dan janji tidak akan melakukan perbuatan yang sama. Rukma dkk. juga harus menjalani masa percobaan Juni sampai Desember 1963. Pengurangan hukuman itu jelas terkait persiapan timnas menghadapi Ganefo, pesta olahraga negara-negara kiri yang diinisiasi oleh Presiden Soekarno.
Skorsing seumur hidup terhadap Ramang dan Noorsalam dari PSM serta 3 pemain PSIM di tahun 1961 juga akhirnya dikurangi. Skorsing seumur hidup terhadap Rukma dan 9 rekannya di Skandal Senayan 1962 juga akhirnya direvisi. Tapi setidaknya, di masa lalu, mafia pengaturan skor pernah diselidiki dan berhasil dibuktikan dan bukan sekadar omong-omong serupa gosip seperti di zaman sekarang.
Bahwa semua penyelidikan dan skorsing itu dilakukan oleh klub dan KOGOR, bukan oleh PSSI, itu juga menegaskan betapa sejak dulu PSSI memang mandul dalam soal aib suap yang satu ini.
Baca juga:
Bagian 1: Judi dan Match Fixing di Indonesia: Fenomena Judi Toto
Bagian 2: Tauke dan Ramang yang Diskors Karena Suap
Bagian 3: 10 Pemain yang Terlibat di Skandal Suap Senayan 1962
Foto: Picture Alliance/DPA
Tulisan ini lebih dulu tayang di About the Game, detiksport, dengan perubahan secukupnya.
Komentar