Selama dua musim terakhir, Sunderland selalu akrab dengan kekecewaan. Film dokumenter bertajuk ‘Sunderland Till I Die’ yang tayang di Netflix, mencoba mengabadikan emosi, kesedihan, dan kekecewaan tersebut.
Pada 2016/17 Sunderland harus terdegradasi untuk pertama kalinya dalam kurun waktu 10 musim terakhir setelah mendekam di dasar klasemen Liga Primer Inggris. Pada musim itu Sunderland hanya mencatatkan 24 poin dari keseluruhan 38 laga, hasil dari 6 kemenangan, 6 hasil imbang dan 26 kekalahan. Selain itu Sunderland juga menjadi kesebelasan dengan jumlah kebobolan terbanyak ketiga pada musim tersebut, dengan 69 kebobolan, hanya kalah dari Swansea City (70 kebobolan) dan Hull City (80).
Selama bermain di Divisi Championship musim berikutnya, nasib Sunderland tidak juga berubah. The Black Cats kembali finis di dasar klasemen. Sunderland pun harus terdegradasi ke divisi kedua kompetisi sepakbola Inggris, League One, untuk pertama kalinya sepanjang sejarah.
Kisah sedih dan usaha untuk bangkit dari keterpurukan tersebut dikemas dalam delapan episode ‘Sunderland Till I Die’.
“Sangat menyedihkan, kami semua sudah muak,” ujar salah satu pendukung Sunderland dalam trailer film tersebut. “Tidak banyak orang yang merasa mudah di Sunderland. Ini adalah tempat yang sulit,” ujar salah seorang pemegang tiket musiman Sunderland, Peter Farrer, seperti dilansir The Guardian.
Film tersebut diproduksi oleh Fulwell 73, sebuah perusahaan yang dimiliki oleh para pendukung Sunderland. Perusahaan yang bermarkas di bekas kandang Sunderland, Roker Park tersebut diberi amanat untuk memproduksi sebuah film dokumenter oleh mantan pemilik kesebelasan asal Amerika Serikat yang telah meninggal dunia, Ellis Short.
Film dokumenter tersebut dibuat dengan tujuan menarik minat para investor untuk membeli Sunderland.
Tangisan, jeritan, dan keputusasaan para pendukung Sunderland adalah sajian utama dalam fim tersebut. Terdapat adegan di mana gelandang Sunderland, Darron Gibson, memarahi rekan setimnya dengan kata-kata kasar. Lalu terdapat pula adegan menyentuh di mana seorang pastor bersama dengan para pendukung kesebelasan sedang mendoakan Sunderland di Gereja St.Mary.
“Mari kita berdoa untuk klub sepakbola Sunderland dan kota kita. Bimbing kami dalam cinta kami terhadap kota dan kesebelasan kami. Untuk cinta yang lahir dari gairah. Bantu kami melewati segala amarah dan kekesalan kami,” katanya.
Film dokumenter tersebut juga bercerita mengenai mantan manajer mereka, Simon Grayson, yang hanya bertahan selama empat bulan. Grayson yang menggantikan David Moyes saat itu dipercaya untuk mengembalikan performa Sunderland setelah terdegradasi dari Liga Primer Inggris 2017 silam.
Namun alih-alih mengangkat performa, Grayson malah mencatatkan performa yang tak kalah buruk. Selama ditangani Grayson, Sunderland hanya mencatatkan 3 kemenangan, 7 hasil imbang, dan 8 kekalahan. “Dia (Grayson) memimpin tim Sunderland terburuk sepanjang ingatan dalam hidup kami,” ujar salah seorang pendukung Sunderland.
Saat ini Sunderland sedang berjuang untuk promosi kembali ke Divisi Championship. Manajer anyar, Jack Ross, yang baru ditunjuk musim panas lalu dipercaya untuk mengangkat kesebelasan asal kota Newcastle tersebut dari keterpurukan.
Sunderland menduduki posisi ketiga klasemen sementara League One, terpaut 5 poin dari pemuncak klasemen, Portsmouth. “Kami ingin promosi otomatis untuk memenangi liga,” ujar gelandang Sunderland, Lee Cattermole, pada episode pertama.
‘Sunderland Till I Die’ adalah film sepakbola lainnya. Sebelumnya ada ‘All or Nothing’ yang bercerita tentang Manchester City.
(ham/dex)
Komentar