Tahun 2018 tak berjalan baik buat saya. Tim yang saya bela, Persipura Jayapura, selesai di peringkat 12 liga. Biasanya kami ada di peringkat atas. Calon kuat juara. Tapi yang terjadi kami menjalani musim yang berat.
Awalnya mungkin Persipura kembali jadi calon juara liga musim 2018. Tapi saya sendiri, juga para pemain senior lain, sudah sadar kalau musim ini kayaknya bakal berat. Di luar orang tidak tahu, tapi di dalam kami tahu kalau persiapan kami kurang baik. Faktor utamanya masalah sponsor di awal musim.
Kalau boleh jujur, kami menjalani musim dengan tidak tenang. Puji Tuhan kami bisa menyelesaikan musim ini. Terima kasih buat masyarakat Papua yang selalu mendoakan kami. Kami pemain berterima kasih pada Pak Tommy Mano dan Pak Rudi Maswi yang terus memutar otak supaya kami bisa tetap bertahan di Liga 1.
Karena penampilan Persipura yang kurang bagus juga saya tidak ikut timnas ke Piala AFF 2018. Saya pernah dipanggil lawan Mauritius. Partai persahabatan. Waktu itu saya diberi tahu kalau nanti bakal kumpul lagi. Tapi ternyata tidak ada panggilan lagi.
Saya dengar banyak masyarakat yang kecewa tidak ada saya, juga tidak ada pemain Papua lain, yang dibawa ke Piala AFF 2018. Mungkin mereka kecewa karena menganggap kalau kami Papua pun bagian dari Republik Indonesia tapi tak ada perwakilan seperti biasanya. Tapi itu semua saya kembalikan ke pelatih. Kami tetap mendukung. Buat saya, dipanggil atau tidak, itu keputusan pelatih. Pelatih yang tahu. Apapun yang terbaik untuk timnas, kami serahkan semua kepada pelatih.
Kalau saya lihat materi pemain timnas di Piala AFF kemarin sudah bagus. Coach Bima memilih pemain yang saya rasa memang layak tampil untuk timnas Indonesia. Dibanding Thailand tidak kalah bagus. Febri Hariyadi dan Irfan Jaya punya kecepatan. Evan Dimas, Hansamu Yama, semua bermain bagus.
Tapi memang, saya melihat ada satu hal yang tidak dimiliki skuat Indonesia di Piala AFF 2018 kemarin: pemain senior. Bermain di timnas itu butuh pemain senior yang bisa mengayomi, mengatur dan jadi panutan pemain lain. Saya lihat tidak ada kemarin.
Saya tidak bilang saya yang harusnya ada di sana. Banyak pemain senior lain yang juga bisa jadi sosok pemimpin di lapangan. Pelatih hanya bicara di luar. Di pertandingan, saya rasa harus ada yang bisa jadi panutan, entah itu soal strategi, motivasi, maupun kemampuan.
Kemarin diisi banyak pemain muda. Mereka tidak bisa main sendiri. Harus ada pemimpin. Harus ada leader, harus ada orang yang mengatur mereka di lapangan. Buktinya, ketika mereka sudah bagus, tapi waktu mereka kena tekanan, mulai hilang konsentrasi. Itu mungkin yang akhirnya timnas gagal lagi di Piala AFF.
***
Berbicara soal timnas, saya adalah orang yang percaya kalau suatu hari nanti, timnas Indonesia bisa ke Piala Dunia. Indonesia banyak pemain pemain berkualitas. Pemain-pemain muda potensial terus bermunculan. Bahkan di sini, di Papua, pemain seperti Rivaldo Todd Ferre atau Gunansar Mandowen, banyak sekali.
Di Papua, banyak talenta yang kurang terpantau. Saya lihat sendiri, banyak sekali potensi di sini. Saya selalu berharap pelatih-pelatih timnas sering-sering cari pemain di sini. Kalau jeli, saya yakin Indonesia bisa menemukan talenta lain seperti Todd Ferre, atau mungkin Boaz Solossa berikutnya. Saya sendiri selalu berharap kalau pelatih-pelatih di pusat sana bawa pemain Papua banyak-banyak ke sana.
Anak-anak Papua banyak yang ingin menjadi seperti saya, Boaz Solossa. Banyak juga talenta anak-anak di sini yang bisa seperti saya atau mungkin melampaui saya. Tapi anak-anak di sini perlu mendapatkan bimbingan.
Saya melihat pengalaman saya pribadi. Saya beruntung punya ayah yang mendukung saya bermain sepakbola. Saya ingat sekali, ayah pernah bilang, “Kamu pasti bisa berkarier di sepakbola, Boaz”. Itu saya masih SMP.
Waktu SMP itu, saya sedang bandel-bandelnya. Sama seperti seperti anak-anak Papua kebanyakan. Saya di sekolah sering dipanggil guru karena kenakalan atau tidak disiplin. Saya sering bolos, sering berantem dengan teman. Padahal di rumah saya tidak berani seperti itu.
Saya awalnya berpikir, itu adalah kewajaran anak-anak. Tapi setelah mengenal sepakbola, setelah ayah saya terus meyakinkan kalau saya punya bakat, saya mulai harus meninggalkan yang tidak baik. Ayah saya selalu mewanti-wanti kalau saya tidak boleh terlalu nakal demi karier sepakbola saya.
Tahun 2000, ayah saya dipanggil Bapak ke surga. Ayah meninggal. Ibu saya sempat tidak mengizinkan main bola lagi. Ibu sempat bilang, saya harus menamatkan sekolah. Tapi saya selalu ingat perkataan ayah, kalau saya bisa berkarier di sepakbola. Akhirnya saya berusaha menjalankan keduanya. Saya membagi sekolah dan belajar dengan baik. Kalau waktunya sekolah, harus ingat sekolah. Ada pertandingan, fokus pertandingan. Akhirnya ibu saya mendukung juga saya untuk terus bermain sepakbola.
Anak-anak seperti saya ini banyak di Papua. Tapi banyak dari mereka yang bakat dan kemampuannya tidak tersalurkan. Tak banyak orang tua di sini yang mendukung anak-anaknya bermain bola.
Saya ingat, waktu saya kelas 1 SMP, ada pertandingan antar sekolah di Sorong. Teman-teman saya takut untuk ikut kompetisi. Tapi saya memberanikan diri, karena selalu ingat apa yang dikatakan ayah saya. Mereka mungkin memang tak begitu didukung di sepakbola. Makanya saya bilang, saya beruntung punya ayah yang mendukung saya berkarier di sepakbola. Tak cuma saya, dua kakak saya, Ortizan dan Nehemia, juga bisa berkarier di sepakbola.
Puji Tuhan, apa yang ayah saya bilang benar. SMA, saya bisa masuk tim PON Papua. Bahkan tim PON saya itu bisa jadi juara, walau berstatus juara bersama dengan tim PON Jawa Timur. Waktu itu pertandingan waktu normal berakhir skor 1-1 sementara hari sudah gelap, stadion di Palembang itu tidak punya lampu. Di samping itu, kedua tim sudah capek juga dengan faktor-faktor non-teknis yang menunjukkan kalau panitia penyelanggara tidak siap.
Tapi bagaimanapun, kesuksesan bersama tim PON Papua adalah pintu buat saya menjadi seseorang di sepakbola Indonesia. Itu kebahagiaan yang saya selalu ingat. Karena penampilan saya bersama tim PON Papua itu, saya juga dibawa Peter Withe ke Piala Tiger (sekarang Piala AFF) 2004 padahal usia saya waktu itu masih 18 tahun.
Di usia muda saya sudah bisa bermain di timnas senior bahkan bersaing dengan penyerang seperti Ilham Jaya Kesuma, Saktiawan Sinaga, dan Kurniawan Dwi Yulianto. Beruntung juga kaki kanan dan kiri saya cukup bagus. Saya sadar tidak bisa jadi penyerang tengah. Dengan postur saya, tidak bagus jadi penyerang tengah; posisi yang sebenarnya saya inginkan sejak awal karier. Tapi dengan kekuatan di kedua kaki, saya bisa dipasang di wing kanan atau kiri.
Perjalanan sepakbola saya menuntun saya ke Persipura Jayapura: kesebelasan yang saya cintai sejak kecil. Di kesebelasan ini juga saya merasakan momen terbaik saya, yaitu ketika membawa tim juara liga untuk pertama kalinya, tahun 2005. Momen itu cukup ajaib buat saya karena di final, lawan Persija Jakarta, saya bermain dengan masalah di kaki saya. Puji Tuhan, saya bisa buat gol. Gol pertama Persipura sebelum akhirnya kami menang 3-2.
Kesuksesan itu membuat nama saya melambung. Mulai banyak tim goda saya. Bahkan ada isu saya ke Arsenal atau ke Liga Jerman, dan tim luar negeri lain. Tapi faktanya tidak pernah ada komunikasi langsung. Tidak ada. Mungkin dari media massa dan media sosial yang memulai itu.
Sebenarnya kalau tawaran itu benar-benar ada, siapa sih yang tidak mau? Bukannya saya mau mengkhianati cinta saya untuk Persipura. Waktu itu saya pikir kesempatan saya main di luar negeri bisa jadi pembuka celah untuk pemain Indonesia lain. Kalau ditanyakan “Kamu dari mana?”, “Saya dari Indonesia.” Saya bisa buka peluang buat seluruh pemain Indonesia.
Tapi berita itu simpang siur. Akhirnya saya tidak menghiraukan lagi soal berita itu dan memilih fokus untuk Persipura. Bahkan setelah itu saya bilang ke diri saya sendiri, apapun yang terjadi, saya akan bertahan di Persipura, di tanah kelahiran saya, karena saya sangat mencintai Persipura.
Klub Indonesia lain banyak juga yang mau rekrut saya. Apalagi di zaman Persipura kaptennya Kakak Edu [Ivakdalam]. Tapi saya selalu bilang kalau saya tidak akan ke mana-mana. Apalagi saya juga jadi kapten tim pengganti Kakak Edu. Beberapa tahun di Persipura, akhirnya peminat saya mulai berkurang. Mereka tahu kalau berat untuk buat saya mau pindah.
Betul, saya pernah main di Borneo FC tahun 2015. Tapi waktu itu saya tak pernah ada niat tinggalkan Persipura. Ini hanya karena Persipura tidak ikut Piala Presiden. Buat saya, ikut Piala Presiden tujuannya untuk menjaga kebugaran dan kondisi. Sama juga ketika saya main di Timor-Leste. Kebetulan hubungan manajemen Persipura dan Borneo sangat baik. Saat ke sana pun saya bilang baik-baik ke Ketua Umum kalau saya akan balik lagi setelah Piala Presiden. Makanya setelah Piala Presiden, juga setelah sepakbola Indonesia kembali berjalan, saya kembali ke Persipura.
Sudah jadi rencana kalau saya mau pensiun di Persipura. Puji Tuhan, sekarang pun saya masih di Persipura.
***
Kembali lagi ke soal timnas, saat ini timnas Indonesia masih belum bisa berprestasi. Saya tidak menyalahkan PSSI. Buat saya kepemimpinan Pak Edy Rahmayadi sangat bagus. Dia mulai libatkan tim mulai U-16.... U-19.... Saya setuju dengan apa yang dikatakan coach Fachry Husaini yang mengatakan kalau di era Pak Edy pemain muda kita bisa muncul. Ada regenerasi yang siap menggantikan pemain senior.
Tapi memang perlu diakui kalau sepakbola Indonesia sudah ketinggalan dibanding negara lain. Kalau zaman saya di timnas, lawan terberat waktu itu Singapura atau Malaysia, karena mereka yang sering masuk final AFF. Thailand belum sehebat sekarang. Laos, Myanmar, atau Filipina itu tidak berbahaya. Tapi lihat sekarang ini, sepakbola mereka mulai naik. Indonesia bisa mereka kalahkan.
PSSI memang harus memberikan yang lebih terbaik buat liga kita. Kalau timnas ingin berjaya, setidaknya di Piala AFF, kita memang harus membenahi liga kita.
Selama saya bermain, yang menurut saya faktor utama sepakbola Indonesia ambruk adalah wasit. Ini biang keroknya. Kami para pemain selalu terima apapun yang terjadi. Kalah-menang, itu biasa di sepakbola. Tapi kepemimpinan wasit bisa buat kami bermain kasar atau mengeluarkan kata-kata yang sebenarnya tidak perlu. Kalau dia pimpin fair, kalau dia pimpin baik, kami bisa terima kalah sekalipun. Kita tidak bisa selamanya menang.
Sepakbola negara lain sudah ditata rapi, akhirnya timnasnya bagus. Tapi di Indonesia, wasit model seperti begini, entah itu wasit di Liga 1, Liga 2 atau Liga 3, bagaimana Indonesia bisa bicara di timnas? Tim tidak bisa main dengan performa terbaik.
Di liga kita, yang pelanggaran, peluit tidak ditiup. Yang tidak pelanggaran, peluit ditiup. Kita buat sedikit, ditiup. Buat sedikit, ditiup. Tidak bisa wasit Indonesia seperti itu terus. Jadi untuk berbicara timnas, liga kita dulu benahi. Mulai dari wasit. Ini yang paling pertama kuncinya.
Sebenarnya ada satu lagi. Soal mafia. Saya tidak akan berbicara banyak. Tapi hal seperti ini harus segera dihapuskan. Ini berbahaya sekali. Kalau masih seperti ini, sepakbola Indonesia akan berjalan di tempat. Kalau ini tidak dibenahi, pasti akan susah buat Indonesia bisa maju.
Apapun itu, saya tidak pesimis dengan masa depan sepakbola Indonesia. Saya percaya para pemain muda Indonesia bisa melakukan itu kelak.
Yang paling penting mereka harus hati-hati dalam menjalani karier. Jangan cepat berpuas diri. Banyak sekali pemain-pemain kita, khususnya di Papua, kalau mereka sudah main di timnas mereka merasa sudah ada di atas.
Kalau di sini, saya selalu tegur mereka untuk hati-hati. Di timnas usia muda dipakai, di klub belum tentu. Sulit menembus pemain senior. Kadang-kadang mereka cepat tidak terima dengan kondisi itu, "kok di timnas main, di klub tidak?".
Kalau para pemain muda sudah bisa mengatasi itu, mereka akan terbentuk menjadi pemain yang hebat untuk timnas. Saat itulah Indonesia punya pemain-pemain yang bisa membawa kita ke Piala Dunia.
Komentar