Tidak ada yang salah dengan "terpilihnya" Joko Driyono sebagai Pelaksana Tugas (Plt.) Ketua Umum PSSI usai Edy Rahmayadi mengundurkan diri. Hal itu sesuai dengan Statuta PSSI Pasal 39 ayat 6: Wakil Ketua Umum dengan usia tertua akan menggantikan. Waketum PSSI ini adalah Joko Driyono dan Iwan Budianto.
Tapi memang publik kadung kehilangan kepercayaan pada sosok yang akrab disapa Jokdri tersebut. Lama berkecimpung di kepengurusan PSSI, dirinya lebih akrab dengan kontroversi. Rekam jejaknya untuk mencapai posisi tertinggi di PSSI cukup dilumuri dengan catatan-catatan merah.
Joko Driyono disebut-sebut sudah jadi bagian dari PSSI sejak 1991. Tapi dirinya lebih lekat dengan sosok Nirwan Bakrie. Pada 2003, Nirwan yang merupakan Wakil Ketua Umum PSSI ketika itu merupakan pemilik Pelita Krakatau Steel. Nirwan-lah yang merekrut Jokdri sebagai Manajer Pelita KS.
Nirwan sudah dikenal sebagai sosok yang kontroversial, sebagaimana Ketua Umum PSSI era saat itu, Nurdin Halid. Pada 2011, ketika terjadi dualisme federasi, FIFA menolak pencalonannya sebagai Ketua Umum PSSI bersama tiga nama lain, yakni Nurdin Halid, George Toisutta, dan Arifin Panigoro. Hasil investigasi Komite Normalisasi FIFA, keempatnya tidak memenuhi electoral code.
Sebelum itu, Nirwan adalah sosok yang dikritik oleh publik karena politisasinya terhadap Timnas Indonesia pada Piala AFF 2010. Sebelum final melawan Malaysia, Nirwan mengundang para pemain timnas, termasuk sang pelatih, Alfred Riedl, ke kediamannya dengan topeng acara pengajian. Padahal Riedl ketika itu tak suka para pemainnya diperlakukan seperti itu karena mengganggu persiapan tim.
Nama Nirwan tak lagi nongkrong di kepengurusan PSSI setelah dualisme federasi terselesaikan. Tapi jejak-jejaknya masih hadir dalam sosok Jokdri.
Pelita KS memang tak lagi dimiliki Nirwan sejak 2006. Tapi Jokdri tak kehilangan pekerjaannya. Sebelum Pelita bubar dan kemudian berganti-ganti nama, Jokdri sudah diangkat menjadi Direktur Kompetisi Badan Liga Amatir Liga Indonesia oleh Andi Darussalam Tabusalla. Andi Darussalam sendiri merupakan senior Nirwan di persepakbolaan Indonesia.
Andi Darussalam sudah ada di lingkaran PSSI sejak 1980. Ia lekat dengan Nugraha Besoes, Sekjen PSSI yang "fenomenal", sejak 1980an. Andi merupakan sosok yang "mengajak" Nirwan terjun ke dunia sepakbola, apalagi keduanya juga bekerja sama dalam penuntasan kasus Lapindo.
Dengan rekam jejak itu, Jokdri dianggap peninggalan rezim Nugraha Besoes, Nirwan Bakrie dan Andi Darussalam. Meski ketiganya sudah tak terlibat di kepengurusan PSSI, kehadiran Jokdri membuat rezim ini tidak sepenuhnya hilang. Nirwan sendiri pernah mengatakan: "Saya tetap membantu PSSI siapa pun ketua umumnya dan anggota-anggota komite eksekutif (Exco). Sepakbola sudah jadi bagian hidup saya. Saya akan tetap membantu PSSI dan tim nasional.”
Bahkan pada 2014 sempat ditemukan bahwa Nirwan Dermawan Bakrie pernah meminjamkan Rp10.287.891.470 kepada PSSI. Uang tersebut dipakai sebagai biaya operasional PT Liga.
Pertama Kali Rangkap Jabatan
Kebetulan atau tidak, karier Jokdri di PSSI memang melonjak cepat. Tahun 2009 ia diangkat jadi Direktur Kompetisi PT Liga Indonesia. Artinya Jokdri yang sebelumnya mengurusi sepakbola amatir sudah mulai naik level dengan mulai mengurusi sepakbola profesional.
Dua tahun berselang, jabatan CEO PT Liga Indonesia berhasil raih. Posisi Direktur Kompetisi sendiri tak dilepasnya. Setidaknya inilah pertama kali Jokdri rangkap jabatan.
Pengaruh besar Jokdri di sepakbola Indonesia sudah terlihat saat itu. Dia adalah sosok yang mencetuskan Indonesia Super League (ISL) yang merupakan liga dengan sistem kompetisi penuh (meski pada 2013 dan 2014 kembali menggunakan babak 8 besar hingga final). ISL inilah yang menghilangkan pembagian wilayah di divisi teratas Liga Indonesia, yang bertahan sampai sekarang.
Namun di awal-awal menjabat sebagai CEO PT Liga, Jokdri sudah mencuri perhatian dengan kebijakan yang mengernyitkan dahi. Ingat dengan nasib Persebaya pada ISL 2009/10? Isu yang beredar saat itu adalah Persebaya "dikerjai" PT Liga yang tebang pilih dalam penentuan jadwal.
Laga Persik vs Persebaya yang menjadi laga penentuan degradasi diundur tiga kali dengan alasan tak mendapat izin keramaian dari kepolisian. Akhirnya Persebaya dinyatakan kalah WO karena merasa Persik harusnya sudah dinyatakan kalah WO ketika gagal menggelar pertandingan pada jadwal kedua yang dirilis PT Liga (dibaca: Jokdri) sehingga urung datang ke Palembang yang menjadi tempat pertandingan Persik vs Persebaya.
Persebaya akhirnya terdegradasi. Begitu juga dengan Persik, karena yang selamat adalah Pelita Jaya. Tapi degradasinya Persebaya inilah yang menjadi cikal bakal kisruh kepemilikan dalam tubuh Persebaya bergulir, sampai melahirkan kesebelasan bernama Persebaya 1927, Bonek FC, Surabaya United, selain Persebaya Surabaya yang namanya diperebutkan. Lahirnya Bhayangkara FC juga tak lepas dari kontroversi dualisme Persebaya.
Peran dalam Kisruh ISL dan LPI
Jokdri memang dikenal sebagai spesialisasi pengaturan jadwal. Pada dualisme ISL dan LPI, LPI kelabakan soal jadwal sejak pertandingan pertama, di mana pemain, pelatih, manajer dari klub-klub pesertanya langsung mengeluh. Berbeda dengan ISL di mana Jokdri berada, ISL berjalan "lancar". Bahkan setelah dualisme selesai, LPI bubar dan ISL "buatan" Jokdri tetap menjadi kompetisi divisi teratas Liga Indonesia.
Jokdri juga terlibat dalam masalah yang dialami Pro Duta FC. Dalam unifikasi liga pasca meleburnya ISL dan LPI, Pro Duta sejatinya salah satu kesebelasan eks IPL yang berhak tampil di ISL 2014 karena mereka berhasil menjuarai play-off. Tapi karena tak jelas perihal stadion dan infrastruktur lainnya, Pro Duta, bersama Perseman Manokwari dan Persepar Palangkaraya, dinyatakan tidak lolos verifikasi sehingga urung tampil di ISL 2014.
Keputusan tersebut terbilang aneh. Pro Duta dianggap tidak memenuhi aspek infrastruktur karena tak punya stadion padahal Stadion Singaperbangsa yang mereka pilih, juga dipilih Persita Tangerang sebagai homebase. Sementara itu PSM Makassar yang juga berasal dari LPI memakai Stadion Gelora Mandiri yang terletak di Parepare.
Awalnya dalam proses unifikasi ISL dan IPL ini, ISL akan diikuti oleh 18 tim ISL plus 4 klub IPL. Empat kesebelasan dari IPL ini ditentukan lewat babak play-off yang diikuti 10 kesebelasan IPL dibagi ke dalam dua grup. Anehnya, Semen Padang langsung dinyatakan lolos verifikasi.
PSSI, melalui Jokdri, mengatakan tiga tim lain yang berhak diverifikasi akan ditentukan dari tiga terbaik dari play-off. Pro Duta menjadi juara setelah mengalahkan Persepar di babak final. Tapi keduanya tetap tak bisa ke ISL. PSSI akhirnya memilih PSM, Persijap Jepara, dan Persiba Bantul yang berhak tampil di ISL 2014.
https://twitter.com/panditfootball/status/1087620957739671552
Dengan segala masalah yang ada, posisi Jokdri di kepengurusan sepakbola Indonesia tak terganggu. Pada 2014 tersebut, ia diangkat menjadi Sekjen PSSI. Posisi CEO PT Liga Indonesia tak dilepasnya, apalagi RUPS memang menginginkan Jokdri tetap menjadi CEO PT Liga Indonesia.
Tekanan pada Jokdri pun semakin nyaring karena rangkap jabatan Jokdri saat itu tidak masuk akal, kedua jabatannya penting di masing-masing organisasi.
Pengatur Jadwal Bahkan Ketika Sepakbola Indonesia Disanksi FIFA
Jokdri kembali mendapatkan sorotan karena ketidaktegasannya pada kesebelasan-kesebelasan yang menunggak gaji pemain. Masalah yang muncul saat itu masih seputar verifikasi tim, terlebih munculnya keterlibatan BOPI yang berupaya menjadikan sepakbola Indonesia lebih profesional.
Namun tetap saja, Jokdri memberikan toleransi pada kesebelasan-kesebelasan penunggak gaji. ISL yang kala itu bernama QNB League pun tetap bergulir sesuai jadwal meski mendapatkan tekanan dan kritikan dari Menpora, Imam Nahrawi.
Dalam kisruh PSSI vs Menpora yang berujung sanksi FIFA terhadap Indonesia, Jokdri adalah sosok yang memutuskan liga tetap jalan meski PSSI dibekukan. Padahal ketika itu Arema Cronus dan Persebaya Surabaya masih dinyatakan tidak boleh berlaga karena perihal legalitas. Walau memang, pada akhirnya QNB League 2015 itu hanya berjalan selama dua pekan saja.
Intervensi Menpora saat itu, yang berbuah sanksi FIFA terhadap PSSI, tak lepas dari hasil Kongres Luar Biasa yang menjadikan La Nyalla Mattalitti sebagai Ketua Umum PSSI 2015-2019. Ketika itu Jokdri pun sebenarnya maju sebagai calon Ketua Umum PSSI. Tapi bersama Achsanul Qosasih, Jokdri mengundurkan diri dari pencalonan jelang pemilihan Ketum dimulai.
Ketika sepakbola Indonesia mati suri, Jokdri tak kehilangan peran. Pada 2016, ia menjadi Direktur Utama PT Gelora Trisula Semesta yang menggulirkan Indonesia Soccer Championship, sebagai kompetisi tak resmi berformat liga. ISC sendiri terbilang berjalan dengan lancar sampai menghasilkan Persipura Jayapura sebagai juara.
Menpora mencabut pembekuan PSSI yang disambut FIFA yang juga mencabut hukumannya terhadap PSSI. PSSI kembali aktif. Langkah yang mereka lakukan pertama tentu memilih ketua umum baru. Jokdri tak lagi maju sebagai calon ketum, tapi ia mencalonkan diri sebagai wakil ketua umum.
Kepercayaan pemegang hak suara KLB nyatanya tinggi pada Jokdri (dan Iwan Budianto). Dari 107 suara, ia mendapatkan 78 suara, sementara Iwan Budianto 73 suara (voters memilih dua nama). Jokdri dan Iwan terpilih jadi waketum dengan mengalahkan 12 calon lain, yang di antaranya adalah Erwin Aksa dan Hinca Panjaitan. Edy Rahmayadi, sementara itu, terpilih jadi Ketum PSSI setelah menang telak.
Ketum Berganti-ganti, Jokdri Tetap di Sana, sampai Jokdri yang Menjadi Ketum
Pada 2016, di tahun yang sama ketika Edy terpilih menjadi Ketum PSSI, Jokdri mengakuisisi Persija Jakarta lewat PT Jakarta Indonesia Hebat. Ia merupakan pemilik saham 95% perusahaan yang memiliki saham Persija Jakarta sebesar 80%.
Dengan posisinya sebagai waketum, Jokdri seolah mencontoh Nirwan yang sebelumnya menjabat sebagai waketum sekaligus pemilik klub. Bahkan sempat ada isu muncul bahwa Nirwan-lah yang mendanai Jokdri dalam memiliki saham Persija, tapi Jokdri menampiknya.
Di samping segala kontroversinya, Jokdri tetap punya nama besar di persepakbola Asia. Pada 2017 juga ia terpilih sebagai Wakil Presiden AFF menggantikan wakil presiden yang mundur. Menurut Sekjen AFF, Dato Sri Azzudin, Jokdri merupakan sosok yang punya ide-ide cemerlang.
Dengan segala kecemerlangannya itu, Jokdri kini mencapai PSSI Satu sebagai Ketua Umum PSSI. Posisi ini sebenarnya bukan hal baru baginya karena pada 2018 pun ia sempat mengemban tugas yang sama walau hanya tiga bulan, terkait pencalonan Edy Rahmayadi sebagai Gubernur Sumatera Utara. Walau hanya sebagai Plt, tapi ada periode satu tahun baginya untuk mengemban tugas ini.
Ya, kemungkinan PSSI belum akan memilih ketua umum baru mengingat "rezim Edy Rahmayadi" akan berakhir pada 2020 alias satu tahun mendatang.
Secara tidak langsung, dalam satu tahun ke depan, Joko Driyono benar-benar akan menjadi sosok nomor satu di PSSI setelah selama ini lebih banyak memberikan pengaruh besar di belakang layar. Bukan tak mungkin apa yang akan terjadi dalam satu tahun ke depan akan membuatnya benar-benar menempati kursi Ketua Umum PSSI, posisi yang ia idamkan pada 2015 lalu.
Komentar