Oleh: Galehluya*
Akhir-akhir ini masyarakat Indonesia sedang ramai membicarakan tentang pengaturan skor, mafia, dan pelanggaran lainnya dalam sepakbola Indonesia. Hal ini ramai dibicarakan karena banyak kejanggalan yang terjadi selama pertandingan berlangsung baik di kompetisi tingkat tertinggi Indonesia, Liga 1, maupun kompetisi di bawahnya, Liga 2 dan Liga 3.
Lebih parah lagi, kita dipaksa memutar memori sedih di final Piala AFF 2010. Setelah ditelusuri, bukan lamunan euforia yang meluluhlantakkan semangat Sang Garuda. Namun, ada batu kerikil yang berdampak besar terhadap runtuhnya dinding yang sudah dibangun dengan kokoh dan megah. Batu kerikil tersebut konon ulah mafia.
Ada oknum yang menodai sportivitas sepakbola di negeri ini. Hal tersebut seharusnya tidak terjadi karena sejatinya sepakbola merupakan sekaligus olahraga yang membuat masyarakat mendambakan hidup yang sehat.
Tetapi nyatanya olahraga lebih dari sekadar hiburan dan olahraga. Mungkin hal di atas adalah segelintir contoh yang dilakukan oleh beberapa oknum yang menginginkan cara instan untuk memenangkan sebuah pertandingan, menjadi juara, dan mempunyai uang yang banyak.
Sebenarnya pelanggaran-pelanggaran yang terjadi di sepakbola Indonesia itu berawal dari budaya kecil yang sering diulang-ulang oleh sepakbola Indonesia sejak akar rumput. Misalnya, kita sering mendengar istilah pencurian umur di kompetisi usia dini. Budaya tersebut sudah sering kita dengar karena itu sudah akrab dengan persepakbolaan kita. Hal tersebut lazim dilakukan oleh sebagian oknum atau tim yang menginginkan sebuah kemenangan dan gelar juara yang diraih.
Hal di atas sebenarnya tidak bagus untuk kemajuan persepakbolaan di Indonesia. Bagaimana sepakbola kita mau maju, kalau sejak kecil saja sudah diajari untuk curang. Harusnya persepakbolaan tingkat usia dini dijadikan sebagai fondasi untuk membangun sepakbola yang bersih yang jauh hal-hal yang menodai sportivitas. Akan tetapi budaya tersebut masih terus diulang-ulang hingga kini.
Beranjak dari kompetisi junior kita beralih ke sepakbola antar-kampung (tarkam). Banyak dari kita mungkin pernah terlibat di dalamnya, karena tarkam bisa disebut pentasnya para pesepakbola amatir untuk unjuk gigi. Tarkam adalah hiburan masyarakat untuk merayakan pesta kemerdekaan atau perayaan besar lainnya. Maka dari itu, antusiasme masyarakat sangat tinggi sekali. Hal itu membuat kompetisi tarkam rentan sekali dengan kecurangan-kecurangan seperti menyogok wasit, pertandingan yang diatur sedemikian hebatnya, dan kecurangan lain yang berdampak pada tidak sehatnya sebuah kompetisi.
Akhir-akhir ini, kata “mafia”, “pengaturan skor”, dan “match-fixing” terus bergema di telinga masyarakat Indonesia. Ini memaksa saya untuk mengingat kejadian yang terjadi di masa yang pernah saya alami ketika bermain sepakbola bersama dengan teman sebaya dan warga kampung, dalam kompetisi liga antar-RT.
Kejadian tersebut adalah sebagian dosa dalam karier persepakbolaan yang pernah saya lakukan. Kalau kita masih ingat dengan kejadian “Sepakbola Gajah” antara PSIS Semarang dengan PSS Sleman 3 tahun yang lalu, hal serupa juga pernah saya lakukan di kesebelasan RT saya. Kami sengaja kalah dengan skor telak 0-8 hanya karena ingin menjegal langkah kesebelasan lain yang kami musuhi.
Akhirnya kesebelasan yang kami musuhi gagal melenggang ke partai selanjutnya karena kalah agregat gol, sementara kesebelasan kami tetap lolos bersama lawan yang mengalahkan kami 0-8. Hal tersebut membuat kami, para pemain, bangga dengan tersingkirnya tim musuh dari kompetisi. Kami bahkan merayakannya dengan tertawa riang.
Tetapi tidak lama kemudian, saat kami masih tertawa ada salah satu warga dari RT kami yang tidak setuju atas skenario yang sudah kami rencanakan. Ia menceramahi tim kami dengan nada sangat kesal karena kami tak sportif. Berbagai kritik keluar dengan membabi buta kepada tim kami. Tetapi itu sangat bernilai positif bagi kami, karena dengan omongan tersebut kami jadi lebih berpikir untuk ke depan; bahwa sepakbola bukan hanya tentang apa yang dilakukan sekarang, tetapi bagaimana juga untuk ke depannya. Bahwa sepakbola bukan hanya tentang apa yang kita capai, tetapi lebih ke hal-hal baik apa yang bisa kita lakukan lewat sepakbola. Dan banyak yang mesti kita lakukan lewat sepakbola tanpa mengesampingkan kata sportifitas.
Shocking therapy dari apa yang dilontarkan kepada tim kami memunculkan berbagai statement bahwa bagaimana sepakbola kita mau maju kalau dari hal yang kecil saja kita sudah jauh dari kata sportivitas? Bagaimana mafia mau keluar dari persepakbolaan Indonesia jika kita secara tidak langsung masih melakukan dosa yang dilakukan mafia walaupun dengan lingkup yang kecil?
Pencurian umur, menyogok wasit, skenario mengatur pertandingan sampai menutup mata ketika kesebelasan yang didukung melakukan hal tersebut, tanpa disadari, merupakan suatu tindakan yang kini sudah menjadi sebuah budaya bagi persepakbolaan di negeri kita. Jika dari diri kita sendiri sudah tidak melestarikan budaya tersebut, maka bukan hal yang tidak mungkin lagi, bahwasanya kita mempunyai harapan yang besar buat sepakbola di negeri yang kita cintai ini.
Kalau bukan kita, siapa lagi? Kalau bukan sekarang, kapan lagi? Mungkin itu jargon yang paling pas untuk mengusir penyakit yang menjangkit persepakbolaan di Indonesia. Semoga sepakbola Indonesia lekas sembuh.
*Penulis merupakan pesepakbola amatir yang ingin berbagi hal baik lewat sepakbola. Bisa dihubungi lewat akun Twitter di @Galehluya
**Tulisan ini merupakan hasil kiriman penulis melalui kolom Pandit Sharing. Segala isi dan opini yang ada dalam tulisan ini merupakan tanggung jawab penulis.
Komentar