Oleh: Edwin Syah*
Setiap manusia pasti berbeda-beda dalam menangani suatu masalah. Ada yang memilih untuk langsung menghadapinya, adapula yang cenderung memilih untuk lari dari masalah tersebut. Namun, ada satu tipe manusia yang kadang luput dari pengamatan kita, yaitu orang yang mencegah diri dari terjadinya masalah. Orang seperti ini biasa kita sebut sebagai orang yang “main aman”, atau dalam bahasa Inggris kita mengenalnya dengan istilah “play it safe”.
Orang yang biasa bermain aman jarang atau bahkan tidak mau mengambil risiko dengan membuat keputusan di luar kebiasaannya. Mereka terbiasa hidup di dalam zona nyamannya. Pengambilan keputusan seperti ini biasanya didasari atas ketidakmampuan seseorang dalam menghadapi tekanan. Jadi, daripada keluar dari zona nyaman dan menghadapi masalah yang tidak biasa dihadapi, mereka lebih memilih untuk hidup di dalam zona nyaman yang tingkat tekanannya lebih rendah.
Padahal, menurut teori psikologi dari Robert M. Yerkes dan John D. Donson, tingkat kedewasaan diri dalam menghadapi suatu tekanan hanya bisa didapatkan apabila kita seringkali keluar dari zona nyaman. Dengan begitu kita bisa dengan mudah menyesuaikan diri dengan tantangan yang berubah-ubah dari dunia luar.
Sepakbola dan Mindset
Sepakbola sebagai dunia yang sangat dinamis, tentu saja menuntut siapa saja yang terlibat di dalamnya untuk bisa menyesuaikan diri dengan cepat. Taktik yang saat ini dianggap sebagai sebuah pemikiran yang revolusioner, bukan tidak mungkin dalam satu atau dua tahun berikutnya akan dianggap sebagai sesuatu yang basi. Hal inilah yang memaksa para pelatih untuk terus keluar dari zona nyamannya agar bisa tetap menghasilkan taktik yang baru.
Bicara tentang sesuatu yang revolusioner, tentu kita ingat bagaimana pada musim 2008/2009 lalu Pep Guardiola membawa tiki-taka yang berasal dari skema Total Football yang telah disempurnakan. Dengan taktik tersebut Pep berhasil membawa Barcelona meraih Treble Winner di musim pertamanya. Bahkan tiki-taka ala Barcelona juga sedikit banyak memiliki andil atas kesuksesan Tim Nasional Spanyol dalam memenangi Piala Dunia 2010 dan Piala Eropa 2012.
Namun, tampaknya kelangsungan hidup tiki-taka tidak berjalan cukup lama. Sebab sekarang banyak kesebelasan sudah memiliki formula yang cukup efektif dalam menghentikannya, sebut saja dengan cara parkir bus. Ini bisa dilihat bagaimana taktik yang digunakan Inter Milan di semifinal Liga Champions 2010 dan Chelsea di semifinal Liga Champions 2012.
Dengan berakhirnya era tiki-taka, Barcelona kembali membuat skema baru dengan gaya bermain lebih cepat di era Luis Enrique dengan trio MSN yang lagi-lagi terbukti bisa meraih Treble Winner di musim pertama. Pada intinya, Barcelona selalu menggunakan prinsip “penyerangan adalah pertahanan terbaik” dalam setiap skema yang mereka gunakan.
Namun, ada hal yang menarik dari Barcelona tahun ini. Setelah tiga musim menangani Barca, Enrique akhirnya mengundurkan diri dari jabatan pelatih. Memasuki musim 2017/18 Barca memilih untuk mendatangkan pelatih Athletic Bilbao, yaitu Ernesto Valverde.
Barcelona yang Pragmatis
Ernesto Valverde memang sudah dikenal sebagai pelatih yang mengedepankan keseimbangan dalam permainan: kuat dalam menyerang namun harus kuat juga dalam bertahan. Pelatih dengan pemikiran seperti ini tampaknya memang orang yang dibutuhkan oleh Barca. Soalnya, dalam beberapa tahun masalah terbesar Barca ada di sektor pertahanan.
Baru beberapa bulan Valverde menangani Barca, masalah sudah datang. Neymar yang menjadi salah satu dari trio mematikan Barca memilih hengkang ke PSG. Ini memberikan dampak besar bagi sektor penyerangan Barcelona. Hasilnya, Barca dihajar Real Madrid 2 leg di Piala Super Spanyol.
Mungkin itu menjadi pengalaman yang traumatis untuk Valverde. Mungkin itu juga yang membuat definisi dari “keseimbangan dalam permainan” milik Valverde menjadi agak berlebihan. Alih-alih mengedepankan keseimbangan, musim ini Barca justru bermain lebih pragmatis. Ini bisa terlihat dengan jelas dari komposisi pemain yang diturunkan oleh Valverde.
Pada musim pertamanya, Valverde kerap menurunkan beberapa gelandang dengan tipe bertahan, seperti Paulinho, Gomes, dan Ivan Rakitic, secara bersamaan. Tujuannya jelas, untuk lebih menjaga Barca agar tidak mudah kebobolan lewat serangan balik. Namun, skema seperti ini juga tidak sepenuhnya aman, bahkan cukup berimbas terhadap gaya bermain Barcelona. Beberapa kali Barca bermain seperti tanpa identitas dengan gaya menyerangnya dan sekarang hanya sibuk bermain di wilayah pertahanan sendiri. Hal ini tentu diakibatkan oleh minimnya kreativitas yang dimiliki oleh para gelandang yang dimiliki oleh Barcelona saat ini.
Minimnya kreativitas dari stok gelandang Barca saat ini diperparah oleh pendekatan sang pelatih yang memang berjiwa pragmatis dan cenderung untuk mengandalkan atribut fisik seorang pemain ketimbang kreativitasnya di lapangan. Terbukti di musim pertamanya, Valverde sering bergantung pada determinasi Paulinho. Dan ada indikasi di musim kedua, Valverde ingin menahbiskan Arturo Vidal untuk menggantikan Paulinho sebagai “tukang jagal” di lini tengah.
Bukan sesuatu yang salah memang. Namun, mengubah suatu pakem gaya bermain yang kadung menjadi filosofi bagi sebuah klub akan memicu perdebatan. Ada yang berpendapat bahwa biar pun Barca bermain tidak seperti biasanya, toh hasil yang didapat tetap positif. Terbukti di musim pertamanya, Valverde masih mampu mempersembahkan trofi La Liga dan Copa del Rey, dan disambung dengan Super Copa.
Di sisi lain, pasti ada beberapa orang yang memiliki jalan pemikiran sama dengan yang seperti penulis rasakan, di mana seharusnya fundamental yang kuat harus dibangun dari gaya bermain, bukan dari hasil instan. Mengutip sebuah peribahasa “Kota Roma tidak dibangun dalam satu malam”, sebuah karya yang dapat memiliki “warisan” haruslah dibangun secara matang mulai dari dasar. Dalam kasus ini adalah hubungan antara klub sepakbola dengan gaya bermain.
Memang, kemenangan adalah suatu hasil akhir dari sebuah pertandingan. Namun, bila kemenangan itu sendiri lebih sering diraih dari cara yang bisa dibilang harus lolos dari lubang jarum, dan berulang kali diselamatkan oleh seorang Lionel Messi, tampaknya fans Barcelona harus lebih jeli lagi dalam merayakan setiap kemenangan yang diraih.
Dari setiap kemenangan itu, sebetulnya ada permasalahan kompleks yang selalu mengintai. Seiring menuanya beberapa pemain inti seperti Messi, Suarez, Alba, dan Busquets, sangat berbahaya apabila Valverde selalu bertumpu terhadap taktik dan pemain inti yang itu-itu saja. Karena bukan tidak mungkin Barcelona akan menghadapi masalah regenerasi yang sekarang dialami klub-klub di kota mode.
Memahami seorang Valverde
Jika sebuah klub memiliki gaya bermain yang sudah sangat solid, tentunya hasil yang positif akan turut mengikuti. Bahkan beberapa di antaranya sudah sangat melegenda, seperti contoh Timnas Belanda dengan Total Football-nya atau Timnas Italia dengan Cattenacio-nya.
Sedangkan Valverde masih belum bisa untuk mewariskan hal baru, atau sekadar meneruskan peninggalan yang ada. Beliau masih nyaman berdiam diri di dalam sekat kepalanya sendiri, berpikir dia berhasil saat semua berjalan sesuai rencana, dan enggan untuk berubah saat semuanya tidak seperti yang diinginkan.
Mau tidak mau, Valverde harus segera berbenah atau minimal sadar bahwa menjadi seorang idealis tidak selamanya baik, terutama bila keadaan di sekitar menuntutnya untuk berubah. Beliau harus berpikir lebih keras untuk menemukan cara agar bisa keluar dari pakem yang dia buat sendiri. Sebuah pakem yang mengekangnya untuk bermain aman, yang bahkan lebih banyak tidak amannya.
Apabila Valverde masih terus berada dalam zona nyamannya dan belum mampu membawa Barcelona kembali ke dalam level permainan yang sesungguhnya, bukan tidak mungkin, jalanan di kota Barcelona akan penuh dengan unjuk rasa para supporter yang mengusung spanduk “2019 Re-emplaca l’ entrenador”, alias “2019 Ganti Pelatih” (terjemahan bebas).
*Penulis bukan pengamat sepakbola, hanya pengamat FC Barcelona, sila bersua di akun twitter @edwinsdjah*
**Tulisan ini merupakan hasil kiriman penulis melalui kolom Pandit Sharing. Segala isi dan opini yang ada dalam tulisan ini merupakan tanggung jawab penulis.
Komentar