Oleh: Alexander Sans*
Datang menggantikan José Mourinho yang kepayahan di musim ini bersama Manchester United membuat sorotan tertuju pada satu sosok yang dulu ketika bermain dijuluki sebagai Baby-faced Assasin. Pada 19 Desember 2018 Ole Gunnar Solskjær menyeberang dari kesebelasan lokal Norwegia, Molde, menuju Manchester United, kesebelasan yang dulu melambungkan namanya.
Penunjukan Solskjær sebagai Manajer Interim Man United ini sempat menjadi tanda tanya mengingat nama-nama besar yang sebelumnya diisukan menggantikan Mourinho adalah pelatih-pelatih kaliber tinggi macam Antonio Conte hingga Zinedine Zidane.
Solskjær bermain di United dari 1996 sampai 2007 dengan memainkan lebih dari 200 pertandingan dan berhasil mencetak 96 gol. Sulit rasanya untuk menyebut bahwa Solskjær adalah salah satu legenda United.
Sebagai pemain, dia tidak hebat-hebat amat dan Solskjær sendiri lebih identik sebagai sosok super sub dibandingkan juru gedor utama. Kariernya sebagai striker United tidak segemilang duet Dwight Yorke dan Andy Cole, Cristiano Ronaldo, Wayne Rooney, ataupun Ruud van Nistelrooy, yang selalu menjadi spotlight.
Gaya permainannya pun bukanlah sesuatu yang indah untuk ditonton. Dia memiliki gaya pragmatis dan monoton. Namun untuk tidak menyebutnya sebagai legenda adalah penyangkalan terhadap golnya ke gawang Bayern München di final Liga Champions 1999 yang merupakan salah satu gol paling legendaris dari yang pernah ditorehkan pemain Manchester United.
Baca juga: Super Sub, Baby-Face, Pahlawan Tanpa Pamrih
Sebelum menangani United musim ini, Solskjær pernah membawa Molde meraih gelar juara Liga Norwegia dua kali, 2011 dan 2013. Bukan bermaksud untuk mendiskreditkan prestasinya, akan tetapi level kompetisi di Norwegia sangat berbeda dengan di Inggris. Kenyataannya pada 2014 kala dia menangani Cardiff City, Ole hanya mampu bertahan selama 18 pertandingan di kesebelasan tersebut dan hanya meraih tiga kemenangan di Liga Primer Inggris.
Tidak salah kemudian jika saya yang sebenarnya bukan pendukung United dan pendukung lainnya, baik Manchunian (orang asli Manchester) atau bukan, yang waras, untuk tidak terlalu menggantungkan harapan pada Solskjær di sisa musim ini. Ada beberapa poin pertimbangan untuk tidak banyak membebankan harapan padanya.
Pertama, tidak banyak pelatih sukses yang berangkat dari posisi striker. Belum lama ini kita melihat berita pemecatan Thierry Henry sebagai pelatih AS Monaco. Lalu Filippo Inzhaghi juga bernasib sama seperti Henry, dipecat dari posisinya sebagai allenatore di Bologna. Apalagi mereka berdua semasa bermain termasuk dua striker terbaik di dunia; lebih baik dari Solskjær malah.
Kedua, adalah tekanan. Menangani kesebalsan sekelas Man United yang penuh bintang dengan egonya masing-masing akan sangat jauh berbeda dengan melatih Molde ataupun Cardiff. Mourinho yang terbukti lebih berpengalaman dari Solskjær dalam menangani pemain besar saja di musim ini ternyata tidak mampu menjinakkan Paul Pogba.
Maka ketika di 11 pertandingan pertamanya musim ini Man United mampu dibawanya meraih 10 kemenangan dan satu hasil imbang, dengan mencetak 28 gol dan kebobolan 7 serta mampu meraih 5 nirbobol. Itu merupakan catatan yang sangat istimewa bagi Solskjær.
Ditambah lagi dia mampu menorehkan rekor seperti dua kemenangan di dua laga awal (bahkan Sir Alex Ferguson hanya mampu meraih satu hasil imbang dan menelan satu kekalahan di dua laga awalnya), serta lima kemenangan tandang beruntun (menyamai pencapain Sir Matt Busby tahun 1946/47). Sejak Ferguson pensiun, juga baru Ole yang berhasil kembali meraih gelar Manager of the Month di Premier League.
https://twitter.com/panditfootball/status/1094045553770594304
Kegemilangan Setan Merah ditambah dengan penampilan gemilang dua bintangnya, Paul Pogba dan Marcus Rashford—nama terakhir juga menjadi Player of the Month di Premier League.
Di bawah Solskjær, Pogba mampu mengeluarkan kemampuan terbaiknya sebagai seorang gelandang ber-skill tinggi dan visioner. Dalam 11 pertandingan terakhirnya di bawah Solskjær, Pogba mampu mengemas 8 gol dan 5 asis. Sedangkan Marcus Rashford di bawah Solskjær mampu menjadi andalan di lini depan mampu menyarangkan 6 gol dan satu asis.
Tak pelak, penampilan gemilang United yang diarsiteki Solskjær ini membuat para pendukung United bergelora kembali. Apalagi United secara gradual mampu mendekat ke empat besar sejak dilatih Solskjær. Di pekan ke-25 mereka berhasil mengkudeta Arsenal dari posisi kelima.
Dengan torehan tersebut wajar apabila dalam beberapa hari belakangan ini muncul berita-berita mengenai pengangkatan Solskjær menjadi manajer tetap United. Beberapa pihak menilai bahwa Solskjær mampu dan layak untuk dipertahankan musim depan.
Nada optimis didengungkan oleh Mantan Manajer Timnas Inggris sekaligus asisten manajer Sir Alex saat Solskjær masih bermain dulu, Steve McClaren. Baginya jika Solskjær mampu menjaga tren kemenangan, akan menjadi keputusan mudah bagi Direksi Man United untuk mempermanenkannya musim depan. Dilansir dari Sky Sports, McClaren mengatakan bahwa Solskjær merupakan sosok manajer pemikir dan cerdas. McClaren juga mengatakan bahwa Solskjær adalah seorang komunikator yang baik yang mampu menularkan energi positif ke timnya.
Namun terlalu dini bagi saya menilai kelayakan Solskjær sebagai manajer permanen United sekarang ini. Bahwa Solskjær telah membawa United tak terkalahkan dalam 11 pertandingan terakhir dengan catatan 10 kemenangan dan sebiji hasil imbang, serta berhasil menyarangkan 28 gol dan hanya kemasukan tujuh gol, merupakan prestasi yang layak diapresiasi, meski habis ini United punya jadwal berat: Paris Saint-Germain, Chelsea, dan Liverpool.
Baca juga: Rahasia Ole Gunnar Solskjaer
Solskjær (terlihat) hebat di United bagi saya karena “ekspektasi”. Ekspektasi yang disematkan kepada Solskjær tidak sama dengan ekspektasi yang disematkan pendukung United kepada Mourinho, Louis van Gaal, atau bahkan David Moyes, serta para pendukung Manchester City terhadap Pep Guardiola.
Mourinho (juga Van Gaal) dan Pep adalah manajer dengan latar belakang pengalaman segudang dan deretan gelar yang melimpah. Wajar apabila kedatangan mereka di kesebelasan baru selalu diiringi dengan harapan raihan trofi yang banyak untuk kesebelasan kesayangan mereka.
Solskjær datang dengan background yang berbeda dari mereka berdua. Pengalaman dan raihan gelarnya ketika melatih di Molde dan Cardiff tidak cukup menyejajarkan namanya dengan dua pelatih hebat di atas. Mungkin ada sedikit pendukung United yang sedari awal berharap banyak pada Solskjær, tetapi jelas tidak akan sebanyak harapan mereka pada Mourinho.
Kepuasan yang dialami pendukung United terhadap kinerja Solskjær sekarang ini bisa dijelaskan dengan teori kepuasan konsumen dalam ilmu manajemen pemasaran secara sederhana. Kepuasan menurut Hermawan Kertajaya adalah perbandingan ekspektasi dengan realita yang kita dapatkan. Seseorang hanya bisa terpuaskan apabila realita atau kenyataan yang didapat melebihi ekspektasi sebelumnya.
Akan terlihat bodoh bagi suporter United di awal penunjukan Solskjær sebagai pelatih untuk berharap Setan Merah dibawanya meraih treble. Harapan mentok bagi pendukung United di awal kedatangan Solskjær palinglah hanya finis di empat besar.
Hal berbeda bagi Mourinho di United. Mourinho pernah meraih gelar juara liga di empat negara berbeda dan dua kali mengangkat Si Kuping Besar bersama dua kesebelasan berbeda pula. Harapan suporter United minimal adalah meraih gelar juara liga. Tiket Liga Champions pun bukan prestasi tetapi adalah perkara wajib yang ketika hal tersebut terpenuhi belum tentu menghindarkan Mourinho dari kursi pemecatan. Van Gaal saja dipecat setelah berhasil menjuarai Piala FA.
Untuk sementara biarlah Solskjær menikmati pencapaiannya. Namun yang patut diingat adalah bahwa kepuasan seseorang itu sifatnya dinamis dan progresif. Dulu orang cukup puas dengan ponsel yang bisa mengirimkan SMS dan telepon. Tetapi sekarang orang mengharapkan yang lebih dari sebuah ponsel. Orang sekarang tidak akan terpuaskan dengan ponsel yang hanya mampu melakukan SMS dan telepon. Mereka sekarang ingin ponsel mereka juga dilengkapi dengan kamera yang bagus dan kemampuan internet yang cepat.
Sama halnya dengan hal itu, apabila nantinya Solskjær dipertahankan musim depan, harapan yang disematkan kepadanya nanti akan lebih besar dibandingkan Solskjær yang datang pada Desember 2018.
Roberto di Matteo yang menggantikan Andre Villas Boas pada Maret 2012 bukanlah siapa-siapa. Maka ketika di musim tersebut Di Matteo malah bisa mengantar Chelsea meraih gelar Liga Champions pertama sepanjang sejarah kesebelasan, dia sudah menjadi orang yang berbeda sejak saat itu. Tak heran setelah itu di musim 2012/13 dia dipecat Chelsea setelah serangkaian hasil buruk, karena dia sudah bersatus sebagai pemberi gelar Liga Champions.
Haram hukumnya bagi para juara untuk meraih serangkaian hasil negatif karena itu akan memberikan harapan palsu bagi pendukungnya.
Teruntuk Ole Gunnar Solskjær yang ketika nanti dipermanenkan oleh Manchester United: “Hari esok yang menantimu akan lebih berat dari sekarang, nak”.
**Tulisan ini merupakan hasil kiriman penulis melalui kolom Pandit Sharing. Segala isi dan opini yang ada dalam tulisan ini merupakan tanggung jawab penulis.
Komentar