AS Roma tidak sedang baik-baik saja. Aleksandar Kolarov memercikan konflik ke tribun dengan menyebut: ‘Suporter tidak tahu apa-apa tentang sepakbola’. Sampai perlu melibatkan Daniele De Rossi menjadi penengah konflik yang belum berangsur pulih, Kolarov malah membuat bahasa tubuh terima kasih secara sarkas setelah cetak gol melawan Chievo Verona.
Roma juga setidaknya telah dua kali alami periode seret kemenangan: akhir Agustus-pertengahan September dan akhir November-pertengahan Desember. Pada Coppa Italia, mereka babak belur digulung Fiorentina 7-1, kekalahan buruk yang sejajar dengan kekalahan berskor serupa atas Manchester United di Liga Champions 12 tahun silam.
I Giallorossi tercecer di posisi keenam dengan raihan 38 poin, mengaku menyerah mengganggu perburuan gelar Juventus sekalipun tanpa memberi pernyataan tertulis resmi. Padahal dalam lima musim terakhir mereka mengupayakannya dengan bukti tidak pernah keluar dari tiga besar.
Untung saja fluktuasi permainan juga menerpa tim lain sehingga Tim Serigala Ibu Kota masih memburu posisi empat dalam waktu dekat. Beruntung juga Viktoria Plzen dan CSKA Moskwa terlalu medioker sehingga Edin Dzeko dkk. masih punya asa mencapai semifinal seperti musim lalu atau melampauinya.
Di tengah kesementaraan musim yang tidak terlalu menyenangkan, ada pancaran cahaya dari seorang pemain muda. Harapan baru Roma, juga Italia. Bintang super yang tengah dalam proses pembuatan.
*
Kamu pantas menaruh curiga kepada remaja 19 tahun yang belum pernah tampil di kompetisi senior, tetapi dipanggil masuk Tim Nasional Italia. Kamu lantas boleh menaruh perhatian kepada pemain tersebut setelah cetak gol pertama dengan penuh gaya. Kamu pantas terheran-heran dengan talentanya.
Kamu perlu meningkatkan perhatian saat dia cetak gol selanjutnya dengan kegigihan tiada permanai; mengotaki dua asis dalam keunggulan tiga gol sementara dan cetak dua gol pemberi kemenangan tim di fase gugur Liga Champions. Kamu bisa mengingat namanya: Nicolo Zaniolo.
“Zaniolo? Beberapa orang berpikir aku gila karena aku memanggil pemain tidak dikenal (untuk tim nasional Italia). Namun aku tahu sesuatu tentangnya dan mendambakan melihatnya bermain. Fakta ada di pihakku,” tutur Roberto Mancini dinukil asroma360.
Zaniolo memang tidak dimainkan di ajang UEFA Nations League melawan Polandia dan Portugal bulan September 2018. Namun, masuknya nama Zaniolo terlalu eye-catching untuk dilihat dan ear-catching untuk didengar. Sebab hanya ada empat orang yang belum pernah sekalipun tampil di Serie A tapi berhasil dipanggil skuat Gli Azzuri. Laki-laki kelahiran Massa, Tuscani, ini salah satunya.
Kehidupan sepakbola dewasa Zaniolo serba dimulai September 2018. Selain panggilan Roberto Mancini, Zaniolo mengecap debut klub bersama AS Roma langsung di ajang Liga Champions. Bertandang ke kandang juara bertahan, Real Madrid, Roma remuk redam 0-3 pada pertengahan bulan yang seharusnya ceria. Walau begitu, di akhir September, dia tetap dipercaya untuk menjalani debut Serie A. Ketika itu tim promosi, Frosinone, digilas 4-0 pada kemenangan kandang pertama musim ini.
“Zanioro,” tulis koran pink La Gazzetta dello Sport, memelesetkan nama Zaniolo dengan kata ‘Oro’ (emas) yang ditulis dengan tinta emas sebagai judul tajuk utama. “Sebuah kisah peri: Zaniolo muda menerangi Liga Champions,” cetak Corriere dello Sport dalam bahasa Italia lengkap fotonya merangkul veteran Dzeko. Semua ditujukan untuk mengapresiasi dua gol cerdik Zaniolo mengantarkan kemenangan Roma atas Porto, 2-1, Rabu (13/2/2019) dini hari WIB.
Berhubung segalanya baru dimulai sejak September, progres yang dibuat si anak ajaib Zaniolo terasa cepat. Khusus di laga melawan Porto ini saja dia punya beberapa gimmick statistik olahan layanan penyedia data sepakbola. Opta menyebut, dua gol Zaniolo menjadikannya pesepakbola Italia termuda yang mencetak dua gol atau lebih dalam satu laga Liga Champions.
Bintang. Menambah data soal dirinya yang juga jadi termuda untuk mencetak setidaknya dua gol di Serie A musim ini. Mengagumkan.
Squawka menilik, dia juga menjadi pemain termuda Roma yang mampu mencetak gol di kompetisi antarklub paling elite Benua Biru. Pemain bernomor punggung 22 ini mengupayakan empat tendangan dengan tiga di antaranya tepat sasaran. Dia dilanggar empat kali, menyapu bola dua kali, dan paling penting tentu saja dua gol persembahan kemenangan.
“Ya, saya banyak berlari hari ini - tetapi saya senang berlari untuk tim ini. Mencetak gol di depan Curva Sud adalah perasaan istimewa, saya tidak tahu bagaimana menggambarkannya. Saya berharap untuk mencetak lebih banyak gol di depan Curva ini," ucapnya kepada situs resmi klub.
Dua gol ke gawang kiper senior Iker Casillas tentu spesial. Aksi oportunisnya menyelesaikan peluang terasa magis saat dia berlari menghampiri ultras yang memadati tribune selatan di stadion bak koloseum tempat para gladiator menyabung nyawa. Namun sungguh, proses dua gol tersebut bisa diperdebatkan kalah sensasional kalau dibandingkan dua gol pertamanya di Serie-A.
Coba tonton lagi golnya saat melengkapi kemenangan 3-1 Roma dari Sassuolo. Menerima umpan dari sisi kanan, Zaniolo yang mengakali jebakan offside berlari cepat tanpa sanggup diimbangi bek lawan dan juga teman sendiri. Bukannya menunggu penyerang tunggal setelah dapat ruang, dia terus merangsek, memutar badan, menggeser bola ke arah berlawan, dan pura-pura menembak.
Pada momen pura-pura menembak itulah bek dan kiper I Noroverdi terjatuh dan seandainya Zaniolo bacakan dongeng, barangkali keduanya langsung tertidur. Tentu saja Zaniolo memilih mencungkil bola ke gawang yang kosong setelah mereka nyaris tiarap di atas tanah. Mulai dari sinilah, publik sadar dia bukan pemain biasa-biasa saja dan pemanggilan ke timnas Italia masuk akal sehat.
Silakan putar lagi golnya saat membuka keunggulan 3-2 Roma atas Torino. Mendapat sodoran bola Federico Fazio yang sambut umpan lambung, Zaniolo kesulitan mengontrol bola. Bola yang bergulir di kaki kirinya tampak liat sehingga dia perlu menjatuhkan badan untuk mengarahkan ke gawang. Sepakan kencangnya ditepis kiper dan bergulir lagi ke arahnya. Badannya yang menempel di tanah berusaha menjangkau dengan kaki kanan. Lewat kelincahan tubuh yang entah bagaimana, dia mampu berputar, pindahkan bola kaki kiri, menyepak sapuan untuk kedua kalinya, dan kali ini gol.
Sebut itu hustling, gigih, ngotot, atau apapun, tapi kita tahu gol semacam itu bukan tercipta dari pemain biasa-biasa saja. Gol ketiganya datang saat Roma ditahan imbang AC Milan 1-1. Prosesnya hampir serupa dengan gol kedua yang dia buat ke gawang Porto, upaya memaksimalkan pergerakan tanpa bola setelah terjadi pantulan untuk sekejap mencocornya ke gawang.
Semua golnya terjadi di Olimpico. Untuk urusan momentum tandang memang belum datang, tapi dua asisnya saat Roma unggul sementara 3-0 atas Atalanta tidak bisa disepelekan. Menyajikan seberapa pandai dia mampu berperan sebagai trequartista yang mengkreasikan penyerangan di sektor tiga perempat lapangan.
*
Zaniolo datang ke ibu kota bukan sebagai produk akademi. Pemain yang pernah bermain untuk akademi Fiorentina dan Entella ini dikirim sebagai bagian paket transfer Radja Nainggolan ke Inter Milan yang melibatkan uang 24 juta euro plus Davide Santon dan Zaniolo untuk I Lupi. Awalnya banyak yang misuh-misuh dengan transfer ini, karena Nainggolan yang bermusim-musim sangat sentral perannya justru dijual ke sesama tim papan atas.
“Tepuk tangan untuk (Direktur Olahraga) Monchi karena menjual gelandang terbaik ke tim rival, ditukar dengan seseorang yang jadi beban (Davide Santon) dan bukan siapa-siapa (Nicolo Zaniolo),” ucap penelepon kepada Roma Radio kala itu.
Semua terasa wajar sebelum musim berlangsung. Lantas ketika semua berjalan, nyatanya Radja Nainggolan belum kunjung tampil mengagumkan akibat tindak indisipliner dan Zaniolo lambat laun bermain mantap. Untuk tudingan kepada Santon tampak benar, tapi salah telak soal Monchi.
“Kami membuat dua permohonan pemain: Zaniolo salah satunya. Kami tahu salah satu pihak akan untung. Namun saya tidak menyangka dia mampu buat dampak cepat. Pujian untuk pelatih (Eusebio Di Francesco) soal itu,” jelas Monchi yang memang bertangan dingin soal transfer pemain kepada asroma.com .
Darah sepakbola Zaniolo mengalir dari sang ayah, Igor Zaniolo. Sekalipun karier sang ayah banyak dihabiskan di Serie B dan Serie C belaka, tapi sokongannya jelas membentuk pribadi Zaniolo junior jalani karier profesional yang baru seumur tunas jagung.
Zaniolo punya penjagaan bola di kaki yang tangguh sekalipun dicecar beberapa pemain lawan di sekitarnya. Dia tenang dan gigih mengontrol bola supaya tidak lepas dan terebut, hal mendasar tapi sulit minta ampun dikuasai. Sebagai gelandang bernaluri menyerang, kemampuan operan secara cergas dan terarah baik untuk jarak dekat atau jauh, juga vertikal atau diagonal. Pilihannya mengoper atau menggiring dengan cepat cukup tepat, meski perlu waktu untuk meningkatkan sampai level tinggi. Tentu ukurannya untuk seorang remaja, apa yang dia lakukan istimewa.
Kejeniusan mengontrol bola, opsi mengoper secara presisi, dan lantas mengolah sendiri dengan eksplosif memungkinkannya dibanding-bandingkan dengan pesepakbola senior. Menyamakan dengan Francesco Totti jelas kodrat selagi dia beroperasi di lini lapangan serupa dan paling penting, berseragam AS Roma. Namun kelewat berat beban yang mesti dipikulnya disamakan Pangeran Roma yang sepanjang karier mendedikasikan diri untuk Tim Serigala.
Totti tak lagi pantas disebut trequartista yang konteksnya area operasi bermain, melainkan menjelma seorang fantasista. Sebab Il Principe mampu menyajikan daya imajinasi acap kali bola di kakinya. Zaniolo masih perlu memoles talentanya selembut sutra, karena baru musim ini dia benar-benar mendapati fiesta. Suatu fiesta di mana dia dibukakan pintu, mengamati kawasan, mengenalkan diri, dan perlahan mengenalkan diri. Belum ada rekan-rekan seumurannya yang benar-benar mampu diundang memasuki fiesta orang-orang dewasa.
Tidak terhindarkan bagaimana berkat postur tubuh tinggi 190 centimeter membuatnya disama-samakan dengan Paul Pogba saat berkostum Juventus era Antonio Conte. Tambahkan masa otot, niscaya Zaniolo punya agresivitas selentur peraih trofi Piala Dunia itu.
Romanisti mana yang tidak kesengsem membayangkan Zaniolo punya loyalitas semacam De Rossi dan Alessandro Florenzi yang bertekad membela Roma sampai hari karier berakhir? Apalagi bisa beri fantasi layaknya Totti. Namun tenang, masa-masa itu masih kelewat panjang. Bakat indah Zaniolo masih perlu dinikmati santai lewat cuplikan video berlatar lagu remix dan adegan berulang-ulang di Youtube.
Paling penting, sepakbola Italia kembali lahirkan superstar. Praktis pada dekade ini tidak ada lagi pesepakbola Italia yang memulai debut, berkapasitas elite, dan pantas jadi juru selamat. Poster boy sepakbola Italia dekade 2010-an semestinya digenggam Mario Balotelli, tapi kita tahu dia sibuk dengan perilaku tidak sesuai norma dan terpaan rasisme yang tidak kunjung terkubur.
Coba tengok skuat Italia saat ini, sangat sulit untuk bisa dibandingkan dengan para pemain dari negara lain dengan generasi yang memulai debut pada 1990-an akhir dan 2000-an. Puncak kejayaan mereka jelas Piala Dunia 2006 di mana para pemain yang menjadi aktor kejayaan Serie A era tersebut menancapkan kedigdayaan. Pada periode puncak karier, mereka meledak. Menjadikan setiap dari mereka pemain berprofil tinggi sebagai legenda.
Dari generasi kelahiran 1990-an akhir seperti Zaniolo, Gianluigi Donarumma, Federico Chiesa, dan Patrick Cutrone, kerangka kesuksesan serupa di masa depan mesti dibentuk. Memang tidak pentas melakukan generalisasi, tapi para pemain di angkatan atas mereka kadung alami trauma nasional gagal menembus Piala Dunia untuk pertama kali dalam 60 tahun terakhir.
Dari segi performa, mereka tidak kunjung tembus puncak. Marco Verratti masih bermain di zona aman bersama PSG. Jorginho jadi sasaran empuk permasalahan Sarriball di Chelsea. Ciro Immobile dan Simone Zaza hanya bergigi di level klub nasional. Sedangkan Andrea Belotti, Domenico Berardi, dan Lorenzo Insigne tidak kunjung memindahkan performa mengilap di liga ke ajang internasional. Mudahnya, Juventus yang mendominasi liga bertahun-tahun saja hanya punya Federico Bernardeschi sebagai perwakilan di lini serang timnas, itupun bukan penyerang opsi utama sebagai produsen gol.
Apalagi kalau masih berharap dengan pemain kelahiran 1980-an yang terbukti era sepakbolanya usai tanpa ada sesuatu signifikan. Sulit mengeja pemain berprofil tinggi Italia yang pantas disandingkan dengan generasi sebelumnya. Belum ada sosok ikonik setara pemain yang malang melintang di Serie A era 1990-an. Menyebalkan memang nyaris tiada yang bisa diandalkan.
“Italia belum punya superstar lagi,” keluh pelatih Roberto Mancini.
Namun Mancini tahu, dia sedang mengolah bintang super baru. Memberi panggilan ke timnas sebagai bentuk sanjungan tinggi, meski sosok itu belum tampil di level senior. Mancini juga paham sekaligus meyakini kebenaran ada di sisinya.
Zaniolo perlahan tampilkan pendar cahaya terang seorang bintang muda. Sabarlah menanti sembari berbahagia, Roma dan Italia.
foto: The Irish Times
Komentar