Diwarnai pengunduran diri Edy Rahmayadi sebagai Ketua Umum PSSI serta ditetapkannya sang Pelaksana Tugas (Plt.) Ketum, Joko Driyono, sebagai tersangka perusakan barang bukti kasus pengaturan skor di kancah sepakbola nasional oleh pihak kepolisian membuat kenyamanan di tubuh internal PSSI goyah. Apalagi Satuan Tugas (Satgas) Anti-Mafia Bola bentukan Polisi sudah lebih dulu menangkap beberapa orang pengurus, baik dari Komite Eksekutif (Exco) sampai pengurus daerah, karena terlibat juga dalam kasus itu.
Hal ini seolah menjustifikasi bahwa PSSI memang organisasi bobrok, culas, dan kotor sebab kasus pengaturan skor yang melanggar nilai-nilai sportivitas justru mereka tumbuh suburkan. Sementara di sisi lain, sepakbola Indonesia tetap saja paceklik prestasi di kancah internasional (tidak menghitung pencapaian tim-tim usia muda) selama tiga dasawarsa terakhir.
Muramnya kiprah Indonesia, wajib diakui, tak melulu diakibatkan kualitas pemain dan pelatih yang rendah sebab kinerja orang-orang yang ada di tubuh PSSI juga berperan krusial. Sudahkah mereka bekerja dengan serius bagi kebaikan sepakbola Indonesia? Oleh sebab itu, penggila sepakbola nasional terus menggelorakan perubahan nyata di tubuh organisasi gubahan Soeratin Sosrosoegondo pada 19 April 1930 tersebut.
Masih berlanjutnya penelusuran Satgas plus dinamika lain yang terus berputar di sepakbola nasional akhirnya mendorong pihak Exco untuk bersepakat menggelar Kongres Luar Biasa (KLB) dalam waktu dekat.
Persetujuan ini sendiri dicapai setelah mereka melakukan rapat yang dipimpin Jokdri, sapaan akrab Joko Driyono, pada Selasa (19/2) malam. Diumumkan lewat situs web resminya, PSSI sendiri menyiapkan dua agenda penting yakni pembentukan perangkat Komite Pemilihan (KP) dan Komite Banding Pemilihan (KPB) serta penetapan tanggal diselenggarakannya KLB.
Baca juga: Memimpin PSSI dari Balik Jeruji Besi
Penyelenggaraan KLB sendiri amat identik dengan adanya pemimpin baru di tubuh PSSI yang dipilih oleh para pemilik suara. Kendati begitu, ada variabel penting lain yang wajib diprioritaskan mereka ketimbang menunjuk ketum anyar semata. Siapapun tahu, pergantian pucuk kepemimpinan dari Agum Gumelar ke Nurdin Halid lalu sampai kepada Djohar Arifin Husein kemudian disusul La Nyalla Matalitti hingga dijabat Edy Rahmayadi, tetap memunculkan nama-nama seperti Gusti Randa dan Jokdri dalam kepengurusan. Hasilnya, sepakbola Indonesia tetap setia jalan di tempat.
Akar masalah yang membuat PSSI seperti ini tak selalu diakibatkan kepemimpinan yang buruk dari para ketum. Lebih dari itu, PSSI adalah lingkaran setan yang membelenggu dan tak ingin diganggu. Status mereka yang tak boleh bersinggungan terlalu banyak dengan pemerintah dimanfaatkan secara maksimal oleh manusia-manusia cerdas tapi culas buat mengeruk keuntungan. Sayangnya, keuntungan itu menyasar orang atau kelompok tertentu saja, bukan sepakbola Indonesia secara keseluruhan.
Sebagai salah satu elemen yang punya hak suara dan kepentingan, kesebelasan-kesebelasan yang berkiprah di Liga 1, Liga 2, dan Liga 3 sepatutnya tak ragu untuk jadi agen perubahan dengan memilih ketum dan petinggi federasi (seperti Exco) yang berintegritas. Terlebih, jumlah suara total dari mereka yang berjumlah 50, nyaris dua per tiga pemilik suara secara keseluruhan. Artinya, seluruh kesebelasan itu bisa dan berhak menentukan nasib sepakbola Indonesia!
Alih-alih berperan krusial dalam proses perubahan yang ada di tubuh PSSI selama dua dekade terakhir, klub-klub yang mempunyai hak suara tak ubahnya pion bagi mereka yang ingin berkuasa. Jarang sekali atau bahkan tak pernah terdengar bahwa seluruh kesebelasan Indonesia bersatu padu menyuarakan perubahan untuk profesionalitas federasi yang kelak berimbas positif kepada klub-klub itu sendiri dan juga kompetisi.
Layaknya para pecundang, suara-suara sumbang dari mereka baru bermunculan ketika ada hal-hal irasional dan merugikan yang muncul dari kompetisi. Kalau sudah begini, salah siapa? Jangan sampai pula, lahir preseden buruk kalau klub-klub pemilik suara ikut terlibat dan menikmati kepentingan-kepentingan tertentu dalam pusaran gelap PSSI.
Baca juga: Saatnya Mewaraskan Para Pemegang Hak Suara
Mendengar masukan dari para suporter fanatik seraya menyatukan visi buat mencari figur pemimpin serta anggotanya yang bersih dan kredibel bukanlah pekerjaan yang mustahil untuk dilaksanakan. Semua akan kembali kepada komitmen dan niat seluruh klub pemilik suara untuk mengubah sistem yang salah di tubuh PSSI selama ini.
"Harus orang yang betul-betul mau memajukan sepakbola Indonesia. Kuat, punya jiwa kepemimpinan, jaringan luas, dan disegani kawan-kawan", terang Sumardji, manajer Bhayangkara FC, beberapa saat setelah Edy mengundurkan diri dari jabatannya seperti dilansir detikSport.
Mengacu pada wawancara yang dilakukan Najwa Shihab dengan Dwi Irianto alias Mbah Putih, salah seorang pengurus PSSI yang diciduk Satgas Anti-Mafia dalam kasus pengaturan skor, dan tayang kemarin malam (20/2) di Mata Najwa, ada satu kriteria ketum yang menurutnya bisa membawa perubahan di PSSI, yakni orang yang lurus. Dalam artian, sosok itu adalah figur yang amanah, tak neko-neko dan memang bekerja untuk memajukan sepakbola Indonesia.
Dengan jumlah 50 suara serta jejaring yang luas, bukan hal yang sulit bagi kesebelasan-kesebelasan tersebut untuk menemukan sosok-sosok yang dapat dipercaya membawa perubahan berarti di tubuh PSSI dan sepakbola Indonesia secara keseluruhan. Asal, sekali lagi, mereka berkomitmen untuk menghadirkan perubahan yang nyata.
Tak masalah kalau memang orang-orang itu memiliki latarbelakang yang berbeda jauh karena yang terpenting adalah mereka kapabel untuk memperbaiki sekaligus mengubah wajah PSSI. Jangan sampai keinginan tersebut seterusnya jadi pepesan kosong belaka dan benang kusut sepakbola Indonesia tak kunjung terurai.
Simak opini Rochy Putiray soal Timnas hingga rahasia sukses pembinaan negara lain di "Kamar Ganti Pandit" di bawah ini:
Komentar