Hukuman pada dua suporter Arema FC dan Persib Bandung, juga pendukungnya, yang diketuk palu oleh Komdis PSSI pada 2018 lalu resmi dicabut. Dua suporter Arema sebelumnya dihukum larangan ke stadion seumur hidup sementara suporter Persib, bobotoh, dihukum tidak boleh menggunakan atribut di stadion sampai setengah musim pertama Liga 1 2019.
Untuk kasus dua suporter Arema, dalam hal ini Yuli Sumpil dan Fandy, PSSI seolah mengulang apa yang memang biasanya mereka lakukan. Sudah banyak individu yang dihukum dengan embel-embel seumur hidup tapi mendapatkan keringanan di kemudian hari sehingga yang bersangkutan bisa kembali "berkarier" di sepakbola Indonesia seperti biasa.
Sebelum Yuli dan Fandy, Herry Kiswanto dan sejumlah pemain serta staf PSS Sleman dan PSIS Semarang yang sebelumnya dihukum seumur hidup tidak boleh berkecimpung di dunia sepakbola karena dianggap terlibat pengaturan skor pada 2014 juga dicabut hukumannya pada 2016. Selain mereka masih ada nama lain seperti Pieter Rumaropen, Umuh Muchtar, hingga Johar Lin Eng yang sempat divonis seumur hidup dilarang berkecimpung di dunia sepakbola tapi dicabut kemudian hari.
Pencabutan hukuman sebenarnya bukan hal yang salah selama itu memang sesuai prosedur. Misalnya fakta baru ditemukan sehingga menjadi bukti bahwa terhukum layak mendapatkan keringanan hukuman atau apa yang disangkakan sebelumnya tersangkal lewat bukti baru.
Dalam hukum acara, sebuah putusan pun baru bisa dicabut atau dianulir melalui mekanisme banding. Apalagi jika putusan tersebut belum inkrah (putusan final), seperti dalam kasus Umuh Muchtar, misalnya, hukuman yang divoniskan sebelumnya memang masih bisa dicabut.
Hal ini juga berlaku pada pencabutan hukuman untuk Persib dan bobotoh. Tidak ada upaya banding terbaru dari Persib, juga dari kedua suporter Arema FC, tapi PSSI tiba-tiba memutuskan bahwa hukuman-hukuman tersebut dicabut. Penganuliran atau peringanan hukuman yang sesuai mekanisme hukum contohnya adalah ketika Komisi Banding memutuskan hukuman larangan penonton untuk Persib sampai setengah musim Liga 1 2019 berubah menjadi hukuman larangan atribut selama setengah musim Liga 1 2019.
PSSI sendiri berdalih keputusan itu merupakan hasil peninjauan ulang atas hukuman-hukuman di atas seperti yang dibahas pada Kongres PSSI pada 20 Januari lalu. PSSI berharap pencabutan hukuman yang memang terbilang berat untuk para terhukum tersebut bisa menjadi pembelajaran untuk semua pihak, khususnya suporter.
"Keputusan ini diambil setelah dilakukan telaah panjang dan hati-hati. Dengan tujuan yang terukur, yaitu perbaikan kualitas penyelenggaraan pertandingan, dibarengi upaya edukasi suporter oleh Klub," ujar Sekretaris Jenderal PSSI, Ratu Tisha Destria, dalam rilis di laman resmi PSSI.
Dari pernyataan di atas sendiri sudah cukup mengernyitkan dahi. Kalimat `Keputusan ini diambil setelah dilakukan telaah panjang dan hati-hati....` justru menunjukkan bahwa penjatuhan hukuman yang dilakukan Komdis PSSI, tidak terbatas pada kasus dua suporter Arema FC dan Persib, diambil tanpa landasan hukum yang jelas dan kuat. Karena di akhir rilis PSSI tersebut berbunyi juga `PSSI akan terus melanjutkan kajian, evaluasi terhadap semua keputusan komdis lainnya. Termasuk yang berhubungan dengan Kompetisi Liga 2.`
Persib dijatuhi hukuman berat pada musim lalu berdasarkan insiden tewasnya suporter pada laga Persib Bandung vs Persija Jakarta yang berlangsung di Stadion Gelora Bandung Lautan Api. Ketika itu liga sempat dihentikan sementara sampai kasus ini terusut. PSSI lantas membentuk Tim Pencari Fakta yang diketuai Gusti Randa.
"Prosesnya begitu kami ditunjuk, TPF bekerja dengan cepat agar produk bisa segera dikirimkan ke Komdis dan ke federasi. Produk dari TPF yang diberikan ke Komdis, bukan satu-satunya informasi di mana Komdis ambil keputusan, karena Komdis reguler ambil dari berbagai macam sumber. TPF hanya memperkaya dan memberi informasi ke Komdis agar tepat, tegas," kata Gusti Randa pada laman resmi PSSI.
"Bahwa apa yang telah diputuskan, apa yang telah direkomendasikan, ini menjadi start awal momentum untuk perbaikan keseluruhan. Apalagi slogan PSSI bahwa sepak bola Indonesia itu harus bermartabat. Ayo kita mulai. Bagi mereka yang tidak puas, itu wajar. Merasa tidak adil dan seterusnya, silakan banding. Yang dahulu bagaimana? Tentu pengalaman-pengalaman itu akan menjadi pembelajaran," sambungnya ketika itu.
Baca juga: Nyanyian Gusti Randa di Sepakbola Indonesia
Momentum yang dimaksud Gusti Randa berupa hukuman yang sangat berat untuk Persib. Tapi dengan dicabutnya hukuman tersebut membuat kredibilitas PSSI dalam memberikan hukuman kembali dipertanyakan. Apanya yang momentum?
Pengakuan Dwi Irianto alias Mbah Putih, yang merupakan anggota Komdis PSSI, pada Tirto dan Najwa Shihab, malah menegaskan bahwa penghukuman terhadap Persib ketika itu memang tanpa landasan yang kuat. Selain tidak merujuk pada Safety dan Security Regulations FIFA, meski pembunuhan terjadi di luar stadion, kasus tersebut sebenarnya masih dalam perdebatan para anggota Komdis, apakah hal tersebut tanggung jawab panpel atau bukan. "Namun Komdis tidak sembarangan, kok, membuat sanksi untuk Persib. Kami mengacu saja kepada temuan yang diserahkan Tim Pencari Fakta (TPF)," ujar Mbah Putih.
Patut disayangkan kasus kematian suporter pada laga Persib vs Persija di atas hanya berbuah hukuman untuk Persib dan suporternya. PSSI seolah berfokus pada "hukuman berat apa yang pantas untuk Persib dan suporter?" tanpa tindakan preventif atau terobosan baru. Toh, setelah hukuman berat diberikan pada Persib, tidak ada aturan atau regulasi baru untuk meminimalisasi kematian suporter karena pertandingan sepakbola terjadi lagi. Padahal itu yang paling penting untuk mengedukasi dan membatasi tindakan dan perilaku suporter.
Pencabutan sanksi terhadap Persib, juga terhadap dua suporter Arema FC, pada akhirnya menunjukkan lemahnya dasar hukum yang dipegang Komdis PSSI selama ini. Apalagi Surat Keputusan ini lahir secara tiba-tiba dan diputuskan oleh para Komite Eksekutif, bukannya Komisi Banding.
SK tersebut lahir karena kewenangan yang diberikan pada Komite Eksekutif untuk melakukan peninjauan ulang terhadap keputusan Badan Yudisial mereka pada Kongres PSSI teranyar. Sesuai Statuta PSSI, Kongres memang menjadi badan pemegang kewenangan tertinggi dan badan legistlatif di PSSI. Hanya Kongres yang diadakan secara berkala saja yang berwenang untuk membuat keputusan-keputusan. Beberapa keputusan besar, seperti pencabutan hukuman seumur hidup untuk sejumlah pihak, misalnya, memang kerap dilakukan pada Kongres.
Tapi sebelumnya, seperti yang tertuang dalam rilis PSSI 19 Januari 2019, tidak ada pembahasan soal peninjauan ulang kedua hukuman di atas pada agenda PSSI. Pasal 29 ayat 4 Statuta PSSI 2018 menyebutkan bahwa Kongres tidak dapat membuat keputusan atas hal-hal yang tidak termasuk dalam agenda. Pembahasan ini kemungkinan muncul karena adanya usulan dari anggota PSSI (bisa perwakilan klub, Asprov, atau asosiasi lain di bawah PSSI) yang disetujui oleh 2/3 anggota PSSI lainnya, sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 2019 ayat 3.
Di samping pencabutan sanksi, SK teranyar PSSI juga memutuskan untuk mengembalikan sebagian uang denda kepada klub untuk memberikan dukungan finansial klub dalam program edukasi suporter. Rasanya agak muskil cara PSSI ini benar-benar bisa mengedukasi suporter. Keputusan-keputusan tersebut justru lebih memamerkan bahwa PSSI telah mendelegitimasi lembaga yudikatif mereka sendiri.
Simak opini dan komentar Rochy Putiray terkait para pengurus PSSI yang ditangkap oleh Satgas Anti Mafia Bola di video di bawah ini:
Komentar