Terdapat satu komentar yang menarik dari pelatih Tim Nasional Inggris, Gareth Southgate, setelah Inggris meraih kemenangan atas Republik Ceko, Sabtu (23/3). Dia memuji pencetak hattrick Inggris, Raheem Sterling, dengan menyebutnya sebagai panutan untuk para pemain muda.
“Dia (Sterling) adalah panutan bagi para pemain muda. Dia selalu fokus saat latihan dan persiapan, dan saya pikir dia menikmati semua tanggung jawab yang diberikan kepadanya,” kata sang pelatih yang berhasil membawa Inggris ke babak semifinal Piala Dunia 2018 lalu.
Performa Sterling memang sedang meningkat musim ini. Bersama Manchester City ia telah berhasil mencetak 18 gol dan 11 asis. Pemain yang sempat menjadi pemain Inggris termahal ini menjadi andalan bagi klub dan tim nasional di usia yang masih 24 tahun. Tentu tidak bisa disangkal bahwa Sterling layak masuk ke jajaran pemain top Inggris saat ini.
Namun, mungkin akan banyak yang menyangkal ketika dikatakan Sterling sebagai panutan pemain-pemain muda Inggris. Perjalanan karier Sterling yang cemerlang tidak lepas dari kontroversi.
Selepas penampilan buruk Inggris di Piala Eropa 2016 dan kekalahan memalukan mereka atas Islandia, Sterling pulang ke Inggris dan menunjukkan rumah mewah yang baru ia beli untuk ibunya. Tidak tanggung-tanggung, ia menunjukkan bongkahan berlian yang berada di salah satu toilet di rumah tersebut. Sepertinya masih banyak pemain muda berbakat asal Inggris lain yang lebih layak untuk dijadikan panutan seperti Harry Kane, Delle Alli, Jadon Sancho, Jesse Lingard, atau Marcus Rashford.
Tapi itu yang dikatakan Southgate boleh jadi benar. Dalam artikel The Player`s Tribune yang berjudul “It Was All a Dream”, Sterling menceritakan bagaimana perjuangannya di masa lalu dan bagaimana kehidupan pribadinya sering disalahartikan media Inggris. Sterling membuka dengan cerita lucu anaknya yang justru menyanyikan chants Mo Salah ketika ia pulang setelah membawa Manchester City juara dengan torehan 100 poin lebih.
Masa kecil Sterling sendiri tidak seperti masa kecil anak-anak kebanyakan. Ayahnya meninggal ketika dia berusia dua tahun. ia juga harus ditinggal ibunya yang pergi ke Inggris untuk melanjutkan kuliahnya. Sterling kecil tinggal di Jamaika bersama neneknya, sebelum ia ikut pindah Inggris bersama ibunya pada usia 5 tahun.
Pindah ke Inggris tidak membuat kehidupannya menjadi lebih mudah. Perbedaan budaya menjadi hambatan pertama bagi Sterling. Dan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya di Inggris, Ibu Raheem Sterling harus bekerja sambilan membersihkan hotel di sana. Sterling menceritakan bagaimana ia sering kali harus ikut bangun pukul 5 pagi untuk membantu ibunya membersihkan kamar mandi dan merapikan kamar tidur.
Di tengah kesulitannya beradaptasi dengan kehidupan di Inggris, Sterling harus mulai berhadapan dengan kehidupannya di sekolah. Ia sempat dikeluarkan dari sekolah dasar. Pihak sekolah mengatakan bahwa Sterling membutuhkan lingkungan yang dapat memberi perhatian lebih kepadanya.
Sterling kemudian menceritakan bahwa kehidupannya mulai berubah ketika ia bertemu dengan seseorang bernama Clive Ellington. Clive adalah seorang mentor di daerah tempat tinggalnya bagi anak-anak yang sudah tidak memiliki ayah. Suatu ketika Clive mendatangi Sterling dan bertanya, “Raheem, apa yang sangat kamu sukai untuk dilakukan saat ini?”
Jawaban yang keluar dari seorang Raheem Sterling kecil saat itu adalah, “Aku suka bermain sepakbola.”
Mendengar jawaban Sterling tersebut Clive langsung menawarkan Sterling untuk ikut bermain bersama klubnya di Sunday League. Dan dari sinilah perubahan hidup Sterling dimulai. Bakatnya langsung terlihat saat ia beraksi di Sunday League meski ia harus bermain dengan anak-anak yang berusia lebih tua.
Pada usia 11 tahun, Sterling berhasil menarik perhatian pencari bakat sejumlah klub di London di antaranya adalah Arsenal, Fulham, dan QPR. Tentu saja ia sangat senang ketika mendengar Arsenal tertarik dengan kemampuannya. Namun, sang ibu justru berpendapat lain. Menurut sang ibu, dibandingkan memilih Arsenal, Sterling lebih baik memilih QPR sebagai klub pertamanya.
“Jika kamu pergi ke Arsenal, maka di sana ada lebih dari 50 anak yang memiliki kemampuan sama baik denganmu. Kamu hanya akan menjadi salah satu di antara banyak anak-anak berbakat. Kamu harus pergi ke tempat yang membuat bakatmu ditempa secara maksimal,” kata sang ibu saat menjelaskan mengapa Arsenal bukan pilihan yang tepat saat itu.
Sterling pun menuruti apa kata sang ibu ketika itu dan di kemudian hari ia menyadari bahwa keputusan itu adalah hal yang sangat tepat bagi hidupnya. Namun menjalani latihan bersama QPR juga bukan perjalanan yang mudah bagi Sterling. Kali ini, kakak perempuannya berjasa besar bagi Sterling.
Ia harus melalui perjalanan yang jauh dari rumahnya menuju tempat latihan. Setidaknya ia harus 3 kali berganti bis. Ibunya tidak mengizinkan Sterling pergi latihan sendiri, dan karena sang ibu harus bekerja, maka mau tidak mau kakak perempuannya yang mengantar Sterling pergi latihan. Setiap hari mereka pergi pukul 3 sore dan baru sampai rumah sekitar pukul setengah 12 malam.
“Bayangkan jika Anda berusia 17 tahun dan harus melakukan hal tersebut demi adikmu. Dan aku tidak pernah sekalipun mendengarnya mengatakan, ‘Aku tidak mau mengantarnya hari ini’,” kata Sterling saat menceritakan jasa kakaknya saat ia berlatih bersama QPR.
Hingga saat ia memasuki usia 15 tahun, Liverpool datang memberikan penawaran bagi Sterling. Kali ini Sterling berusaha meyakinkan ibunya agar memberikan izin kepadanya pergi ke Liverpool dan berlatih di sana. Waktu yang dibutuhkan untuk pergi dari rumahnya ke Liverpool adalah 3 jam, maka mau tidak mau ia harus pindah ke sana seorang diri.
Namun kondisi ini membuat Sterling bisa fokus untuk meningkatkan kemampuannya bermain sepakbola. Ia mengatakan selama dua tahun ia menghilang dari kehidupannya bersama teman-teman. Di saat libur latihan, yang ia lakukan adalah kembali ke rumah dan bertemu ibunya sebelum kembali fokus berlatih sepakbola lagi.
Perjuangan Sterling pun mulai membuahkan hasil. Kariernya di Liverpool semakin naik dan ia masuk ke tim utama Liverpool sejak masih berusia 17 tahun. Dan pada usia yang sama, ia juga dipanggil ke dalam skuat Tim Nasional Inggris saat pertandingan kualifikasi Piala Dunia melawan Ukraina. Meski hanya menjadi pemain cadangan dan tidak mendapatkan kesempatan bermain ketika itu, namun momen pertama kali masuk ke stadion Wembley sebagai pemain tim nasional Inggris sangat berkesan baginya.
“Aku hidup di bawah bayang-bayang mimpiku (Wembley). Aku melihat secara langsung bagaimana Stadion Wembley dibangun dari bagian belakang rumahku. Suatu hari, aku berjalan ke luar rumah dan melihat lengkungan ini berdiri megah. Ia menjulang tinggi melewati bangunan tertinggi layaknya sebuah gunung. Aku dulu bermain bola di samping rumahku, mencetak gol dan merayakan gol tersebut tepat di bawah lengkungan Wembley,” cerita Sterling tentang masa kecilnya bersama Stadion Wembley.
Dan saat-saat yang ia impikan pun tiba. Sepanjang perjalanan menuju Wembley, Sterling tidak berhenti bernostalgia tentang kehidupan masa kecilnya di stadion Wembley. Ia melihat rumah tempat tinggal teman-temannya, lahan parkir tempatnya bermain sepatu roda, salah satu sudut tempat ia mencoba mengajak seorang perempuan mengobrol, dan tempat ia merayakan golnya yang tepat di bawah lengkungan Wembley.
Perjalanan Sterling seringkali tidak lepas dari cerita miring yang memojokkan dirinya. Mantan pemain Arsenal, Ian Wright, mengatakan bahwa media terlalu sering memojokkan Sterling. Dalam wawancaranya di BBC, Wright mengatakan, “Ada berapa banyak pemain yang mendapatkan kritik dari media lebih banyak dibanding Sterling?”
“Kritik media memang merupakan sesuatu yang harus dihadapi oleh pemain sepakbola. Namun apa yang ia (Sterling) hadapi jauh lebih banyak dibanding yang lain,” lanjut Wright.
Menghadapi ini awalnya Sterling merasa terganggu dan mengeluhkan hal ini ke ibunya. Namun kini menurutnya, asalkan ibu dan kakaknya tidak merasa terganggu, maka ia juga tidak mempermasalahkan. Karena baginya yang terpenting saat ini adalah kebahagiaan dua orang yang paling berjasa dalam hidupnya tersebut. Tanpa ibu dan kakaknya, Raheem Sterling tidak akan menjadi apa-apa.
Satu pesan penutup yang ditulis Raheem Sterling pada artikel The Players’ Tribune benar-benar menunjukkan bahwa ia layak menjadi role model bagi pemain masa depan Inggris.
“Jika kamu tumbuh di lingkungan seperti aku tumbuh, maka jangan dengarkan apa yang dikatakan media. Mereka hanya ingin mengambil kesenangan hidupmu. Mereka hanya akan membuatmu terpuruk. Aku katakan kepadamu sekarang, Inggris masih merupakan tempat bagi anak nakal yang datang tanpa memiliki apa-apa, menjadi mampu menjalani hidup yang diimpikannya.”
Sudah banyak pemain berbakat Inggris yang meski punya karier menjanjikan kala muda, tapi gagal bersinar ketika beranjak ke usia dewasa. Sterling yang justru lebih sering diberitakan negatif, telah membuktikan diri bahwa dia memang berbakat dan berkontribusi besar bagi sepakbola Inggris. Apa yang telah dialami dan diperjuangkannya selama ini, menunjukkan bahwa dia memang layak menjadi panutan anak-anak muda Inggris, seperti yang dikatakan Southgate.
Simak opini, komentar, dan sketsa adegan Rochy Putiray tentang jual-beli lisensi klub yang kerap terjadi di Liga Indonesia:
Komentar