Oleh: Ricky Jordan Sitompul*
Setiap orang punya alasan masing-masing saat mencintai sesuatu. Logika dan rasionalitas umumnya dikesampingkan dalam proses ini. Begitu juga dengan pencinta olahraga sepakbola. Ada banyak alasan irasional yang melatarbelakangi kecintaan mereka. Ada yang mencintai atmosfernya, ada yang mencintai pemainnya, ada yang mencintai namanya, ada yang mencintai warna bajunya, ada yang mencintai sejarahnya, dan masih banyak alasan tidak masuk akal lainnya.
Kalau Anda bertanya pada saya, jawabannya sederhana. Sepakbola itu permainan filsafat!
Buktinya? Bisa dilihat dari buah pemikiran Hegel. Hegel adalah seorang filsuf abad ke-18 yang berasal dari Kota Stuttgart, Jerman. Salah satu pemikiran terpopuler Hegel adalah soal dialektika. Hegel percaya bahwa ide absolut atau mutlak hanya bisa ditemukan melalui proses dialektika. Sebuah proses di mana tesis bertemu dengan anti-tesis, bertengkar, dan menghasilkan tesis yang baru. Tesis yang baru tersebut selanjutnya akan mengalami proses yang sama, dan seterusnya.
Lalu apa hubungannya dengan sepakbola? Untuk memahami hubungan keduanya, kita harus mengamini pernyataan Bung Karno, “Jangan sekali-kali melupakan sejarah”. Artinya, kita tidak boleh bersikap ahistoris.
Sepakbola telah berkembang pesat. Tidak hanya dari segi teknologi, tetapi juga dari pola permainan. Dahulu kala, sepakbola pernah dimainkan dengan formasi 1-2-7, tepatnya pada awal-awal kemunculan sepak bola di akhir abad ke-19.
Selanjutnya, berkembang pula formasi 3-2-2-3 atau yang lebih sering disebut sebagai “WM”. Dinamakan “WM” karena posisi pemain belakang dan gelandang bertahan yang seolah-olah membentuk huruf M, dan posisi gelandang serang dan penyerang yang seakan-akan membentuk huruf W.
Formasi lainnya yang tidak kalah populer adalah 2-3-5. Formasi ini digunakan Spanyol saat menjuarai Piala Eropa 1964. Akan tetapi, seiring berkembangnya zaman, formasi ini mulai kehilangan penggemar, dan di saat yang bersamaan, formasi dengan tiga atau empat bek pun menjadi lebih populer.
Formasi 4-2-4 selanjutnya menjadi favorit ketika Brasil menggunakannya di dua edisi Piala Dunia, yaitu 1958 dan 1970. Berikutnya, tim-tim lain mengadaptasi serta mengembangkan formasi tersebut menjadi 3-4-3, 3-5-2, 4-4-2 klasik, 4-3-3, sampai ke formasi yang paling sering digunakan di era sepakbola kontemporer, seperti 4-2-3-1 dan formasi ‘false nine’.
Menariknya, dari sekian banyak pola, formasi, dan taktik yang ada di dunia, sepakbola tidak pernah mengenal rumus pasti layaknya matematika. Adalah benar bahwa sepakbola pernah mengenal tim-tim tertentu yang sempat mendominasi sepak bola di era tertentu. Sebut saja Spanyol era Vicente Del Bosque, Barcelona era Pep Guardiola, Real Madrid ala Zinedine Zidane, Manchester United ala Sir Alex Ferguson, dan sebagainya. Namun tetap pada akhirnya dominasi tersebut menemui ajal.
Salah satu alasannya adalah karena sepak bola merupakan ilmu pengetahuan yang dinamis.
Terlalu dinamis, bahkan.
Antonio Conte dan Chelsea adalah contoh kasus yang menarik untuk dijadikan teladan. Conte sempat membawa Chelsea menjadi juara Premier League dan FA Cup, serta sempat memenangi 13 pertandingan beruntun dengan menggunakan formasi 3-4-3. Hal yang dianggap revolusioner pada masanya mengingat kebanyakan pelatih—khususnya di Premier League—sedang mengganderungi formasi 4-3-3 dan 4-2-3-1.
Tidak sedikit orang mengira bahwa Conte akan membawa kejayaan panjang bagi Chelsea. Kenyataannya? Chelsea terseok-seok di musim selanjutnya. Tidak ada yang tahu betul mengapa cara bermain yang sangat ampuh di musim sebelumnya, tiba-tiba terlihat sangat lemah di musim berikutnya.
Ternyata, klub belajar, klub berkembang. Chelsea tidak.
Conte pun dipecat.
Cerita sejenis juga pernah terjadi pada era kejayaan Barcelonan bersama Pep Guardiola. Siapa yang tidak kenal tiki-taka? Permainan satu-dua sentuhan cepat yang sangat ditakuti dan dianggap pervalidus (re: terlalu kuat). Tidak pernah dibayangkan sebelumnya, Barcelona tiba-tiba dibantai dengan agregat skor 7-0 oleh Bayern München yang saaat itu dilatih Jupp Heynckes.
Tentunya maasih banyak cerita-cerita sejenis lainnya. Cerita-cerita tersebutlah yang selalu membuat sepakbola menarik. Tidak ada yang tahu pasti kapan suatu tim akan menang dan kapan suatu tim akan kalah.
Akan selalu muncul tokoh-tokoh revolusioner lainnya yang mengembangkan rezim pengetahuan sepakbola.
Layaknya pernyataan Hegel, ide absolut akan hadir setelah proses bertemunya tesis dan anti-tesis yang membentuk tesis baru. Begitu pun dengan sepak bola. Pada akhirnya, sepak bola akan terus berkembang.
Dan di waktu yang bersamaan, Hegel hanya bisa tersenyum.
*Penulis bernama Ricky Jordan Sitompul. Saat ini sedang melanjutkan pendidikan di Universitas Indonesia dengan mengambil program studi sarjana Ilmu Politik. Penulis saat ini tinggal di Bekasi dan bekerja sebagai freelancer di salah satu agensi digital olahraga asal Inggris, Red Lantern Digital Media. Secara garis besar, penulis bertugas untuk mengurus sosial media Liverpool FC di Indonesia. Menulis sebenarnya bukan keahlian utama penulis. Melalui tulisan, penulis hanya berupaya menyampaikan apa yang ada di pikirannya. Utamanya, menggabungkan konsep-konsep Ilmu Politik dengan logika sepakbola.
**Tulisan ini merupakan hasil kiriman penulis melalui kolom Pandit Sharing. Segala isi dan opini yang ada dalam tulisan ini merupakan tanggung jawab penulis.
Simak opini, komentar, redaksi Panditfootball terkait jadwal Liga 1 yang belum juga rilis:
Komentar