Meski gerakan penolakan terhadap rasisme di sepakbola terus digaungkan, hal tersebut tetap saja terjadi. Di Italia bukan hal baru. Maka ketika Moise Kean mendapatkan cemoohan bernada rasis dari fans Cagliari, tak heran dia membalasnya lewat selebrasi "menantang" setelah dirinya mencetak gol pengunci kemenangan Juventus.
Usai pertandingan yang dihelat Rabu (3/4) dini hari WIB itu pun Kean tak ragu untuk menegaskan alasan di balik perayaan golnya tersebut. Meski mendapatkan kritikan dari Leonardo Bonucci dan Massimilliano Allegri, Kean dengan yakin menyuarakan keberaniannya "melawan" lewat unggahan di media sosialnya.
Para pelaku rasis tak memandang Kean sebagai aset Timnas Italia. Mereka hanya melihat warna kulit sang pemain yang berbeda. Padahal belum lama ini pemain keturunan Pantai Gading tersebut sudah membuktikan diri di Timnas Italia dengan mencetak dua gol di dua laga berbeda. Usianya pun masih 19 tahun.
Kean memang sedang dalam performa terbaik. Saat artikel ini ditulis, sepanjang 2019, dia sudah berlaga di 9 pertandingan di segala ajang, baik itu bersama Juventus maupun Timnas Italia. Dari 9 laga tersebut, 7 gol dicetaknya. Gol demi gol lahir dari kakinya meski di Juventus dia menjadi serep penyerang sekaliber Cristiano Ronaldo dan Mario Mandzukic. Dua kesempatan terakhir diturunkan sejak menit pertama bersama Juventus pun diberikan karena Ronaldo sedang mengalami cedera.
Menghadapi Juventus, fans Cagliari tahu jika Kean adalah pemain hebat sehingga mereka merasa perlu memberikan tekanan pada pemain kelahiran 28 Februari 2000 itu. Namun cara mereka salah. "Menyerang" pemain dengan bernada rasis memang kerap membuat seorang pemain tidak nyaman dan tidak konsentrasi bahkan meminta untuk keluar lapangan seperti yang pernah dilakukan Mario Balotelli —bahkan sampai menangis.
Pada laga melawan Cagliari, rekan setim Kean, Blaise Matuidi, juga merasakan ketidaknyamanan atas serangan rasis pada Kean, dan juga dirinya, sehingga sempat meminta wasit pertandingan menghentikan laga sejenak. UEFA memang menghendaki wasit untuk menghentikan pertandingan sementara jika dalam sebuah pertandingan terdapat aksi rasis yang begitu agresif.
https://twitter.com/nealpetersen/status/1113331714745614339
Kean pun bukan tanpa alasan melakukan selebrasi yang mengundang kontroversi. Sang ayah, Biorou Jean Kean, mengatakan jika anak keduanya itu mengidolai Mario Balotelli, walau permainannya terinspirasi dari eks penyerang Inter, Obafemi Martins. Tak heran juga dia pernah berselebrasi ala Balotelli pada sebuah pertandingan dengan membuka bajunya untuk menunjukkan kaus bertuliskan "Why always me?", selebrasi yang identik dengan Balotelli.
"Moise mendukung Inter saat kecil karena dia menyukai Obafemi Martins dan sering merayuku untuk membelikan seragamnya. Dia aku kirim ke Juventus karena aku pendukung Juventus," kata Biorou pada Radio Rai 1, seperti yang dikutip Football-Italia. "Mario Balotelli adalah pemain favoritnya sekarang, meski aku bilang padanya untuk tidak meniru Balotelli dalam segala hal."
sumber: Mondialsports.net
Dalam batas tertentu, Kean memang patut mendengar perkataan sang ayah untuk tidak meniru idolanya dalam segala hal. Seperti Kean sekarang ini, Balotelli pernah dilabeli wonderkid dan calon bintang masa depan Italia. Tapi sikap bengalnya di luar lapangan tak terkendali sehingga dia gagal mencapai ekspektasi publik Italia.
Tapi ada juga beberapa sikap teladan dari Balotelli dalam menghadapi rasisme yang menghantui kariernya. Pada usia 18 tahun, tak lama setelah dia memilih kewarganegaraan Italia, Balotelli yang berdarah Italia-Ghana ini pernah mendapatkan lemparan pisang. Dia tak terprovokasi dan tetap melanjutkan pertandingan. Usai laga pun dia tidak membesarkan masalah tersebut karena menurutnya hal itu sudah sering terjadi pada dirinya yang sejak kecil sudah menjadi sasaran rasisme dari lingkungan sekitarnya.
Balotelli sendiri baru menyatakan akan melawan rasisme pada Piala Eropa 2012. Tapi aksi "Why Always Me?" yang dilakukannya pada 2011 pun tak lepas dari salah satu tindakannya melawan rasisme. Menurut rekan setim Balotelli ketika itu, Patrick Vieira, slogan tersebut terinspirasi dari lagu rapper Ghana kelahiran Inggris, Tinchy Stinder.
Pada sebuah laga Timnas Italia di Piala Eropa U19 melawan Portugal, Kean juga pernah berselebrasi ala Balotelli yang merayakan gol dengan membuka baju sambil memamerkan otot. Boleh jadi itu juga jadi salah satu bentuk keberanian Kean dalam melawan rasisme, tak ragu dan tak malu untuk menunjukkan kulit hitamnya seperti yang dilakukan Balotelli. Mungkin bagi Kean, apa yang dilakukan Balotelli dalam melawan rasisme bisa dijadikannya sebagai panutan.
Komentar