Oleh: Ferhadz A.M.
Tulisan ini lahir beberapa jam sebelum laga Barcelona vs Manchester United berlangsung, selain juga hendak melaksanakan kata-kata Zen R.S., bahwa: “Terkadang, manusia butuh piknik untuk menghindari ketololan.”
Apa jadinya andai saja tidak ada sepakbola dalam kehidupan manusia? Barangkali dalam situasi toto tentrem kerto raharjo, penemuan permainan ‘sebelas lawan sebelas’ itu akan dianggap biasa-biasa saja. Namun tidak dalam sikon frustrasi. Kehadiran sepakbola kala kepala-pundak-lutut-kaki terasa kaku dan tegang sangat diperlukan.
Bagi orang yang mengalami kondisi badan mak kretek seperti itu, sepakbola dapat menjelma laksana godong ijo yang terkenal, sejak nenek-kakek masih pacaran sampai sudah di kuburan, memiliki khasiat menghilangkan segala macam keluhan sakit tulang dan otot.
Kisah para maniak bola yang berhasil mengonversi frustrasi menjadi spirit produktif berkat ramuan dahsyat sepak bola telah membuktikannya. Gus Dur, di tengah kesibukannya sebagai konsolidator demokrasi, memilih sepakbola sebagai pelarian ‘sebentar’. Bahkan seperti yang diceritakan oleh sahabatnya dari Rembang sewaktu kuliah di Mesir, Gus Dur justru lebih banyak berada di pinggir lapangan daripada termangu di perpustakaan Al-Azhar.
Bergeser ke ahli tafsir, Quraish Shihab juga tidak kalah cintanya pada sepakbola. Mufassir yang memiliki karya berupa 15 Jilid Tafsir Al-Misbah tersebut bahkan rela menyisihkan tabungannya yang tidaklah seberapa demi menyaksikan kesebelasan Real Madrid. Kesebelasan yang diperkuat oleh Alfredo de Stefano, peraih Ballon d’Or tahun 1957 dan 1959, ternyata menjadi obat penenang bagi pakar tafsir terkemuka ini di tengah tugas-tugas perkuliahan yang menggunung.
Saking dahsyatnya sepakbola, Romo Sindhunata tidak ragu untuk menggambarkan ke-cespleng-an sepak bola lewat tiga judul buku masterpiece-nya: Bola di Balik Bulan, Air Mata Bola, dan Bola-Bola Nasib. “…kendati hanya hiburan dan permainan, sepakbola itu sesungguhnya bukan sekadar sepakbola belaka.” terang Romo Sindhu dalam salah satu artikel bola yang dia suguhkan buat Gus Dur.
Namun begitu, di antara para tokoh dari ragam profesi, filsuf merupakan pekerjaan yang paling membutuhkan kasih sayang sepakbola. Bayangkan, betapa senut-senutnya otak para filsuf yang setiap detik, menit, dan jam dikuras habis tenaganya, dan betapa kaku tulang mereka yang hanya memiliki satu aktivitas monoton: duduk termangu memandang alam.
Makanya tidak heran, kalau Albert Camus yang terkenal ‘filsuf ngeyel’ itu berujar, “Setelah bertahun-tahun lamanya sejak berkecimpung dalam dunia yang telah memberikan banyak pengalaman kepada saya, di mana saya banyak belajar tentang moralitas dan kewajiban, sungguh semua itu berkat sepakbola.”
Simak cerita dan sketsa adegan Rochi Putiray tentang cara menendang penalti menggunakan teknik Panenka, teknik yang penuh unsur filosofis:
Dua Kompetisi
Meski saya mengawali tulisan ini dengan kisah para tokoh yang menggunakan sepakbola sebagai obat kemumetan dan kenjelimetan hidup, tetapi tidak berarti semua orang mumet akan sembuh saat nonton bola. Kita musti paham hal ini: fanatik sih fanatik, tetapi harus tetap bisa membedakan antara ‘sakit badan’ dan ‘sakit perasaan’.
Bagi orang-orang sehat yang mengalami ‘sakit perasaan’, percayalah, sepakbola merupakan rekomendasi utama kalau hendak mencari alternatif penyembuhan atau sekadar buat pelarian. Mengenai hal ini, kita patut menyamakan persepsi, bahwa ‘sakit perasaan’ ini spektrumnya banyak sekali, mulai dari gagal mendirikan tenda biru, sampai ngelu akibat hiruk pikuk pemilu.
Lha, kebetulan kan saat ini kita sedang melakoni pesta demokrasi. Tampaknya rumus di atas akan sangat diperlukan. Sebab meski orang-orang menyebut kompetisi para aktor politik itu dengan sebutan ‘pesta’, tetapi tetap saja ada masalah-masalah yang meramaikannya.
Maklumlah, namanya juga pesta, kadang banyak yang kebanyakan minum sampai hilang kesadarannya. Meski begitu janganlah khawatir, kebaikan Tuhan tidak pernah hilang. Lewat rahmat dan kasih sayang-Nya, kebaikan-Nya termanifestasikan dalam bentuk gelaran akbar yang ndilalah bertepatan dengan hari pemilihan.
Ya, dua kompetisi di tanggal 17 April tersaji: Liga Champions UEFA di waktu dini hari dan Piala Perebutan Kursi a.k.a. Pemilu di pagi harinya.
Sebagai fans Setan Merah, pertandingan yang dilakoni pukul 02.00 WIB itu memiliki dua makna, yakni sebagai motivasi atau desire untuk berjalan ke TPS dan tombo ati atau obat penenang sebelum melakoni puncak pemilu yang sudah banyak menyita waktu. Hal demikian berlaku khusus bagi saya, sebagai orang yang sudah memutuskan untuk mencoblos.
Berbeda halnya dengan seorang teman sesama fans ‘Si Setan’ yang belum memiliki niat mencoblos, dia rela mempertaruhkan pemilu kepada hasil pertandingan. Katanya, kalau United menang atas Barcelona, dia mencoblos. Kalau tidak, “Ya maaf, aku malas nyoblos. Tidur aja,” tegasnya.
Terlepas dari kalian setuju atau tidak dengan sikapnya, memang begitulah kedahsyatan sepakbola. Barangkali teman saya itu sudah muak dengan pemilu yang ujung-ujungnya mirip pil-KB: dicoblos terus lupa, jauh berbeda dengan sepakbola yang selalu menyapa kita, meski kadang dalam seminggu cuma sekali saja.
Itulah sebabnya, Eric Cantona, Legenda Manchester United yang terkenal lewat tendangan kungfunya, berkata: “Kalian bisa bergonta-ganti pasangan dan kepercayaan, tetapi tidak akan bisa berganti klub kesayangan.”
Mesias
Liga Champions adalah sang mesias, juru selamat. Saya membuktikannya sendiri. Kala itu sedang panas-panasnya debat program capres-cawapres. Di lingkungan pertemanan saya, terdapat dua kelompok yang terpolarisasi akibat beda dukungan paslon. Prediksi saya berdasar bisikan dari Dahrendorf, kalau tidak segera mereda bisa-bisa ‘konsensus’ seduluran berbasis khazanah perkopian bisa ternoda.
Potensi ke arah sana jelas sudah tercium. Banyaknya nyinyiran, sindiran, sampai tindakan tidak mengajak ke warkop bareng seperti biasanya, merupakan ‘kabar buruk’ yang nyata.
Di tengah situasi yang tidak mengasyikkan itu, syukur tiada tara kami panjatkan, sebab Tuhan masih memberi kekuatan kepada kami berupa kecintaan yang sama pada sepakbola. Siapa sangka, atmosfer pertemanan yang semakin beku itu bisa mencair hanya dengan sedikit ‘suguhan’ obrolan tentang hasil undian babak perempat final Liga Champions yang saya lemparkan di atas meja.
Walhasil, duduk semeja pun ramai dengan analisis abal-abal, kelakar bola, dan sesekali melempar ejekan mesra. Anehnya, tidak ada satu pun dari kami yang baper atau gerundel mangkel dengan komentar-komentar baik atau buruk. Iklim kedewasaan dan atmosfer kehangatan sungguh-sungguh tersaji. Ah, betapa mudahnya hembusan angin lapangan bola membersihkan polusi politik.
Terakhir sebagai penutup, dari ragam kisah kecintaan sepakbola di atas, tampaknya kita semua kudu bersaksi: “Bahwa tiada obat kegilaan demokrasi yang lebih mujarab selain daripada sepakbola, dan Liga Champions adalah juru selamat yang nyata.”
*Penulis adalah football addict dari Surabaya.
Komentar